Teman baik saya, Ludwig Suparmo, seorang senior Konsultan dan Trainnier Manajemen Krisis dan Komunikasi, mengirimkan kisah pengalaman seharinya ikut mencoblos di TPS dekta rumahnya. Berikut kisahnya:
Kisah ini terjadi di komplek perumahan menengah di kota besar; tentu lain suasana di lingkungan masyarakat guyub di kelurahan masyarakat "biasa".
Lingkungan komplek perumahan masyarakat menengah meskipun saling kenal, sudah agak renggang ikatan silacturachmi. Masing-masing isi rumah sibuk mengurusi rumah tangganya sendiri. Orang dewasa dalam rumah tangga sibuk mencari nafkah, yang punya anak mengurusi anaknya ke sekolah.
Dengan banyak kegiatan ekstra kulikuler dan les bimbel atau kegiatan remaja diperkumpulan seni atau olah raga, anak-anak dalam satu komplek jarang berjumpa dan bermain bersama.
(Mengingtakan ketika penulis masih anak-anak di tahun 1960-an jika hujan turun, kami anak laki-laki berlarian keluar rumah ke jalan bermain di hujan, ataupun bermain bola sepak dilapangan dekat rumah -- ceria penuh perasaan berkawan dalam satu lingkugan -- meskipun itu terjadi di tengah kota di komplek perumahan golongan menengah -- ya, budaya sudah berubah mengikuti zaman!)
Sedemikian perubahan suasana di pemukiman urban, maka kisah berkumpulnya masyarakat pemukiman menengah menjadi agak lain dengan masyarakat yang lebih guyub.
Dapat dimaklumi, ibu-ibu dan kaum wanitalah yang selalu membuka keceriaan. "Eh, ibu Dini, lama nggak berjumpa!" Maka celotehan menjadi ramai, disahut dan disambut oleh ibu-ibu lainnya ketika berjumpa di TPS
Yang sudah sepuh dituntun sanak keluarga, pertanyaan: "sehat, ya?" terdengar terus menerus.
Yang sepuh diberi petunjuk oleh yang lebih muda tanpa mempengaruhi pilihan (ini kedewasaan yang perlu dihargai) bagian mana yang harus dicoblos, agar sah pencoblosannya.
Ada yang memberi semangat: "Tenang, jangan stres, kalau ada banyak kertas yang harus dicoblos!"
Memang, papan petunjuk yang disiapkan di dekat TPS dengan daftar caleg sangat membantu.