Peribahasa klasik yang berbunyi "bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati", menjelaskan sebuah situasi problematik pelik dan sulit yang sedang dihadapi dengan hanya dua pilihan, dan masing-masing pilihan mempunyai risiko yang nyaris sama yaitu "kematian".
Situasi seperti ini yang saat ini sedang dihadapi oleh Joko Widodo sebagai Presiden RI berkenaan dengan Perppu UU KPK, apakah akan di terbitkan atau tidak diterbitkan.Â
Kedua pilihan ekstrim ini mempunyai risiko yang hampir sama, yaitu sebuah"kematian" bagi negeri ini. Betul, sungguh dilematis, dan sangat mendesak untuk segera mengambil sikap dan membuat keputusan.Â
Inilah situasi problematik nan pelik luar biasa yang saat ini di alami oleh seluruh Indonesia, dengan waktu yang sangat mendesak karena agenda bersejarah dan monumental akan terjadi di bulan Oktober 2019.Â
Yaitu pelantikan anggota DPR RI 2019-2024, pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024, dan disusul pengumuman dan pelantikan Kabinet Kerja jilid II Presiden Jokowi.
Isu sentral ada di Perppu UU KPK yang beberapa hari terakhir ini menjadi fokus perhatian publik dari segala penjuru. Menjadi pro dan kontra ditengah masyarakat.Â
Disatu pihak dituntut Presiden menerbitkan Perppu untu meredam menghentikan demo yang cenderung anarkis dan memakan korban dan diyakini akan berhenti kalau Jokowi menerbitkan Perppu itu.Â
Tetapi disisi lain, pihak Senayan dan para politisi Parpol yang telah mengesahkan revisi UU KPK "keberatan" dengan Perppu itu karena hanya akan mencederai lembaga DPR serta menjadi preseden buruk bagi politik demokrasi negeri ini.
Revisi UU KPK telah disahkan oleh DPR RI setelah melalui persetujuan dari pihak Presiden atas draft revisi yang diajukan oleh DPR dengan hak inisitip DPR. Namu sebelum Presiden memnberikan tanggapan setuju atau tidak setuju draft revisi UU KPK itu, muncul pro dan kontra ditengah masyarakat.Â
Karena dua hak utama, yaitu sejumlah pasal dicurigai melemahkan KPK, dan kedua cara DPR membahas revisi itu dengan operasi senyap atau silent operation, termasuk Pimpinan KPK yang sama sekali tidak diikutkan dalam pembahasan revisi itu.
Harapan besar publik agar Jokowi sebagai penentu untuk tidak merestui revisi itu, karena publik memahami Presiden pro pada penguatan lembaga KPK ternyata pupus sudah saat Jokowi menyetujinya dan segera disahkan di DPR.
Di bagian inilah komunikasi politik dari pihak pemerintah dan DPR nyaris tidak mampu memberikan jawaban kepada publik mengapa jadi begini? Situasi politik menjadi betul-betul panas karena bersamaan dengan terpilihnya Capim KPK baru yang juga menjadi kontroversi atas terpilihnya Ketua KPK baru.Â
Tidak hanya itu, situasi menjadi tak terkendali saat DPR berencana mengesahkan sejumlah RUU sebelum mereka mengakhiri masa periode kerja mereka September 2019.Â
Seperti menjadi bom hiroshima, RUU KUHP semakin menjadikan arena politik negeri ini bagaikan panggung hiburan "konyol" dengan perbincangan sejumlah pasal kontroversi dalam RUU KUHP.
Walaupun pada akhirnya Presiden Jokowi minta DPR menunda pembahasan RUU itu, tetapi nampaknya terlambat, sebab demo mahasiswa se Indonesia keburu meledak sejak Senin 24 September 2019. Â
Situasi telah mengantar masyarakat berhadap-hadapan antara pro dan kontra yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Dalam tataran ini, tidak produktif bicara lagi substansi dan isunya telah beranak-pinak kemana-mana.
Upaya Jokowi untuk meredam situasi, dengan langkah berjumpa dengan tokoh-tokoh di negeri ini, berbuah agak manis "dengan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu UU KPK". Dengan kata lain, Perppu ini akan meniadakan revisi UU KPK yang telah disahkan oleh DPR.Â
Dan tentu saja ini diinginkan oleh publik yang melakukan demo demi demo hingga saat ini, dan katanya akan berlangsung lagi sampai tuntutan mereka dipenuhi oleh Presiden RI.
Kini isu tentang Perppu UU KPK akan "dipertimbangkan" diterbitkan oleh Presiden ditunggu oleh publik, terutama BEM SI yang telah meningkatkan tuntutan mereka yaitu hanya mau bertemu Presiden kalau tuntutan mereka sudah dipenuhi.Â
Inilah isu yang paling hangat saat ini, yaitu BEM SI menolak undangan Presiden bertemu yang sebelumnya diisukan akan ada pertemuan meredam situasi demo mahasiswa.
Mengapa Perppu UU KPK menjadi dilematis bagi Presiden saat ini? Jawabannya karena pihak senayan, anggota DPR pada dasarnya tidak setuju kalau Jokowi menerbitkan Perppu itu. Alasannya adalah lembaga DPR merasa tidak dihargai oleh Presiden dan begitu saja dianulir dengan Perppu itu.Â
Seperti diketahui publik bahwa revisi UU KPK itu dilakukan oleh DPR dengan memanfaatkan hak inisiatip mereka sehingga bisa saja merevisi UU KPK itu seperti yang sudah terjadi. Presiden menerbitkan Perppu berarti Presiden tidak menghormati DPR.
Hal ini sudah terungkap dengan penjelasan keras dari asalah satu anggota DPR dari sebuah Parpol besar pengusung Jokowi menjadi Presiden untuk kedua kalinya. Kendati politisi lainnya dalam Parpol yang sama telah menjelaskan akan memasang badan untuk membela Jokowi terkait dengan UU KPK ini.
Pada bagian ini, situasi menjadi pelik dengan sejumlah pertanyaan publik, apakah benar Presiden sedang berada dalam tekanan, terkendali atau terjebak oleh Parpol tertentu terkait dengan UU KPK itu?
Benar-benar menjadi buah simalakama. Menerbitkan Perppu akan memenangkan keinginan pendemo tetapi akan menolak keinginan parpol dan DPR di senayan yang akan berakibat selama 5 tahun kepemimpinan Presiden dalam banyak hal. Kalau tidak menerbitkan Perppu UU KPK maka Presiden akan aman bersama DPR 5 tahun kedepan, tetapi sangat mungkin demo tidak akan berakhir dan mungkin akan lebih besar lagi demonya.
Semoga Presiden Jokowi mampu mengambil sikap dan keputusan yang bijak bagi 267 juta rakyat Indonesia ini.
YupG. 29 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H