Salah satu indikator kemajuan sebuah negara ditunjukan oleh budaya risiko yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan, baik secara individual, organisasi, komunitas.Â
Artinya, semakin kuat budaya risikonya maka kemajuan yang akan diraih semakin tinggi. Bahkan sebuah perusahaan yang memiliki budaya risiko yang kuat, dipastikan mampu bertahan dalam persaingan yang semakin ketat dari waktu ke waktu.
Dinamika perubahan yang sedang terjadi secara global saat ini mengeaskan penting dan mendesak budaya risiko itu diimplementasi. Tidak lagi hanya sekedar kebutuhan, tetapi penerapan budaya risiko menjadi tuntutan.
Betul, kalau sebuah perusahaan tidak menerapkan manajemen risiko yang terukur, sangat mungkin, perusahaan itu akan tersingkir dalam arena persaingan.Â
Sebutkan saja misalnya, ISO-31000:2018, sebagai sebuah model yang sangat luas digunakan oleh perusahaan yang bergerak di dalam Capital Market, bahkan juga Financial Market, dan sektor lainnya. Menjadi acuan bagi pengelolaan organisasi untuk menilai bagaimana mengelola risiko yang dihadapi.Â
Pun sejumlah pengelolaan proyek dan dana pembangunan yang ditawarkan kepada publik, pada umumnya menuntut adanya unit pengelolaan risiko yang jelas dan tegas baik secara organisasi maupun secara manajeril yang harus ditunjukkan dengan sejumlah tenaga profesional berkompeten di bidang ERM. Bila tidak memenuhi, sangat mungkin tidak akan menjadi bagian dalam sistem pelaksanaan sebuah proyek.
Fenomena Lemahnya Budaya Risiko
Di Indonesia tidak terlalu sulit mengamati bahkan mengalami bagaimana lemah dan rendahnya budaya risiko. Tidak saja di kalangan para pejabat pemerintahan, tetapi terutama di kalangan masyarakat yang menjadi basis kepentingan pentingnya mengelola risiko.
Bencana dan musibah banjir sekedar menyebutkan salah satu contoh konkrit lemahnya budaya risiko itu. Seakan menjadi sebuah lingkaran setan tiada berujung, secara rutin banjir terus melanda Jakarta dan sekitarnya setiap tahun, bahkan pada periode waktu bahkan bulan tertentu. Tetapi, masalah yang muncul juga tetap saja sama, bahkan malah semakin menjadi-jadi.
Wilayah tergenang air berhari-hari, rumah-rumah penduduk tergenang dan harus mengungsi berlama-lama, korban juga berjatuha, jalan-jalan rusak dan meninterupsi sistem perekonomian.
Lalu, para pejabat yang bertanggungjawab terus berkelit dan merasa tidak bersalah, sementara masyarakat, terutama yang jadi korban juga terus berteriak, marah, menunut bahkan hingga ke panggung jalur hukum menuntut keadilan.
Contoh konkrit lainnya seperti bencana alam semacam gempa bumi, tanah longsor, cuaca ekstrim menjadi kejadian rutin yang terus melanda Indonesia yang sesungguhnya mengingatkan bahwa budaya risiko menjadi tuntutan dan bukan lagi sekedar kebutuhan. Harus sesegera mungkin dipenuhi, agar korban dan kerugian tidak terus menerus terjadi, dan membuat usaha mencapai kemajuan menjadi sia-sia belaka.
Ketika terjadi gempa bumi tektonik dan gelombang tsunami di Nanggruh Aceh Darul Salam dan Pulau Nias, pada akhir tahun 2004 dan awal tahun 2005, seakan menjadi lonceng "kematian" yang sangat dahsyat bagi negeri ini untuk berbenah membangun budaya risiko yang kuat.
Karena ratusan ribu jiwa melayang, kehancuran infrastruktur pembanguan yang luar biasa hingga 80%, dan membuat kehidupan menjadi sia-sia adanya.
