Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Data sebagai Bahasa Komunikasi, Menghindari Terjadinya Kekacauan Sosial

21 Mei 2019   09:41 Diperbarui: 21 Mei 2019   13:42 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.skupstina.me/index.php/en/predsjednik/item/1298-with-continuation-of-the-intensive-communication-to-the-application-of-the-best-european-electoral-practices

Komunikasi yang tidak benar dan baik sangat berpotensi menimbulkan konflik, kekacauan, chaos bahkan kerusuhan sosial ditengah-tengah masyarakat. Situasinya akan lebih runyam apabila setiap orang tidak mampu mengendalikan diri untuk berkomunikasi dengan benar dan baik.

Kemajuan suatu bangsa dan negara bisa diukur dari kemampuan mereka berkomunikasi. Negara yang maju memperlihatkan kemampuan mereka berkomunikasi yang sangat baik. Sebaliknya kalau bangsa itu rendah kemampuannya berkomunikasi maka terbelakang lah negara itu.

Kehebatan seseorang bukan diukur dari banyaknya dia berbicara, atau canggihnya dia berkata-kata, atau bahasa asing apa yang digunakan. Tetapi, berkomunikasi itu berbicara tentang pesan yang disampaikan oleh seseorang dan diterima oleh seseorang yang lain. Pesan diterima dengan besar sesuai dengan yang dikirim, berarti komunikasinya berkualitas.

Data menjadi unsur dasar dan utama yang sangat menentukan kualitas komunikasi yang terjadi. Banyak orang berkomunikasi tanpa data, atau datanya ada tetapi tidak benar, bahkan salah. Inilah sumber permasalahan dalam komunikasi, ketika pesan yang disampaikan berupa hoaks sesuatu yang menipu dan menyimpang. Situasi ini sedang dihadapi oleh semua orang dengan revolusi yang sedang terjadi dalam teknologi informasi dan komunikasi dengan instrumen media sosial yang sudah merasuki habis seluruh sendiri kehidupan manusia.

"Language is the basic tool by which humans make society functions. As the level of individuals and groups interacting with one another, the function of communication are related to participants' purposes and needs. These include category functions as affects (such as feelings and emotions), directive (requesting or demanding), poetic (aesthetic), phatic (empathy or solidarity), and metalinguistic (reference to language itself)" demikian menurut Saville-Troike, The Ethnography of Communication (2003). 

Dalam arti yang luas bahasa tidak hanya dalam bentuk kata-kata yang diucapkan secara bersuara (verbal), bahasa juga berupa yang tidak disuarakan sebagai data, simbol dan warna yang termasuk dalam ilmu bahasa semiotika. 

Dengan berbahasa baik bertutur kata maupun secara tertulis merupakan satu kumpulan pengetahuan untuk disampaikan bahkan diluar dari indra pendengaran, diluar jangkauan bahkan terlepas dari masa waktu.

Bahasa menghubungkan budaya, komunitas, juga menyimpan nilai-nilai sosial. Dari perspektif budaya, merupakan cara penyimpanan dan medium untuk meneruskannya kepada generasi ke generasi.

Bahasa juga berfungsi sebagai penghubung dari perorangan ke komunitas yang sepadan sebagai interaksi manusia, bahasa dimanfaatkan dalam menyampaikan tujuan politis, untuk membuat batasan atau hambatan persepsi pihak lain ataupun sebaliknya untuk menyuarakan dan menekankan faham kepada pihak lain.

Sesungguhnya dan kenyataannya, inilah yang terjadi dalam dunia politik maupun dalam siar keagamaan apapun yang bisa dialami dan disaksikan setiap hari bahkan setiap saat sepanjang menjalani hidup dalam komunitas sosial dan budaya.  

Sebagai peristiwa aktual yang semua rakyat negeri ini alami saat ini, dalam ramainya suasana Pemilihan Umum tahun 2019 ini menjadi memuncak pentingnya pengertian dan pengetahuan apa yang disebut data, bukti, dan apakah pernyataan-pernyataan politik itu rasional atau tidak.

Dalam kenyataan begitu gampang orang mengatakan sesuatu tanpa berpikir dahulu akan kebenaran yang hendak dikemukakan agar tidak mubasir atau sia-sia, bahkan malah membuat gaduh dan kekacaunya social. Artinya, secara sederhana hendak ditegaskan "bahwa kalau mengatakan rasional berarti menggunakan bukti." Sebab sesuatu yang dikemukakan tanpa bukti itu namanya tidak rasional.

Mengkonstruksikan pesan menggunakan argumentasi rasional dapat membantu untuk mempengaruhi opini, merubah sikap ataupun mempengaruhi kelakuan. Dengan menggunakan rasio dapat terhindar dimanipulasi oleh mereka yang pandai dalam menggunakan informasi salah, atau pandai menimbulkan syak-wasangka ataupun menggunakan argumentasi atau alasan canggih demi mencapai suatu tujuan tertentu.

Toulmin Model of Argument: Stephen Toulmin (1958), seorang filosof Yunani, berpendapat bahwa standarisasi untuk mempertimbangkan dan menerima data sebagai bukti tergantung dari pokok persoalan, tergantung dari orang perorangan, namun bentuk, struktur, argumen selalu sama.

Segala macam argumentasi memiliki tiga komponen pokok: claims, data and warrants (tuntutan, data dan keabsahan).

Tuntutan (claim) merupakan  pernyataan atau kesimpulan yang disampaikan untuk menerima tuntutan atau memberikan kepercayaan. Data atau fakta terhadap alasan sebagai dukungan terhadap tuntutan. Menceritakan mengapa tuntutan harus  dipercaya perlu keabsahan. Keabsahan (warrant), adalah suatu hipotesa umum yang merupakan pernyataan  mengapa data mendukung tuntutan.

 Tuntutan (claim): Jika tuntutan disertai data dan keabsahan, maka hal demikian disebut sebagai suatu kepastian (assertion).

Data: Ada berbagai jenis data sebagai dukungan bukti. Penerima pesan dapat menerimanya dari berbagai sudut pandang dan dapat menimbulkan berbagai argumentasi. Data digunakan sebagai bukti. Bukti dapat dibagi menjadi: Bukti Langsung dan Bukti Tidak Langsung.

Bukti tidak langsung disebut juga circumstantial evidence suatu bukti yang lepas hubungannya sebagai bukti atas gagasan kehendak atau maksud suatu pesan persuasif. Suatu bukti tidak langsung dikenal juga sebagai bukti negatif (negative evidence) sering digunakan dalam persidangan di pengadilan dan dalam komunikasi politik. Bukti yang diutarakan secara verbal disebut verbal evidence. 

Dalam rational system dibentuk standar umum untuk menguji bukti, test of evidence, berdasarkan: relevancy, materiality, clarity, credibility and recency (relevansi, berdasarkan uji material, kejernihan/kejelasan pesan, kredibilitas dan masa yang baru terjadi/kejadian mutakhir). Kejelasan pesan biasanya berhubungan dengan diction atau arti sebenarnya dari kata atau frase menurut ilmu bahasa.

Misalnya dalam bahasa Inggris jelas dibedakan penggunaan kata:...some...many...most...large...crowd. Dalam penggunaan kata lain semisal:...truth...freedom...equality...democracy... peace haruslah tepat.

Bila diperhatikan dengan cermat dalam prakteknya bahwa  Bahasa Indonesia yang dipakai birokrat sering rancu: misalnya: sistemik, sosialisasi ataupun kata objektif.

Diperlukan kematangan untuk membentuk rational system sehingga evidence, bukti yang digunakan dalam memperkokoh pesan menjadi kuat dan tidak mengaburkan.

Bagaimana jika masyarakat menghubungkan  data dengan tuntutan? Dalam hal demikian ada pernyataan yang menjadi umum yang disebut warrant.

The Warrant: Merupakan pernyataan umum yang menghubungkan data dengan tuntutan (claim). Warrant dapat diartikan sebagai keabsahan, kebenaran yang dicapai berdasarkan data dan argumen, sebagai "garansi" sebab-akibat.

Menurut Toulmin standard pengukurun data dan keabsahan dalam berbagai argumentasi berbeda-beda tergantung analisis audience dan receiver. Juga tergantung demographic characteristics (sifat kebiasaan asal dan tempat tinggal penerima pesan).

Dimengerti bahwa pengorganisasian argumentasi kedalam pesan, yaitu bagaimana mengorganisasikan argumen alasan-alasan, menjadikan pesan yang persuasif dianjurkan untuk dibentuk melalui pola logika.

Pola logika dapat diterapkan dari dua sudut, pola deduktif dan pola induktif. Pola deduktif: memformulasikan pernyataan umum menjadi konklusi baru. Pola induktif: dengan mengumpulkan satu seri observasi yang spesifik dijadikan pernyataan / observasi umum.

Pendekatan persuasif sebaiknya lebih ditujukan untuk stimulasi bukan untuk langsung meyakinkan. Inilah yang disebut pendekatan motivasional yang akan menghubungkan  tujuan atau niat pesan dengan daya pemicu tingkah laku berbuat pada manusia. 

Mengkonstruksi pesan persuasif dengan berbagai motif merupakan sasaran penting melalui pendekatan memotivasi penerima pesan atau khalayak yang disebut motivational appeal.

Uraian  Stephen Toulmin berdasarkan: assertian claim, data, warrant and motivational appeal sesungguhnya mendukung faham Friedman yang dikaji lebih dalam oleh Samovar, bahwa "own history, out of someone's language and cultural heritage" bila dikomunikasikan dengan apik dan tepat, yaitu melalui rational appeal akan dapat diterima oleh lapisan masyarakat yang pluralis.

Referensi:  Samovar, Larry A; Prorter, Richard E. and McDaniel, Edwin R. (2007). Communication Between Cultures. Thomson Wadsworth, Australia, Brasil... United Kingdom, United States

Artikel khusus yang dibuat dan dikirimkan oleh Ludwig Suparmo: Strategic Communication Specialist; Lead Trainer Crisis Management 

YupG. 21 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun