Sesungguhnya VUCA ini bukan hal baru dalam dunia kepemimpinan dan manajemen, sebab sudah sejak tahun 1987 mulai diperkenalkan terutama bila menguliti teori-teori kepemimpinan yang sangat terkenal dari Warren bennis dan juga Burt Nanus, dan bisa ditemukan dalam hampir semua tex-book Leadership (seperti Daft, 2018). Tetapi, implementasi dari VUCA sendiri masih sangat minim di kalangan para pemimpin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara global kurang dari  18% para pemimpin yang memiliki kapasitas dalam menghadapi situasi VUCA. Dengan kata lain, sekitar 82% para pemimpin secara global menjalankan kepemimpinan dengan paradigma tradisional dan menganggap lingkungan stabil adanya. Implikasi dari gap ini bisa menjelaskan mengapa banyak pemimpin gagal. Dan sangat mungkin, para pemimpin yang sukses itu adalah yang sekitar 18% dan mampu memasuki dengan mulus revolusi industri 4.0.
Pemimpin SPINE - Neuroleadership
Beberapa tahun terakhir muncul hasil-hasil penelitian para ahli teori organisasi dan kepemimpinan dan semakin mengkristal tentang munculnya gaya kepemimpinan baru yang dikenal dengan neuroleadership approach yang dianggap mampu menjawab tantangan perubahan yang sedang dihadapi dalam konteks VUCA dalam beragam bentuk penampakkannya. Pendekatan ini menunjuk pada cara kerjanya otak, pikiran dan tubuh manusia dan berfokus pada 5 komponen kunci yaitu SPINE.
Sudah cukup lama EI atau emotional intelligence dianggap jawaban menghadapi situasi yang berubah, tetapi ternyata sudah tidak memadai lagi karena yang dibutuhkan adalah EA atau emotional agility. Para leader tak memadai lagi hanya mampu mengendalikan emosi dan diri sendiri, tetapi justru pro-aktif dan jemput bola habis-habisan dari setiap orang yang menjadi stakeholders organisasi.Â
Pemimpinpun harus melayani karyawannya, terus menghargai orang lain dan tentu saja yang namanya otoriter sudah tidak ada tempatnya dalam menghadapi era disrupsi, nan agiles dan sarat dengan ambigus dan ketidakjelasan. Sebab setiap orang memiliki kesadaran dan interpertasi tentang apa saja yang sangat mungkin berbeda dengan yang pemimpin miliki. Nah, mempertemukannya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Gagal mempertemukan pemahaman, artinya pintu kegagalan sudah terbuka lebar dan ini tentu tidak bole terjadi.
Ubah Paradigma 2021
Saatnya ini bukan lagi mempedebatkan cost and benefit, efisien dan efektif, mana yang utama dan mana yang genting. Sebab semua itu menjadi sesuatu yang given bagi semua orang. Semua yang sifatnya tradisional menjadi hal yang semua orang paham tanpa harus diajarkan. Literasi dalam beragam aspek kehidupan manusia menjadi keniscayaan yang dilakukan dengan beragam sumber tanpa harus membayar dan dengan waktu yang fleksibel.Â
Dunia digital telah mengajarkan semua orang di muka bumi ini untuk belajar sendiri melalui "mbah google". Open univeristy, digital university dan semacamanya telah membuka dunia ini terbuka bagi siapa saja tanpa memandang latar belakang masing-masing. Setiap orang bisa memilih dan memutuskan sesuai kebutuhan dan keadaan masing-masingnya. Demikian beragam sumber bisa menata penawarannya sesuai platform yang diyakini menjadi jawaban kebutuhan orang.
Pemimpin harus mempunyai paradigma yang baru yang tidak terjebak dalam detail sempit. Yang dibutuhkan adalah pemimpin bisa menawarkan big picture atau gambar besar dalam bentuk visi dan misi yang menjadi pengikat, perekat seluruh sumberdaya yang ada, baik secara internal maupun secara ekternal. Pemimpin yang tidak terjebak hanya pada satu langkah, satu aspek, satu arah, jangka pendek tetapi comprehension dalam sebuah kanvas besar penuh warna bagaikan pelangi di langit yang biru.