Salah satu pelajaran penting dari pengkajian kehidupan ekonomi adalah bahwa kesejahteraan suatu bangsa, yang dapat diterjemahkan dalam lingkup lebih kecil, kesejahteraan suatu perusahaan, sekaligus kemampuannya untuk bersaing, dikondisikan oleh sifat kultural pervasif yang tunggal: tingkat kepercayaan yang melekat di dalam masyarakat bangsa tersebut. Jadi dapat dikatakan sebagai tingkat kepercayaan yang melekat pada perusahaan.
Dalam perkembangan pendidikan kualitas bangsa, di Singapore baru-baru ini ditekankan pentingnya berkolaborasi, tidak lagi berdasarkan tujuan bersaing. Faham Francis Fukuyama sudah dibantah.
Apalagi di Jepang, era industri 4.0 yang mengandalkan kemajuan digital dan aplikasi teknologi informasi serta kemajuan menuju industrialisasi robotik telah dilangkahi dengan konsep era industri 5. 0 yang disebut "Society 5.0".
Konsep ini merupakan agar manusia berkonsentrasi pada nilai-nilai hidup manusia (human centered) yang berbasis teknologi. Dikatakan bahwa transformasi ini akan membantu manusia untuk menjalani hiup lebih bermakna, sebagai kearifan.
Dapat dimaknai bahwa faham "Society 5.0" tetap mementingkan pengembangan karakter yang unggul, ada semacam revolusi mental berbarengan dengan penggunaan teknologi yang juga harus lebih unggul daripada di era industri 4.0
Ini memicu kita orang Indonesia agar segera bertindak, bukan hanya mengikuti kemajuan teknologi, namun tetap menjaga budaya luhur penuh bakti, gotong-royong dan unggul secara mental.
 Artikel kiriman seorang sahabat yang baik Ludwig Suparmo; Lead Trainer:  Crisis, Issue, and Risk Management; Compliance Management; Conflict Management and No Stress Management
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H