Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Nasib Donald Trump Sama dengan Bill Clinton atau Richard Nixon?

4 Februari 2020   10:23 Diperbarui: 4 Februari 2020   10:38 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.cnnindonesia.com/

Nasib Presiden AS ke-45 Donald Trump akan ditentukan oleh Senat AS pada hari Rabu 5 Februari 2020, sebagai puncak sidang-sidang yang sudah digelar sejak Januari 2020 untuk membahas keputusan dan usulan dari DPR AS terhadap pemakzulan Donald Trump sebagai Presiden AS yang dianggap melanggar konstitusi negara ini.

Melalui lamannya VOA Indonesia memberitakan tentang rencana sidang Senat AS yang dilakukan setelah sehari mendegar pidato keneagaraan State of the  Uniion yang disampaikan oleh Presiden Donald Trump.

Senat dijadwalkan menggelar pemungutan suara terakhir dalam sidang pemakzulan Presiden Donald Trump pada Rabu 5 Februari waktu AS, sehari setelah Trump memberikan pidato kenegaraan State of the Union. Sebelumnya dua presiden AS juga pernah memberikan pidato yang sama di tengah ancaman pemberhentian. 

https://www.voaindonesia.com/
https://www.voaindonesia.com/
Memang menarik sekali mengikuti bagaimana proses pemakzulan ini dilakukan, mulai dari proses di DPR dan utamanya ketika masuk di wilayah Senat AS. 

Proses yang kental diwarnai oleh kepentingan politik antara dua partai yaitu Demokrat yang menguasai DPR versus Partai Republik yang mendominasi Senat dan merupakan pendukung Donald Trump menjadi orang kuat dan nomor satu di AS. Ya, memang disana ada pertarungan politik yang sangat besar dan kuat, terutama untuk kepentingan Pemilihan Umum Presiden AS pada bulan November 2020 yang akan datang.

Juga menarik mengkalkulasi hasil yang akan terjadi besok saat pemungutan suara akan dilakukan. Sebab, paling tidak ada dua kasus yang sama pernah juga terjadi di AS dalam forum Senat, yang dialami oleh Presiden AS ke 37 Richard Nixon pada tahun 1974 dan Presiden AS ke 42 Bill Clinton pada tahun 1999. Apakah nasib Donald Trump sama dengan Nixon atau Bill Clinton ?

Richard Nixon yang berasal dari Partai Republik, sama dengan Donald Trump saat ini, terlibat dengan kasus yang sangat terkenal dan tentu saja menghebohkan dunia politik AS yang lebih dikenal dengan Watergate. 

Sebuah kasus yang melibatkan langsung sang Presiden Nixon atas kepergoknya sejumlah orang yang memasuki atau membobol Watergate  yang merupakan tempak Partai Demokrat bermarkas.

Dan setelah berbulan-bulan diproses, bahkan hingga membutuhkan waktu lebih setahun, akhirnya proses pemakzulan Nixon sebagai Presiden AS segera di eksekusi. Namun, sehari sebelum hari keputusan final di Senat AS, Presiden Richard Nixon melalui layar televisi kepada seluruh warga AS menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Presiden AS ke 37 pada tanggal 9 Agustus 1974.

Sementara Presiden AS ke 42, Bill Clinton juga juga mengalami nasib yang sama menghadapi pemakzulan dengan kasus yang dikenal dengan Skandal Seks Clinton-Lowinsky. Monica Lowinsky merupakan seorang wanita muda yang sedang kerja status magang di gedung putih saat Bill Clinton sebagai Prediden AS ke 42. 

Setelah melalui proses panjang di DPR dan juga di Senat, Bill Clinton yang merupakan Presiden AS dari Partai Demokrat akhirnya menghadapi keputusan terakhir dari Sidang Senat AS yang dilakukan pada 19 Desember 1999. Menarik karena  dia dinyatakan bersalah karena pada akhirnya juga dia mengakui dengan jujur skandal itu, namun Senat AS mengambil keputusan yang mengejutkan, yaitu Bill Clinton tidak di pecat dari jabatan Presiden.

Bagaimana dengan nasib dari Donald Trump pada saat sidang Senat besok? Apakah dia akan mengundurkan diri seperti pendahulunya dari Partai Republik Richard Nixon? atau nasibnya sebaik Bill Clinton yang memang mengakui kesalahannya sehingga senat memutuskan untuk tidak dipecat?

Kalkulasi politik, publik sudah menduga bahwa Donald Trump pasti lolos dan tidak akan dipecat oleh Senat AS. Karena dari 100 suara di Senat, 53 suara merupakan suara Republik yang mendukung Donald Trump menjadi Presiden AS dan sisanya sebanyak 47 suara dari Partai Demokrat. 

Artinya, kalau pemungutan suara dilakukan, harusnya Donald Trump aman. Kecuali kalau ada suara yang membelok dari Republik ke Demokrat, dengan syarat  yang ditentukan oleh konstitusi negara Paman Sam ini.

Indikasi tentang kemungkinan kalkulasi ini sudah mulai tercemin dari proses persidangan yang dilakukan oleh Senat AS sebelumnya. Khususnya ketika dinilai perlunya kehadiran saksi-saksi yang membuktikan kesalahan dari sang Presiden AS ini. 

