III. Salah Investasi
Prinsip maupun hukum di arena investasi yaitu "high risk high return" hendak menegaskan kepada investor bahwa semakin tinggi hasil investasi yang diinginkan, biasanya juga memiliki risiko yang tinggi. Atau sebaliknya, semakin rendah risiko yang hendak di ambil, tetapi juga hasilnya pasti sangat rendah.
Dan di area inilah para investor bermain-main investasi. Sekaligus juga menggambarkan jenis-jenis investor dilihat dari kemampuan atau keberaniannya mengambil risiko dari investasi yang dilakukan. Ada yang sangat berani mengambil risiko atau risk taker, tetapi ada juga yang sangat menghindari risiko sama sekali. Masing-masing dengan konsekuensi hasil atau keutungan yang mungkin di dapat.
Apa yang dilakukan oleh manajemen Asuransi Jiwasraya sungguh mengangetkan karena keluar dari koridor prinsip kehati-hatian dalam melakukan investasi, seperti yang diberitakan oleh jppn.com, yang dapat disarikan menjadi dua keputusan investasi kunci, yaitu :
Satu, Jiwasraya melakukan investasi penempatan pada saham dengan nilai Rp 5,7 triliun atau setara dengan 22,4% dana yang dimiliki.
Tapi kesalahan fatalnya adalah penempatan dana 5,7 trilun rupiah itu dibagi dalam dua kelompok saham yaitu
- sebanyak 5% atau 285 miliar rupiah pada saham-saham blue chip atau LQ-45, saham-saham terbaik, dan
- sisanya sebanyak 95% atau Rp. 5,415 triliun di belikan saham-saham yang kinerjanya buruk.
Dengan portofolio seperti ini, maka porsi 5% pada saham blue chips tidak mampu mengurangi risiko yang terlalu tinggi pada 95% saham-saham yang buruk. Akibatnya ya fatal !
Dua, Jiwasraya melakukan investasi pada instrumen fund, atau Reksa Dana. Tidak tanggung-tanggung jumlahnya mencapai 14,9 triliun rupiah atau setara dengan 59,1% dari dana yang dimilikinya.
Reksa Dana sebagai instrumen jangka panjang tentu menjadi pilihan bijaksana. Tetapi kesalahan fatal manajemen adalah ketika memilih fund management company atau perusahaan Manager Investasi yang mengelola dana sebanyak itu.
Dilansir dari pemberitaan, pihak manajemen memilih  dua perusahaan Manajer Investasi (MI), yaitu
- MI yang terbaik atau dikenal dengan Top Tier Management, tetapi jumlahnya hanya 2% dari total yang dikelola, yaitu 298 miliar rupiah, dan sisanya
- sebanyak 98 % atau setara dengan 14,602 triliun diserahkan kepada perusahaan MI Â yang memiliki kinerja buruk.
Portofolio reksa dana pada perusahaan MI menjadi cerminan keputusan investasi yang sangat fatal. Mungkinkah ada kepentingan dibalik penempatan dana yang sangat besar baik pada saham yang kinerja buruk, maupun pada perusahaan MI yang kinerja nya juga buruk?