Bagi seorang Prabowo Subianto menjadi seorang Presiden merupakan mimpi dan tentu saja obsesi yang nampak tidak bisa dibendung, sehingga setiap peluang yang ada akan dimanfaatkan secara optimal dengan berbagai strategi yang ada.
Mungkin hanya Prabowo satu-satunya di Indonesia yang paling banya menjadi Capres dibandingkan dengan Capres lainnya. Dengan Pilpres 2019, maka Prabowo telah menjadi Capres 4 kali sacara berturut-turut, dan hasilnya masih belum berhasil.
Pertama, ketika mengikuti konven calon presiden yang diadakan oleh Partai Golkar, dia dikalahkan oleh Wiranto; kedua, pada saat berpasangan dengan Megawati sebagai Cawapres, hasilnya adalah gagal; ketiga, pada tahun 2014 sebagai Capres berpasangan dengan Harta Rajasa, hasilnya juga kalah dengan pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla. Keempat, yang terakhir 17 April 2019 sebagai Capres 02 berpasangan dengan Sandiaga Uno sebagai Cawapres berkompetisi  dengan pasangan Capres 01,  Jokowi dan Ma'aruf Amin, dan hasilnya sementara kalah dengan selisih sekitar 16 jutaan suara atau sekitar 11%
Artikel terkait, Baca : Mengapa Prabowo "Ngotot" Mau Menjadi Presiden RI?
Dengan pengalaman menjadi Capres dan Cawapres, harusnya beliau memiliki pengalaman yang lebih banyak untuk bisa memenangkan kontestasi pada Pilpres kali yang keempat tahun ini. Tetapi, nampaknya pengalaman itu nyaris tidak maksimal.
Mengikuti dinamika proses Pilpres 2019, publik bisa menyaksikan secara gamblang setiap tahapan yang dilalui oleh masing-masing pasangan Capres, sejak sebelum menjadi Capres, yaitu masih bakal capres, hingga pengumuman hasil peroleh suara oleh KPU dan bahkan hingga saat ini, terlihat Prabowo menghadapi sejumlah kecolongan.
Betul, nampak ada begitu banyak hal yang menjadi kecolongan yang dihadapi, baik terjadi dengan sendirinya maupun dirancang kecolongan itu. Sehingga posisinya dari hari ke hari semakin terpuruk.
Apa saja kecolongan yang dihadapi oleh Prabowo? Sesungguhnya, publik sudah bisa membaca apa yang terjadi karena informasi begitu deras mengalir dari waktu ke waktu, dan nyaris tidak ada yang tersembunyi.
Harus diakui bahwa kecolongan yang dialami oleh Prabowo menjadi lesson learn yang sangat mahal bagi generasi muda maupun yang mau berkontestasi dalam ruang politik di negeri ini. Bukan persoalan hujat menghujat atau suka atau tidak suka, tetapi mengukur kedewasaan publik dalam berdemokrasi.
Berikut adalah sejumlah kecolongan yang menonjol dialami oleh Prabowo dan juga kubu BPNnya, antara lain:
Pertama, kecolongan  yang paling mutahir adalah konperensi pers yang dilakukan oleh Prabowo segera setelah kedatangannya di rumah keluarga Sby di Cikeas untuk menyampaikan permohonan maaf dan duka atas meninggalnya Ibu Ani Yudhoyono. Apakah keseleo lidah atau tidak, tetapi telah menuai pro kontra atas pernyataan tentang sikap dukungan politik Ibu Ani kepada Prabowo dalam Pilpres 2014 dan 2019.
Kedua, kecolongan kedua yang sangat fatal adalah sikap reaktif Prabowo dan kubu BPN atas hasil QC Pilpres 17 April 2019. Bukan saja karena menolak mentah-mentah hasil QC dari sejumlah lembaga survei, tetapi kubu BPN Prabowo-Sandi mengklaim kemenangan hingga 62%, dan diikuti dengan deklarasi kemenangan sebagai RI-1 dan RI-2.
Inilah kecolongan yang sesungguhnya menjadi bumerang bagi Prabowo sendiri, ketika publik menuntut untuk digelarnya bagaimana angka kemenangan yang diklaim itu dicapai sebagai pembanding bagi QC maupun perhitungan lainnya.
Sungguh ini menjadi kecolongan bagi Prabowo yang seharusnya tidak perlu terjadi agar positioning, wibawa, aura sebagai seorang Capes RI bisa terjaga dan terkawal dengan positif dan elegan untuk kepentingan yang lebih luas, dan lebih jauh bagi negeri ini. Tetapi, apa daya, nasi sudah jadi bubur dan citra yang terbangun tak mudah untuk diubah seketika.