Nampak begitu ketatnya suara senat untuk tidak menjatuhkan Donald Trump. Walaupun dari pihak Partai Demokrat mendorong agar senat memberikan kesempatan bagi saksi-saki untuk mengungkap kebenaran terhadap tuduhan kesalahan yang dilakukan oleh Presiden Trump.

Tetapi, apakah benar Donald Trump tidak bersalah seperti yang dituduhkan oleh DPR saat memutuskan pemakzulan itu pada 18 Desember 2019 yang lalu?

Pertanyaan ini menjadi sangat mendasar. Apakah sekaliber AS ini masih memiliki nilai-nilai kebenaran yang hakiki dan obyektif atau kebenaran yang dibenar-benarkan saja hanya untuk menjadi harga diri partai, kepentingan politik artificial, kepentingan sesaat? Harusnya yang dihendaki adalah kebenaran yang hakiki itu.

Dari dinamika sidang-sidang di Senat AS sesungguhnya ada juga anggota senat dari Republik yang melihat apa yang dilakukan oleh Donald Trump sesuatu yang salah dan seharusnya tidak dilakukan oleh seorang Presiden, hanya karena ambisi untuk memenangkan kembali jabatan Presiden untuk periode kedua pada November yang akan datang, seperti diberitakan oleh voaindonesia.com :

https://www.voaindonesia.com/a/
https://www.voaindonesia.com/a/

Sejumlah Senator penting partai Republik mengatakan, permintaan Trump kepada presiden Ukraina untuk mengadakan penyelidikan atas calon saingannya dalam pilpres tahun ini salah, tapi tidak cukup penting untuk menurunkannya dari jabatan. Senator partai republik Lamar Alexander dan Senator Joni Ernst mengatakan hari Minggu (2/2), bahwa Trump bersalah ketika ia minta bantuan Zelensky untuk mengadakan penyelidikan itu sambil menahan bantuan militer berjumlah 391 juta dolar bagi Ukraina yang sedang berjuang melawan separatis pro-Rusia di kawasan timur negara itu. "Saya kira ia mestinya tidak melakukan hal itu, dan saya kira itu adalah tindakan yang salah," kata Alexander. Tapi Alexander menambahkan bahwa apa yang dilakukan Trump itu "masih jauh dari tuduhan bahwa ia melakukan pengkhianatan, penyogokan, kejahatan berat dan ringan" yang dirumuskan oleh UUD sebagai kejahatan yang bisa mengakibatkan Trump disingkirkan dari jabatan.

Walaupun kasus yang dihadapi oleh Donald Trump berbeda, akan tetapi berkaca dari Presiden AS ke 37 Richard Nixon, setelah berjuang untuk menutupi bahkan membela diri, akhirnya dia menyadari bahwa dia melakukan kesalahan fatal. Dan karenanya dia berani mengatakan saya mengundurkan diri sebagai orang nomor satu di negara adi daya ini. 

https://www.voaindonesia.com/a/empat-puluh-tiga-tahun-yang-lalu-richard-nixon-mundur/3967302.html
https://www.voaindonesia.com/a/empat-puluh-tiga-tahun-yang-lalu-richard-nixon-mundur/3967302.html
Dipastikan keputusan Nixon itu sangat berat dan menyakitkan baginya, apalagi dengan keinginannya untuk menjabat kembali sebagai Presiden AS, tetapi keputusannya telah menjadi sebuah preseden yang baik bagi konstitusi dan negara AS untuk menjaga dan memelihara serta mengkontektualkan kebenaran yang hakiki itu.

Sikap dari sejumlah senator dari Republik patut di apresiasi untuk menegaskan bahwa sesungguhnya Donald Trump melakukan kesalahan yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang Presiden. Namun, bobot kesalahan yang di lakukan tidak setimpal bila di pecat dari jabatan Presiden.

Menarik juga untuk mencermati kata-kata kunci penutup dari pihak Partai Demokrat pada sidang terakhir sebelum puncak sidang besok  yang disiarkan oleh cnnindonesia.com :

Jaksa Penuntut Pemakzulan Donald Trump dari Partai Demokrat Adam Schiff menutup rangkaian argumennya pada Senin (3/2), dengan keyakinan bahwa Trump telah menyalahgunakan kekuasaan. "Anda tak bisa mempercayai presiden Trump melakukan hal yang benar. Dia tak akan berubah dan Anda semua mengetahuinya," kata Adam dalam argumen penutupnya di hadapan Senat. "Sejarah tidak akan berbaik hati kepada Donald Trump," ujar Adam lagi seraya mengajak para senator untuk mendukungnya.

Apapun hasil yang akan dicapai oleh Senat AS pada sidang pemungutan suara besok itu menjadi tidak penting lagi. Yang penting sesungguhnya adalah pembelajaran, lesson learn, dari proses penanganan kasus pemakzulan ini di kelola dengan tetap menempatkan kepentingan bangsa dan negara, kepentingan rakyat banyak, bukan untuk masa sekarang tetapi terlebih untuk kepentingan masa yang akan datang.

Yupiter Gulo, 4 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun