Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Jangan Terlambat, Kini Saatnya Borong Saham di BEI

16 Maret 2020   16:27 Diperbarui: 17 Maret 2020   10:37 4739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: market.bisnis.com

Perdagangan yang terjadi di pasar modal dan pasar uang pada hari ini, Senin 16 Maret 2020, sungguh menarik untuk dicermati. Karena agak bertentangan dengan teori pasar uang dan pasar modal yang selama ini dikenal secara luas.

Sebab hari ini kedua pasar ini, capital market dan money market bergerak dengan arah yang sama, yaitu melemah signifikan bahkan boleh diktakan abruk kembali khususnya pasar modal yang dikelola oleh BEI, Bursa Efek Indonesia.

Dalam keadaan normal, pergerakan dua instrumen pasar keuangan ini selalu berlawanan, yaitu saat rupiah melemah biasanya diikuti dengan indeks harga saham di birsa efek yang menaik dan meningkat. Atau sebaliknya, ketika harga-harga saham menurun, biasanya supiah semakin menguat.

Tetapi, hari ini yang terjadi memang di luar keadaan normal. Keduanya sama-sama melemah. Bila dicermati pergerakan nilai rupiah terhadap dollar USA mencatat angka yang agak mengkuatirkan, yaitu Rp 14.875 per dolar AS. Nyaris menyentuh angka 14.900 rupiah sebagai salah satu angka psikologis. Keadaan ini memang hampir sama untuk semua mata uang di kawasan Asia.

Sementara harga saham di BEI yang ditunjukkan oleh Indeks Harga Saham Gabungan, IHSG, pada awal sesi kedua perdagangan hari ini memperlihatkan trend semakin anjlok dan tercatat diangka 4.683,92 rupiah.

Simpul Harga Saham, IHSG

Sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya 3 November 2017 merupakan simpul waktu penting dalam sejarah BEI. Karena pada tanggal itulah IHSG di BEI menyentuh angka di Rp 6.000-an tepatnya 6.039,54.  Dan membawa situasi yang sangat kondusif bagi perdagangan efek di pasar modal Indonesia.

Agak lama bertahan angka IHSG diatas 6.000-an, dan sempat turun beberapa hari pada bulan Mei 2019. Tepatnya tanggal 15 Mei 2019, IHSG turun ke 5.980,89, namun satu minggu kemudian IHSG kembali ke angka 6.032,70.

IHSG mulai meninggalkan angka 6.000-an pada tanggal 31 Januari 2020  karena wabah atau epidemik virus corona yang mulai berkembang dari kota Wuhan, China.

Angka harga saham di BEI terus menurun sejalan dengan WHO menetapkan virus ini sebagai wabah global, dan dan IHSG meninggalkan angka 5.000-an pada tanggal 12 Maret 2020. Pada hari ini, kendati harga saham dibuka agak hijau tetapi ditutup dengan Rp 4.8495,75 sebagai IHSG terendah pada hari itu. 

Dan terus saja menurun hingga perdagangan hari ini sudah menyentuh 4.683,92 rupiah. Walaupun transaksi hari ini sejak pagi hingga aawal perdagangan sesi kedua tidak terjadi halt (penghentian transaksi), tetapi penurunan membuat keadaan tidak banyak berubah.

Dilihat dari dinamika perubahan dan perkembangan yang ada, maka apa yang terjadi sesungguhnya sesuatu yang wajar. Memang demkianlah pasar itu, ada saat naik harga dan ada saat turun. 

Koreksi yang terjadi terhadap harga saham menjadi tantangan, karena angka 6000an merupakan benchmark untuk harga saham kedepan untuk kembali normal lagi.

Saatnya Memborong Saham

Kalau dihitung penuruan harga saham, dengan IHSG dari angka 6.000-an ke angka 4.600-san, artinya ada penurunan sekitar 20-24% hanya dalam rentang waktu 45 hari atau satu setengah bulan, menjelaskan kalau harga saham sudah sangat murah secara rata-rata. Dan sudah banyak yang undervalued sebagai indikator dasar untuk masuk pada posis beli saham.

Bila Anda seorang investor, patokan sederhana untuk membuat keputusan beli atau borong adalah dengan menjawab pertanyaan apakah harga saham saat ini overvalued atau undervalued.

Overvalued artinya harga saham di pasar lebih tinggi dari nilai atau harga wajar dari saham itu sendiri. Dan itu artinya, seharusnya sahamnya tidak perlu dibeli, atau saatnya untuk menjual kalau masih menyimpan saham tertentu.

Sebaliknya, kalau undervalued artinya harga saham di pasar lebih rendah dari harga saham wajar dan menjelaskan bahwa potensi harga saham akan naik dari hari ke hari. 