Ketiga, tuduhan kepada KPU terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan proses penyelenggaraan Pilpres gagal total karena ditolak habis oleh Bawaslu dalam sidang mereka karena alasan bahwa bukti-bukti kecurangan yang diajukan oleh Tim BPN Prabowo- Sandi tidak memenuhi syarat secara hukum, karena hanya kumpulan link berita saja.
Keempat, dalam proses kampanye begitu banyak dinamika yang kontroversial muncul dalam tubuh koalisi Capres 02, yang nampaknya tidak terkendali dengan baik sehingga lebih banyak muncul konflik yang membuat sumberdaya kubu BPN tersedot dengan sia-sia.
Tanpa merinci banyak hal, tetapi puncaknya adalah ketika kampanye akbar diadakan di GBK yang di protes dengan sangat keras oleh salah satu sekutu koalisinya yaitu Partai Demokrat. Oleh Sby yang masih berada di Singapura mendampingi Ibu Ani yang sedang dirawat disana, menegaskan ketidaksetujuan PD atas konsep kampanye yang dilakukan pada hari itu.
Sesungguhnya, ini kecolongan yang harusnya tidak perlu dan bisa dicegah terjadi kalau saja koordinasi dan kendali dalam koalisi berjalan dengan solid dan utuh. Situasi ini menjadi bacaan publik yang sangat transparan dan tentu saja sangat melemahkan posisi kubu Capres 02 menuju puncak pesta demokrasi pada 17 April 2019.
Kelima, sebelum masa kampanye bersama berlangsung, ada banyak kecolongan yang muncul ditengah-tengah kubu koalisi Capres 02 ini. Dan yang paling menonjol adalah "isu hoaks yang sangat mendominasi" bahkan menjadi cap yang sangat tidak menguntungkan.
Sebagai contoh yang signifikan adalah awal tahun 2019 tentang ditemukannya beberapa kontener berisi surat suara yang sudah di coblos yang dihembuskan oleh anggota koalsi. Dan pada akhirnya polisi bisa mengungkap habis tentang isu hoaks yang sama sekali tidak benar itu.
Kecolongan inipun harusnya tidak perlu terjadi, karena hanya menggerogoti kredibilitas yang dimiliki oleh Prabowo-Sandi menuju saat Pilpres April 2019.
Keenam, kecolongan yang sangat menyakiti terjadi diawal proses pen-Capresan dan Cawapres, yang dikenal dengan isu "jenderal kardus" yang dilontarkan oleh salah seorang petinggi salah partai koalisi Prabowo. Isu jenderal kardus ini, sangat kental dengan proses Prabowo memilih Cawapresnya, yang semula publik tidak menduga akan jatuh ke Sandiga Uno sebagai pasangan Prabowo.
Kejadian ini dibaca sangat jelas oleh publik tentang pertimbangan yang sangat tidak matang dari seorang Prabowo untuk memilih pasangannya. Dan tentu saja ikut mempengaruhi kredibilitas yang harus diusung selama proses Pilpres.
Ketujuh, perayaan lebaran tanggal 5 dan 6 Juni 2019 oleh publik menunggu dan berharap Prabowo aka nada pertemuan dengan Capres 01, Jokowi tetapi hingga saat ini tidak ada. Walaupun santer terdengar sebelumnya akan ada pertemuan setelah Prabowo kembali ke tanah air.
Publik membaca ini sebagai sebuah kecolongan bagi Prabowo kalau mau resonance dinamika politik kedepan menjadi agenda untuk peranan penting dari partai koalisi yang masih setia bersatu dalam Koalisi Adil Makmur.
Tentu saja bila dirunut kembali kebelakang, masih ada kecolongan lain yang dialami oleh seorang Prabowo sehingga perolehan suara pada Pilpres 17 April yang lalu masih kalah tertinggal ketimbang Jokowi yang berada pada sekitar 55% sekian.
Apakah masih akan ada lagi kecolongan yang akan terjadi sesudah ini oleh Prabowo dan kubu BPNnya? Bisa saja ada dan bisa juga tidak ada. Secara statistik, kalau sejumlah kecolongan ini ada maka kemungkinan besar akan muncul kecolongan baru.
Lalu, apabila pada akhirnya MK menetapkan penolakan gugatan tim kuasa hukum BPN Prabowo-Sandi, pertanyaannya adalah, apakah Prabowo masih akan ngotot untuk mencalonkan diri pada Pilpres 2024?
Secara statistik, sangat mungkin beliau akan mencoba lagi sejauh ketentuan hukum memungkinkan. Kalau gagal kali ke empat, bisa saja kali ke 5 berhasil bukan ?
YupG., 6 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H