Lalu, disusul oleh bencana-bencana yang sama di seluruh wilayah republik ini. Awalnya, semua orang sadar dan berusaha berperilaku risiko, seperti membangun rumah anti gempa, belajar menyelamatkan diri saat gempa terjadi, bahkan beragam acara seremoni, peringatan tentang bencana alam/gempa digelorakan.
Tetapi kenyataannya, hasilnya jauh dari yang diharapkan, ketika bencana datang, korban berjatuhan, kerugian menhantam habis-habisan dan penyesalan selalu datang kemudian.
Kesimpulannya sederhana kita memiliki budaya risiko sangat lemah dalam segala aspek sedemikian rupa sehingga tetap menjadi ancaman serius bagi kehidupan setiap orang. Kemajuan yang akan dicapai tidak akan menjadi lebih baik saat budaya risiko itu lemah.
Bagaimana Membentuk Budaya Risiko?
Pada dasarnya budaya risiko itu menggambarkan nilai-nilai, keyakinan, pengetahuan dan pemahaman tentang risiko secara bersama sama oleh sekelompok orang yang memiliki tujuang bersama.
Artinya, budaya risiko merupakan sistem nilai dan perilaku yang ada di seluruh organisasi dalam bentuk pengambilan keputusan terkait dengan risiko.
Tidak mudah membangun budaya risiko. Untuk diri sendiri secara individual saja sangat sulit apalagi bagi sebuah organisasi bahkan bagi semua negara besar yang memiliki keragaman yang sangat tinggi.
Artinya lagi, budaya menuntun semua orang berada dalam level pemahaman dan implmentasi yang sama tentang risiko itu.
Betul, tidak mudah, tetapi ini adalah tuntutan. Bila mau negara Anda maju mengikuti kemajaun negara maju lainnya di dunia maka mau tidak mau budaya risiko itu harus sangat kuat.
Sebab, di dalamnya seluruh proses pengambilan keputusan, kebijakan bahkan strategi ditentukan oleh budaya risiko yang dicapai.
Menjadi sangat penting dimengerti dengan benar dan tepat urutan membangun budaya risiko, baik di dalam sebuah perusahaan ataupun dalam sebuah komunitas dan negara sekalipun.Â
Inilah urutan langkah yang harus diambil membangun budaya risiko : Tahu -> Sadar -> Mampu -> Mau -> Pola Pikir dan Perilaku Berubah -> Budaya Risiko.
Budaya risiko akan terjadi bila pola pikir dan pola perilaku berubah sesuai dengan tuntutan risiko yang akan terjadi.
Akan tetapi jauh sebelum pola pikir dan perilaku berubah, harus diawali dengan "tahap tahu atau mengetahui".
Ini langkah awal agar semua orang memiliki pengetahuan yang sama tentang risiko yang akan terjadi. Dan yang harus dilakukan agar setiap orang tahu adalah melakukan sosialisai tentang pentingnya dan mendesaknya risiko itu.
Seseorang yang sudah memiliki pengetahun dan tahu tentang risiko, maka akan muncul tahap kedua, yaitu memiliki kesasadaran tentang bahaya dari risiko yang akan terjadi. Juga tentang manfaat apabila risiko itu bisa dikendalikan dengan baik.
Ada keuntungan dan menafaat tetapi ada juga kerugian dan bahaya, akan mendorong seseorang unutk memiliki kesadaran yang tinggi. Sebab hanya orang yang sadarkah yang bisa menilai baik dan buruk, berbahaya atau menguntungkan.
Memiliki pengetahuan dan sadar akan bahaya dan manfaat yang akan terjadi, akan menjadi pendorong bagi seseorang untuk mampu melakukannya. Akan tetapi langkah yang harus diambil untuk memampukan seseorang adalah diberikan pelatihan tentang cara mengelola ketika risiko itu akan terjadi. Pelatihan akan menjadi instrumen seseorang memiliki kemampuan, keterampilan dan kompetensi mengelola risiki yang akan terjadi.
