Mendengar pertanyaan sederhana ini, sesungguhnya menjadi titik letak persoalan yang melibatkan semua publik ini setiap membahas tentang golput. Menyebut golput berarti "menciptakan musuh bersama yang harus dilawan dan diberantas".
Tetapi, sebagai sebuah bayangan, maka sia-sialah usaha apapun untuk memberantas golput itu, karena memang secara organisasi dia tidak pernah ada. Dan buat apa harus menghabiskan energi, pikiran, dan waktu untuk terus membahasnya.
Mari sedikit merenungkannya, bahwa golput itu kan tidak ada bentuknya. Tetapi publik, peserta Pemilu, dan organisasi kemasyarakatan yang membentuk golput itu sebagai sebuah "partai atau organisasi" yang hidup dan bergerak dengan bebas di tengah-tengah masyarakat. Saya pikir, inilah kekeliruan besar.
Sebab, golput itu hanya sebuah pilihan yang tersedia bagi sejumlah pemilih yang berhak untuk menggunakan hak pilihnya secara benar atau tidak. Jadi, tidak ada bedanya dengan sikap masyarakat untuk memutuskan mau makan atau tidak makan, mau bersekolah atau tidak mau bersekolah, atau hal-hal lainnya.
Jadi, yang menjadi persoalan bukan orang menjadi golput atau tidak golput. Tetapi, masalahnya adalah bagaimana mendorong masyarakat untuk datang mencoblos dan menggunakan hak pilihnya, memilih salah satu di antara banyak pilihan yang tersedia.
Sampai di situ tidak ada persoalan, kalau seseorang tidak datang mencoblos ya memang dia memiliki pertimbangan yang menurutnya lebih penting dan urgent ketimbang yang lain.
Mengapa Golput disebut Seksi?
Mengapa golput menjadi genit dan seksi, karena jumlahnya tidak sedikit. Kalau menggunakan hasil survei tahun 2018, bahwa pada pemilu 2019 ini jumlahnya sekitar 20% dari 192 juta pemilih, sehingga angkanya sekitar 38,4 juta. Sebuah angka yang tidak sedikit untuk diperebutkan oleh kontestan dalam Pemilu 17 April 2019 nanti.
Bila dilihat dari semua hasil-hasil survey yang ada, maka angka perkiraannya bergerak dari 10% hingga 30%-an dari total jumlah pemilih.
Sebagai pembanding saja, Pemilu 2014, partisipasi masyarakat sekitar 75,11%. Oleh KPU, angka ini akan digenjot di atas 77,5%. Sangat bisa dipahami target ini, karena memiliki implikasi yang sangat luas dan dalam untuk berbagai kepentingan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Sehingga, penyelenggara Pemilu, beserta dengan pemerintah dan semua parpol akan bahu membahu menyukseskan.
Bila merujuk pada hasil Survey Litbang Kompas pada awal Maret 2019 lalu, yang sempat menghebohkan itu, bahwa angka sekitar 13,4% sebagai Swing Voters sebagai pemilih yang masih belum menentukan pilihan. Jumlahnya sangat besar, sekitar 25,7 juta pemilih dari total pemilih 192 juta orang.