Artinya juga investor harus membeli maupun menyimpan saham-saham seperti ini. Tidak saja potensi capital gain yang dapat diraih tetapi juga potensi dividen yang akan diterima pada akhir tahun buku.

Dengan IHSG yang sudah turun lebih dari 20%, dipastikan sudah banyak saham yang undervalued di BEI. Dan menjadi peluang bagi investor untuk segera masuk dan membeli, bahkan memborongnya.

Kemungkinan akan terjadi borong saham oleh emiten besar, seperti BUMN, Bank-bank Pemerintah yang sudah go publik akan mempertimbangak segera untuk melakukan pembelian kembali, semacam buy back saham-saham milik mereka di bursa efek Indonesia. Ini sebuah strategi investasi yang sangat wajar dan biasa dilakukan.

Para investor individual harus jeli, cermat dan smart untuk memperhatikan peluang ini. Dan segera mengambil posisi untuk membeli dan kalau perlu memborong saham-saham yang termasuk bagus yang tergabung dalam semacam LQ, JII30, Bisnis maupun Kompas100, dan yang lainnya.

Faktor Mempengaruhi IHSG

Naik turunnya harga saham di bursa efek memang secara mendasar karena ketidakseimbangan antara sisi permintaan dan penawaran. Dan dengan trend yang semakin menurun terus, dipastikan karena investor yang melepaskan sahamnya atau dijual semakin banyak dan dalam jumlah besar. 

Bahkan dipastikan, investor asing yang memiliki dana-dana besar yang pada umumnya mengambil posisi untuk melepas atau menjual saham-saham mereka.

Sementara pada satu sisi, jumlah yang membeli tidak sebanding dengan jumlah yang menjual, terutama untuk mempertahankan harga saham pada posisi tertinggi. Sangat wajar ketika harga saham turun, dan investor lain menunggu sampai harga termurah untuk membelinya.

Tetapi, pertanyaan sederhananya adalah mengapa investor, utamanya investor asing melepaskan saham mereka? Jawabannya juga sederhana, karena ada kepanikan dan ketakutan atas wabah pandeminya virus corona Covid-19.  

Sebagai investor asing, tidak mau mengambil risiko besar terkait modalnya, sementara dia harus kembali ke negara masing-masing.

Dan hukum pasar memang demikian, sebab ketika wabah virus covid-19 sudah lewat, maka investor asing ini pasti akan kembali untuk berinvestasi kembali di Indonesia.

Kondisi seperti ini juga dialami oleh seluruh bursa efek di dunia. Bukan hanya satu pasar modal saja. Dan karenanya menjadi bagian dari pergumulan pengelola pasar modak di dunia. 

Setiap negera dan pemerintahan akan berusaha menjaga dan memperbaiki kinerja setiap pasar modalnya. Sebab, dinamika pasar modal akan menjadi indikator kemajuan dan perkembangan perekonomian suatu negara.

Faktor lain yang secara spesifik ikut mempengaruhi turunnya harga saham adalah adanya sentiment positif atau negatif terhadap pasar. Kalau sentimen positif biasanya harga saham akan naik. Dan sebaliknya demikian juga harga saham turun kalau negatif.

cnbcindonesia.com mencatat terokoreksinya harga saham sampai 4,2% karena neraca perdagangan yang surplus tidak mampu mendorong sentiment positif.

Neraca dagang yang surplus tak mampu ditransmisikan menjadi sentimen positif bagi IHSG. Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus tinggi pada Februari 2020. Namun alih-alih gembira, sepertinya Indonesia malah perlu waspada.  Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Februari sebesar US$ 13,94 miliar atau naik 11% year-on-year (YoY). Sementara impor tercatat US$ 11,6 miliar, turun 5,11% YoY. Ini membuat neraca perdagangan membukukan surplus US$ 2,34 miliar, tertinggi sejak 2011. Di satu sisi, neraca pembayaran yang surplus tinggi menjadi kabar baik. Ketersediaan valas di perekonomian domestik meningkat, sehingga tekanan transaksi berjalan (current account) menurun. Ini bisa menjadi modal untuk memperkuat fondasi rupiah.

Masih pada sisi sektor ril dalam bidang ekonomi,  kekuatiran muncul ketika suplay chain tidak berjalan dengan lancar dan akan mengganggu proses produksi pada manufaktur di Indonesia. Ini tentu sangat mempengaruhi aktivitas bisnis yang sangat dibutuhkan menopang ketahanan ekonomi nasional.

Faktor lain secara global adalah arah kebijakan dan keputusan The Fed di USA yang sangat mempengaruhi apakah IHSG akan terdongkrat naik atau malah amblas. Kebijakan di the Fed patut dicermati oleh para investor sebelum membuat keputusan investasi di bursa efek.

Yupiter Gulo, 16 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun