Si Seksi Golput
Ternyata Golput itu sangat seksi. Saking seksi dan menariknya, dia menjadi pusat perhatian dari semua orang. Orang menjadi sangat penasaran tentang dirinya. Singkat cerita, golongan putih ini menjadi rebutan. Tetapi ternyata, tak mudah si putih genit ini. Hatinya tak mudah luluh begitu saja.
Akhirnya semuanya geram, marah, dan benci kepada si seksi golput ini. Golput dianggap pengecut, tidak gentle, tidak berani, tidak nasionalis, dan akibatnya diharamkan. Ditakut-takutin, diancam mungkin, diawasi dan diarahkan kalau perlu. Ya, akhirnya Golput pun dianggap haram dan dianggap tempatnya bukan lagi di surga nirwana.
Tetapi, golput tetapi menjadi fokus perhatian dari semua orang karena memang dia sangat seksi adanya. Penampilannya begitu aduhai, dan bisa memberikan kepuasan kepada setiap orang yang mampu menaklukan hati dan jiwanya.
Takutkah si golput dengan semua ancaman dan hukuman dan diumbar habis-habisan oleh khalayak yang memperebutkannya? Atau, dia langsung jatuh hati dan bertekut lutut kepada khalayak yang terus merayu dan mengambil hati dan jiwa raganya?
Nampaknya, si genit golput biasa-biasa saja adanya. Dia memang sangat paham maksud dan niat dari semua khalayak yang terus membicarakan dan menguasainya.
Hmm, dia memiliki posisi tawar yang kuat rupanya, sehingga si golput ini begitu tegar dan bergeming dengan semua rayuan bahkan ancaman diharamkan sekalipun.
Betul sekali, si cantik golput paham betul siapa dirinya dalam ruangan publik yang tersedia baginya. Dia juga paham secara hukum, undang-undang dan peraturan yang berlaku tentang dirinya itu.
Dalam banyak situasi, si seksi ini sering ketawa sendiri, dan merasa kasihan kepada semua orang yang memperebutkannya. Sebab, sesungguhnya mereka itu paham kok tentang hukumnya. Bahwa memang si seksi ini memiliki ruang publik yang sah dan dibenarkan di hadapan hukum. Dia paham memiliki hak yang sangat terlindungi dengan hukum yang ada.
Sebetulnya, bisa saja dia melawan, tetapi dia pikir, untuk apa menghabiskan energi melakukan perlawanan yang akan sia-sia belaka.
Siapa Golput Itu?
Dengan lugasnya seorang mahasiswi saya bertanya di kelas, "Bapak, saya sudah berusaha mencari dalam daftar peserta pemilu 2019, bahkan pada pemilu-pemilu yang lalu, tetapi golput saya tidak menemukannya. Partai apa sebetulnya golput ini?".
Mendengar pertanyaan sederhana ini, sesungguhnya menjadi titik letak persoalan yang melibatkan semua publik ini setiap membahas tentang golput. Menyebut golput berarti "menciptakan musuh bersama yang harus dilawan dan diberantas".
Tetapi, sebagai sebuah bayangan, maka sia-sialah usaha apapun untuk memberantas golput itu, karena memang secara organisasi dia tidak pernah ada. Dan buat apa harus menghabiskan energi, pikiran, dan waktu untuk terus membahasnya.
Mari sedikit merenungkannya, bahwa golput itu kan tidak ada bentuknya. Tetapi publik, peserta Pemilu, dan organisasi kemasyarakatan yang membentuk golput itu sebagai sebuah "partai atau organisasi" yang hidup dan bergerak dengan bebas di tengah-tengah masyarakat. Saya pikir, inilah kekeliruan besar.
Sebab, golput itu hanya sebuah pilihan yang tersedia bagi sejumlah pemilih yang berhak untuk menggunakan hak pilihnya secara benar atau tidak. Jadi, tidak ada bedanya dengan sikap masyarakat untuk memutuskan mau makan atau tidak makan, mau bersekolah atau tidak mau bersekolah, atau hal-hal lainnya.
Jadi, yang menjadi persoalan bukan orang menjadi golput atau tidak golput. Tetapi, masalahnya adalah bagaimana mendorong masyarakat untuk datang mencoblos dan menggunakan hak pilihnya, memilih salah satu di antara banyak pilihan yang tersedia.
Sampai di situ tidak ada persoalan, kalau seseorang tidak datang mencoblos ya memang dia memiliki pertimbangan yang menurutnya lebih penting dan urgent ketimbang yang lain.
Mengapa Golput disebut Seksi?
Mengapa golput menjadi genit dan seksi, karena jumlahnya tidak sedikit. Kalau menggunakan hasil survei tahun 2018, bahwa pada pemilu 2019 ini jumlahnya sekitar 20% dari 192 juta pemilih, sehingga angkanya sekitar 38,4 juta. Sebuah angka yang tidak sedikit untuk diperebutkan oleh kontestan dalam Pemilu 17 April 2019 nanti.
Bila dilihat dari semua hasil-hasil survey yang ada, maka angka perkiraannya bergerak dari 10% hingga 30%-an dari total jumlah pemilih.
Sebagai pembanding saja, Pemilu 2014, partisipasi masyarakat sekitar 75,11%. Oleh KPU, angka ini akan digenjot di atas 77,5%. Sangat bisa dipahami target ini, karena memiliki implikasi yang sangat luas dan dalam untuk berbagai kepentingan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Sehingga, penyelenggara Pemilu, beserta dengan pemerintah dan semua parpol akan bahu membahu menyukseskan.
Bila merujuk pada hasil Survey Litbang Kompas pada awal Maret 2019 lalu, yang sempat menghebohkan itu, bahwa angka sekitar 13,4% sebagai Swing Voters sebagai pemilih yang masih belum menentukan pilihan. Jumlahnya sangat besar, sekitar 25,7 juta pemilih dari total pemilih 192 juta orang.
Angka 20 jutaan orang inilah yang membuat golput menjadi seksi, jadi rebutan, menjadi penentu kemenangan para capres dan juga caleg.
Golput sebagai Indikator Demokrasi
Mereka yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilih, tidak mencoblos dengan berbagai alasan, merupakan hak warga negara yang dijamin oleh Undang-undang. Seseorang tidak bisa dipaksakan untuk memilih. Ini tidak hanya berlaku di Indonesia saja. Bahkan hampir semua negara di dunia.
Dengan demikian, masalah golput bukan hanya masalah negeri ini. Bahkan di negara adidaya Amerika saja, jumlah yang disebut golput sangat besar, bisa mencapai angka 40%-an. Jadi Indonesia tidak perlu menjadi heboh dan kebakaran jenggot adanya.
Yang hendak diingat dan dipahami terus menerus adalah bahwa keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan umum itu menjadi indikator dari demokrasi yang berkualitas di suatu negara. Sebuah hipotesis misalnya bisa digunakan untuk memahami ini, yaitu semakin tinggi partisipasi pemilih maka demokrasinya semakin tinggi. Sebaliknya juga demikian.
Nah, kalau hipotesis ini bisa diterima, maka seharusnya yang dikerjakan oleh penyelenggara negara dan Pemilu adalah bagaimana agar kualitas pengelolaan negara ini menjadi baik agar masyarakat ikut merasa memiliki tanggung jawab di dalamnya.
Mari memahami apa yang sesungguhnya dirasakan oleh masyarakat, yang disebut sebagai undicided voters itu. Pada umumnya ada sikap apatis masyarakat terhadap politik, karena merasakan tidak ada manfaat langsung bagi mereka. Hidup tidak berubah. Bahkan malahan tambah susah.
Sulit mencari pekerjaan yang baik. Gaji semakin rendah daya belinya. Kesejahteraan mereka tidak berubah. Sehingga ketika mereka mengatakan, ganti presiden dari tahun ke tahun tetapi nasib kita tidak berubah. Inilah salah satu penyebab utama mengapa tidak peduli dengan kegiatan pollitik semacam Pemilu ini.
Sejauh dinamika politik yang disajikan oleh para elit poliitk di lembaga legislatif dan juga perangai para birokrasi yang beritanya melulu korupsi dan penyelewengan dan penyimpangan, maka angka yang disebut golput itu akan terus menerus meningkat.
Keadaan ini menjadi pergumulan dan tanggung jawab bersama semua stakeholders bangsa dan republik ini. Karena Indonesia tidak mungkin terus menerus begini saja tetapi harus berubah dan maju lagi sebanding dengan negara maju lainnya di muka bumi ini.
Pemilu itu "Pesta" Demokrasi
Di masa Orde Baru, di mana lahirnya yang disebut golput telah menciptakan trauma yang sangat dalam bagi negeri ini. Saat Orde Baru berkuasa, dengan penguasa satu partai, angka partisipasi pemilih sangat tinggi, karena ada semacam ketakutan bagi rakyat kalau tidak memilih akan berhadapan dengan penguasa republik.
Akibatnya, mencoblos, tetapi bukan partainya yang dicoblos, tetapi ruang putih di dalam kertas suara yang dicoblos sehingga tidak sah. Itu sebuah protes dari mereka yang disebut golput. Karena semua sudah paham siapa yang akan memenangkan pemilu itu sendiri. Jadi, demokrasi betul-betul hanya semu adanya.
Demokrasi dipahami sebagai paham berbasis pada kehendak rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sendiri. Kalau ini benar, harusnya pemilu itu sebuah pesta dari, oleh, dan untuk rakyat itu sendiri. Dan karenanya harus dinikmati dengan penuh sukacita dan damai sejahtera oleh rakyat itu sendiri.Â
Persoalan siapa yang menang atau kalah, itu adalah soal lain. Karena para capres itu adalah pilihan rakyat semua. Dan karenanya, ketika seseorang memenangkan pemilu, maka semua harus menyatu kembali untuk melanjutkan kehidupan demokrasi.
Pemahaman ini hendak menegaskan, bahwa semua kegiatan dan aktivitas yang bertentangan dengan pesta demokrasi itu, harus dilawan secara bersama-sama. Harus dilawan agar tidak terjadi money politic, praktek hoaks di mana-mana, saling mengintimidasi, dan melakukan kecurangan lainnya.
Agar di akhir pesta, semua merasa puas, bahagia dan damai sejahtera untuk bergandengan tangan dan melangkah bersama-sama lima tahun ke depan membangun negeri ini menjadi sebuah negara yang maju dan berkembang sejajar dengan negara lain di berbagai belahan dunia.
YupG. 3 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H