Persoalan berikut yang harus dikelola adalah bahwa walaupun seseorang sudah tahu, dan juga sadar serta mamiliki kemampuan, tetapi belum memberikan jaminan akan mau melakukannya. Sebab kalau tidak mau melakukannya, maka pola pikir dan perilaku tidak berubah dan budaya risiko tidak akan menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, langkah yang harus diambil adalah harus disediakan instrumen reward dan punishment.
Artinya, bila mau melakukan kepadanya akan diberikan penghargaan, dan sebaliknya, bila tidak mau melakukan akan diberikan sanksi yang setimpal.
Hanya dengan cara ini, maka perilaku setiap orang akan menuju pada perubahan yang diharapkan.
Sebab, inti dari budaya risiko itu terletak pada diri setiap orang yang mau berubah mindset dan perilakunya dalam hal risiko yang akan dihadapi kedepan.
Budaya Risiko Tuntutan Kemajuan
Budaya risiko yang sangat kuat menunjukkan kesiapan seluruh masyarakat untuk mengelola risiko yang akan terjadi, sehingga dampak yang besar dan berbahaya dapat dikurangi, bahkan kalau bisa dihindari pun ditiadakan.Â
Dampak risiko terbesar dalam pengelolan organisasi adalah korban jiwa, sebagai prioritas yang harus dihitung, dicermati dan dianstisipasi seakurat mungkin. Kalau korban jiwa bisa dihindari, mungkin saja dampak cedera pada orang yang mengalami. Kemudian menyusul kerugian material, harta benda, bangunan, maupun yang lainnya, yang kalau itu terjadi masih bisa ditolrir ketimbang korban jiwa manusia.
Itu risiko secara klasik dan umum. Tetapi sesungguhnya, budaya risiko menjadi tuntutan dalam setiap aspek pengelolaan organisasi pun perusahaan. Dengan kata lain, segala bentuk kejadian yang akan menggangu dan bahkan menginterupsi pencapaian tujuan utama harus dicermati, dihitung dan dikelola secara seksama.
Barangkali mudah bagi perusahaan melakukan hal ini, karena semuanya diikat dalam sebuah kata yang disebut pencapaian laba, atau profitabilita sebagai darah yang menghidupi keberlanjutan perusahaan itu sendiri.
Dan karenanya segala bentuk kejadian yang akan mengganggu pencapaian laba adalah risiko yang harus disadari dan dikelola oleh setiap orang dalam perusahaan.
Model Manajemen Risiko berbasis ISO 31000 misalnya, menjadi acuan secara global, paling tidak dalam industri finansial, khususnya pasar modal yang mensiagakan semua pelaku untuk mengelola risiko yang akan terjadi. Dan dengan demikian, para investor, artinya para nasabah pemegang akun dalam pasar modal, individual atau institusi akan merasa aman dan nyaman.
Pada tataran ini, kesadaran akan pentingnya budaya risiko tidak lagi hanya terbatas pada dinamika organisasi, tetapi yang utama adalah pada pola pikir dan pola perilaku setiap orang dalam sebuah negara yang mengembangkan sikap risiko yang tinggi dalam setiap aspek kehidupan.Â
Pola pikir dan perilaku ini akan menjadi kondisi universal yang membangun situasi yang baik, aman dan tenteram bagi seluruh penghuni sebuah komunitas. Bukan lagi mementingkan diri sendiri tetapi kepentingan bersama, keselamatan bersama dan kesejahteraan bersama.
Pandemi Covid-19 menjadi sebuah contoh yang sangat bagus, bagaimana setiap orang di muka bumi ini memiliki budaya risiko yang sama terkait dengan pandemi Covid-19.
Tanpa budaya risiko itu, yang mungkin dikenal dengan istilah new normal lif, maka virus corona akan terus merjalela dan korban akan terus berjatuhan setiap saat.
Menjadi jelas bahwa budaya risiko menjadi tuntutan dan bukan sekedar kebutuhan biasa saja, mulai sekarang dan hari hari kedepan.
Yupiter Gulo, 13 September 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI