Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Rasanya Tinggal di Planet yang Sedang Sakit

24 April 2020   00:13 Diperbarui: 24 April 2020   00:16 2751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bumi yang kita diami saat ini bagaikan sebuah planet yang sedang sakit berat dan kronis bahkan mungkin sedang sekarat. Dia sedang menangis dan berteriak dengan caranya. Namun, nampaknya dia merasa sendirian, tiada yang memperhatikan, apalagi hendak menolongnya. Denyut jantungnya pun seakan tidak lagi beraturan kesana kemari.

Dia berubah dan bertumbuh ke arah yang tidak jelas, bahkan tidak lagi mampu memberikan sari-sari kehidupan yang dibutuhkan oleh segala makhluk yang ada di atasnya. Bumi ini sedang menderita kesakitan, sehingga segala makhluk yang mendiaminya juga ikut sakit dan menderita.

Bumi sebagai sebuah planet yang sakit, menerima beban yang terus bertambah dari para makhluk penghuninya. Tidak saja karena semakin membenkaknya populasi makhluk manusia diatasnya, tetapi nafsu keserakahan makhluk di dalam bumi yang terus menggerogoti kesehatan bumi ini.

Bumi sedang sakit dan menderita saat ini di diami oleh sekitar 7,7 miliar manusia yang tersebar di 235 negara di seluruh bumi. Dan angka ini terus bertambah sekitar 215 ribuan orang per hari, atau sekitar 25,3 juta pertahun. Menurut data statistik dari worldometer, kendati pertumbuhan penduduk duni cenderung menurun prosesntasenya, tetapi angka absolutenya tetap saja besar karena total populasi terus meningkat.

Bayangkan saja lonjatan pertumbuhan penduduk dunia. Tahun 1900 hanya 1,6 miliar orang, dan tahun 2000 telah mencapai jumlah 6,1 milar orang. Dan tahun 2020 menjadi 7,7 milar orang manusia diatas planet bumi ini. Dalam 20 tahun ada pertambahan sekitar 1,6 miliar orang. Bandimngkan dengan 100 tahun bertambah hanya 4,4 miliar orang.

Aktifitas miliaran manusia di atas bumi ini, menyebabkan kerusakan bumi nyaris tak terkendali. Manusia terus menerus melakukan eksplorasi di hampir seluruh kulit bumi, hanya sekedar untuk menjawab segala kebutuhan, keserakahan, dan kepentingan sesaat yang nampak sulit terkendali. 

Pembangunan dimana-mana muncul seakan tidak peduli dengan kebutuhan bumi yang harus berada dalam keseimbangan. Menyebabkan sistem kehidupan bumi tidak lagi berada dalam keseimbangan yang bisa menghidupi dirinya sendiri. Dan karenanya, memunculkan berbagai kerusakan, yang menyebabkan hadirnya ancaman bagi kehidupan diatas bumi. Beragam bencana alam terus mendera manusia karena ketidakseimbangan eksistem. Dan sangat mungkin menjadi sumber dari segala jenis "penyakit" baik yang sudah diketahui penyebab dan vaksinya, tetapi juga yang masih misterius.

Pandemi Covid-19 seakan menjadi lonceng kematian bagi seluruh makhluk bumi. Utamanya manusia, untuk diperingatkan akan bumi yang sedang sakit, menderita, sekarat dan sedang berteriak kepada seluruh makhluk agar bumi ditolong. Kalau tidak, maka bukan saja bumi yang semakin rusak, tetapi juga segala makhluk yang ada diatasnya akan ikut menderita, sakit dan sekarat.

Rasanya tidak perlu lagi laporan yang sangat ilmiah, karena dengan mata telanjang, perasaan yang peka dan hati yang terbuka, semua orang saat ini merasakan dampak dari Work from Home. Cuaca menjadi cerah, langit menjadi biru membahana, angin terasa sepoi menyapa muka dan tubuh ini, karena jalan-jalan menjadi lengang dan polusi nyaris tidak berarti dan produksi beragam limbah yang selama ini menjadi berkurang sangat signifikan.

Mungkin saja banyak orang berteriak, karena terganggunya sistem dan tatanan kehidupan sosial ekonomi. Tetapi, ada harga yang sangat mahal yang tidak bisa dibayar dengan uang atau materi. Yaitu bumi sedang membersihkan dirinya dari segala polusi, sampah yang berterbangan dimana-mana, beragam limbah karena aktfitas manusia setiap hari. Dan orang semua berada di rumah, menjadi sehat karena bersama dengan keluarga sepanjang hari dan sepanjang malam.

Tinggal di bumi yang sedang sakit pasti rasanya tidak nyaman, tidak aman, dan selalu berada dalam ancaman dari segala penjuru angin. Akibatnya sungguh sangat berat, karena biaya yang harus ditanggung dengan mendiami bumi yang sedang sakit sangatlah mahal. Taruhannya adalah nyawa manusia itu sendiri. Bahkan, uang sebanyak apapun tidak mampu membeli ketika manusia mengalami peneritaan seperti terpapar virus corona.

Terpapar virus yang masih belum ditemukan penyebab utamanya, dan belum ditemukan vaksin yang cocok memusnahkan virus baru ini, membuat hidup manusia itu menjadi meaningless. Jangan sakit atau positif virus ini, dengan penerapan Social Distancing dan PSBB saja, telah membuat manusia terisolasi dengan sesamanya, hanya karena harus menjaga jarak untuk memutus rantai penyebaran virus ini. 

Mendiami bumi yang sedang sakit sama saja menjelaskan bahwa manusia yang hidup diatas bumi ini juga sedang sakit. Dan oleh katena itu, untuk bisa menyembuhkan penyakit manusia itu, harus menyembuhkan dan menyehatkan bumi itu sendiri. Kalau tidak, maka penderitaan yang berkepanjangan akan dialami manusia turun temurun.

Mengubah paradigma hidup yang bijaksana, menjaga keseimbangan ciptaan Tuhan, antara alam, manusia dan jagad raya ini menjadi jawaban bijaksana untuk menyembuhkan bumi yang sedang sakit ini. Dan sekaligus memberikan kesehatan dan kehidupan bagi manusia.

Pertanyaannya adalah setelah wabah covid-19 terhenti dan ditemukan vaksi penyembuhnya, apakah manusia berubah dan bertobat dengan perilaku keserakahan mengelola alam dan bumi ini ? Semoga !?

YupG. 23 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun