Politik itu penuh dengan misteri, teka-teki, isyarat, pantomin, bahasa tubuh yang kadang mudah ditebak arti dan maksudnya, tetapi lebih banyak yang sulit diterka. Dan lebih hebohnya lagi, yang paling dominan adalah wilayah abu-abunya.
Nah, kalau sudah berada di wilayah yang abu-abu maka segala sesuatu bisa saja terjadi. Termasuk yang semula tidak dipikirkan akan muncul dalam wilayah yang abu-abu.  Atau yang semula sudah dirancangkan dengan rapi dan mantab, semuanya bisa hilang dan bubar setelah berada dalam gray-area ini.
Grey area ini boleh disebutkan sebagai tempat jumpanya para pemain politik, atau katakanlah "para politikus", dalam tanda kutip karena banyak orang yang merasa jadi politikus kalau sudah berada dalam arena abu-abu itu, walaupun dia baru saja lahir kemarin dalam pinggiran dunia politik, untuk membahasa segala sesuatunya yang berkaitan dengan pencapaian kepentingan masing-masing dan kalau bisa kepentingan bersama.
Ada banyak kode dan simbol-simbol yang digunakan oleh para pemain politik dalam wilayah yang abu-abu. Kode itupun muncul dengan sendirinya dalam interaksi yang kadang tak jelas apa yang sedang dipikirkan dan dibicarakan.Â
Disana akan ada diskusi yang dinamika naik dan turun, dalam durasi waktu yang tak jelas, saking tak jelasnya pertemuan bubar begitu saja untuk diteruskan kapan kapan dan ditempat mana saja.
Kecuali satu hal, yaitu "kepentingan", kepentingan pribadi yang utama, lalu meningkat kepada kepentingan kelompok, naik lagi kepentingan partai, kepentingan masyarakat dan naik terus hingga kepentingan negara dan bangsa. Ini urutan tak boleh jumping. Artinya kalau kepentingan pribadinya sudah terjawab baru melangkah dia kepentingan yang lebih tinggi.
Itu sebabnya, tidak semua orang mampu memasuki wilayah politik di arena yang serba abu-abu ini, karena disana Anda tidak akan menemukan formulasi baku tentang apa saja. Semuanya bisa diatur sesuai dengan pencapaian kepentingan.
Kembali kepada arena pasca pemilu serentak 2019, yang setelah kegaduhan dan gonjang ganjing semingguan tentang hasil hitung cepat dari lembaga survei dengan QC mereka, dan juga exit poll dari masing-masing kelompom capres, lalu muncul kebutuhan untuk rekonsiliasi.
Waow..rekonsiliasi sesungguhnya sebuah situasi yang kritis dari sejumlah kelompok yang bertikai keras sehingga kalau dibiarkan maka akan muncul  keadaan yang cenderung chaos. Tapi, apakah betul situasinya sekarang seperti itu?
Tapi, baiklah kita lihat dinamikanya. Yaitu karena kedua capres sudah saling mengklaim kemenangan berdasarkan hasil QC dan Exit Poll, maka ketegangan komunikasi nampak menguasai ruang publik kedua belah pihak, dan terus menerus saling membelain dengan alasan dan penalaran masing-masing.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dinamika hasil  perhitungan yang sedang berjalan cenderung kemenangan ada di pihak Capres 01, Capres Petahana, Jokowi dan Amin. Dari semua dinamika yang ada, Capres 02 sungguh menyadari itu, sehingga sebelum hasil Real Count dari KPU keluar, maka berbagai manuver, action, dan sejumlah dinamika dilakukan dalam menempatkan posisi bargaining yang semakin kuat ketika hasil akhir diumumkan.
Sesungguhnya, publik faham betul, bahwa sedang terjadi tawar menawar, transkasi politik dari dua kubu yang ada. Paling tidak kalah jadi Presiden, tetapi sejumlah kepentingan politik kelompok Capres 02 dapat dipenuhi.
Mulai dari jabatan di Legislatif dari pusat hingga ke daerah, jabatan birokrasi mulai dari Kabinet 2019-2024 hingga ke daerah-daerah, kesempatan untuk mewadahi sejumlah kepentingan kelompok yang cenderung dilarang oleh pemerintah selama ini, atau bahkan tarik menarik untuk memulangkan sejumlah tokoh-tokohnya yang ada di luar negeri dan kembali ke tanah air.
Dan nampak bahwa masih sangat biasa tuntutan yang menjadi tawar menawar untuk dijadikan pokok diskusi dalam grey area yang sekarang sedang gencar-gencarnya didorong terjadi.
Ini dapat dimengerti dengan terang benderang, karena sesunggugnya indikasi hasil pemilu sudah agak jelas dengan dua hal utama yaitu :
- Pilpres akan kemenangan di Capres 01
- Legislatif akan dikuasai, mayoritas oleh Parpol pendukung Capres 01.
Tetapi, Capres 02 memiliki satu hal mendasar bahwa sekitar 45% pemilih dari sekitar 150-an juta pemilih, ada di pihaknya, yang mungkin angkanya menjelang angka 70-an juta suara.
Inilah modal dan asset politik yang dimiliki oleh Capres 02, sebuah jumlah yang sangat besar. Ada peningkatan yang signifikan dibanding pemilu tahun 2014 yang jumlahnya sekitar 62 juta suara.
Secara politis, angka 45% inilah yang membuat gemasnya Capres 02 untuk menjadi orang nomor 1 di republik ini. Iyalah, masak sih gak bisa dapat tambahan suara sedikit lagi untuk mengalahkan petahana? Bigitu kurang lebih gemasnya publik melihatnya.
Tapi, inilah realitas politik. So, capres 02 lupakan saja untuk menjadi RI-1, tetapi fokus kepada tawar menawar dengan pemenangnya.Â
Sejumlah agenda pasti sudah disiapkan. Dan dengan begitu tekanan-tekanan pasti akan berjalan terus dengan serius demi sebuah perjuangan bagi siapa saja yang diatasnamakan.
Adakah rekonsiliasi setelah pemilu serentak 2019 dan sebelum KPU mengumumlan hasil akhirnya pada akhir Mei 2019?
Jawabannya ada rekonsiliasi. Tapi, macam apa rekonsiliasi yang akan terjadi? Jawabannya adalah dagang sapi. Artinya, mari kita berekonsiliasi tetapi ada syaratnya. Kalau syaratnya tidak bisa dipenuhi maka kita akan terus berusaha berekonsiliasi.
Hari-hari kedepan ini akan penuh dengan bahasa politik dagang sapi. Dia mau jual maka saya beli. Dia mau beli maka saya akan jual. Yang penting, harganya cocok, barangnya cocok, dan eksekusinya cocok.
Hmm...rasanya, dinamikanya akan makin seru, karena namanya politik penuh dengan abu-abu, kadang terang seringnya gelap gulita.
Mari kita mencermati bagaimana politik dagang sapi akan terus menjadi kisah, cerita yang pasti mengundang ketegangan disana sini.
YupG, 25 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H