Pertanyaan yang menarik untuk di jawab dengan beredarnya video ini, apakah seorang UAS bisa memiliki empati terhadap umat yang merasa tersinggung, terlecehkan bahkan merasa terhina dengan isi ceramahnya itu?
Bukan lagi menjadi pertanyaan siapa yang mengedarkannya. Tetapi fakta bahwa itu sudah beredar, dan diketahui oleh semua orang, dan dampaknya seperti demikian.
Seorang tokoh keagamaan yang memiliki empati dan harus memiliki empati terhadap sesama dan orang lain, mestinya bisa meresapi perasaan orang lain. Dan kalau dia merasakan sakitnya hati sesame, harusnya dia juga mampu menyembuhkannya.
Bukan dengan cara terus membela diri, mencari kambing hitam, tetapi berempati kepada mereka yang tersakiti atas ujaran yang disampaikan, walaupun itu di dalam ruang tertutup diungkapkan, tetapi telah keluar di ruang terbuka.
Menarik sekali mencermati sikap dari seorang UAS, karena dia merasa tidak bersalah. Dan karenanya, dipastikan dia tidak peduli dengan perasaan sesama yang merasa terluka dan tersakiti.
Pembelaannya hanya karena ceramah itu disampaikan dalam ruang tertutup, dan tidak bermaksud melecehkan apalagi memecah kesatuan bangsa, rasanya tidak lagi nyambung dengan situasi yang ada dengan beredarnya video itu.
Memang, menjadi tokoh agama yang disegani tidak mudah memiliki kerendahan hati untuk menghargai orang lain yang sudah tersakiti secara spiritual. Akibatnya, bukan menanan kedamaian tetapi menanam "kebencian" yang akan memperanakkan permusuhan dan pertentangan.
Semoga UAS semakin bijaksana dalam memberikan tausiah dan ceramah didepan umat, walaupun itu dalam ruang tertutup, tetapi bukan alasan untuk lalu mencederai hati dan perasaan orang lain.
Demi Indonesia yang maju dan berkembang dalam kekayaan kemajemukan dan keragaman. Merdeka !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H