Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Mari Menemukan Kebenaran bersama Descartes dengan Cogito Ergo Sum-nya

18 Januari 2019   08:24 Diperbarui: 21 Januari 2019   18:20 5181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: imagenesmy.com

I. Menurut siapa benar atau salah?

Apa jadinya ketika yang salah dianggap benar dan yang benar dianggap salah? Kebenaran menjadi sangat relatif  tergantung dari kepentingan atau tujuan akhirnya. Kebenaran menjadi alat untuk memaksakan kehendak. Ukuran kebenaran menjadi relatif, tergantung siapa, kelompok mana yang menyatakannya.

Dalam era serba kemajuan teknologi komunikasi yang berbasis internet, dengan sosial media yang sangat mendominasi sedemikian rupa sehingga data dan informasi mengalir dan membanjiri ruang publik dan mempengaruhi otak, pikiran, persepsi dan perilaku serta interaksi sosial masyarakat.

Informasi mengalir begitu derasnya, bagaikan air bah menerjang siapapun yang dilewatinya. Melalui smartphone, gawai yang dimiliki sebagian besar masyarakat.

Saat seseorang membuka gawainya, saat itu juga informasi dan data mengalir dan mengalir. Dampaknya sungguh sangat massif dan dahsyat dan banyak korban berjatuhan karenanya.

Dalam konteks zaman-now seperti ini, mencari, menemukan dan menentukan sebuah data atau informasi sebagai sebuah kebenaran menjadi peroslan krusial, kritis, dan fatal dalam kehidupan publik. Termasuk hoaks, menyebarkan kabar bohong, telah menguasai jagag komunikasi sosial media kini.

Pertanyaan dasarnya, siapa yang menentukan apakah sebuah data atau informasi itu benar atau kebenaran? Apa ukuran yang dipakai untuk mengatakan bahwa informasi yang diterimanya benar atau tidak benar? Disinilah kekacauan terjadi, saat tidak ada ukuran tentang kebanaran itu, saat tidak ada yang memiliki otoritas untuk menilai kebenaran itu.

II. Cogito Ergo Sum

Sesungguhnya, ukuran kebenaran itu telah dipersoalankan jauh sebelumnya oleh para pemikir-pemikir ulung yang disebut para filosof. Bahkan ketika situasi belum serumit dan sekomplek sekarangpun, mereka sudah mempertanyakan ukuran kebenaran itu.

Cogito ergo sumu, berarti karena aku berpikir, maka aku ada. Frase sangat terkenal yang ditulis oleh pemikir Rene Descartes, seorang filosof Perancis yang mengemukakan faham logika baru. Rene Descartes yang hidup antara 1596-1650, dalam kajian filsafat dikenal sebagai pendiri filsafat modern (Filsafat Barat, 2007, Zubaidah, dkk., Ar-Ruzz Media, Jogjakarta).

Ketika Rene Descartes berumur satu tahun ibunya meninggal, dan peristiwa tersebut menjadikan trauma yang membuat Descartes selalu khawatir dalam hidupnya. Meskipun demikian dia belajar di suatu college di Perancis dimana dia belajar filsafat,  logika, matematika dan fisika.

Filsafat Descartes berupaya mencari kepastian dengan cara meragukan semua yang ada, termasuk orang tidak harus menerima kebenaran-kebenaran yang telah diungkapkan pemikir-pemikir lain. Orang harus menemukan kebenarannya sendiri, melalui pemahaman dan keyakinan pribadi.

Ini menunjukkan sifat keragu-raguan Rene Descartes, namun dia  mengikuti suatu metodologi, menguji penalaran dan pemikiran untuk mendapatkan kepastian. "Aku ragu-ragu maka aku berpikir, karena aku berpikir, maka aku ada." Inilah makna "Cogito Ergo Sum" yang menjadi sangat terkenal  mengajarkan pemikiran sistimatis.

Mari  bertanya bagi kita yang hidup dan bisa memasuki abad 21 yang lazim dan mudah dikenal dengan zaman-now dan generasi milenial dalam ramainya dunia politik dan kepentingan pencapaian materialistik, bukankah lebih baik kita mengikuti faham "Cogito Ergo Sum" ini ?

Terminologi Cogito berarti aku berpikir, yang memberikan dan  membawa kepastian. Karena cogito jelas dan terpilah-pilah (Claire et distince) maka cogito adalah sebuah kebenaran, dan karenanya kebenaran menjadi sebuah kepastian.

Dengan menemukan kepastian itu, Descartes seakan-akan memberikan kepastian secara metafisik bagi seluruh sistem filsafatnya sebagai lanadasan berpijak dan bergerak lebih lanjut. Dari kepastian ini dibangunlah logika yang sesuai dengan semangat ilmu eksakta.

Menurutnya ilmu pengetahuan haruslah mengikuti jejak ilmu pasti. Ilmu pasti selain dapat dijadikan sebagai contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang sudah maju, juga dapat dipandang sebagai penerapan yang paling jelas mengikuti metode ilmiah.

Descartes tidak pernah menerima begitu saja sebagai hal yang benar bila tidak mempunyai dasar pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya.

III. Bersama dengan Descartes, mari mencoba mengeksplorasi secara sederhana dimensi benar dan kebenaran itu baik dari sisi etimologinya maupun sisi estimologinya.

Secara umum dan sederhana, dari aspek estimologi bahasa kata "benar" mempunyai arti:

  • Tidak salah, lurus ataupun adil
  • Sungguh-sungguh; tidak bohong
  • Memang demikian halnya
  • Sangat; sekali.

Namun pemahaman benar atu tidak benar sesungguhnya seperti kisah beberapa orang tuna netra yang dipersilahkan mendiskripsikan seekor gajah, dan menyimpulkan apa itu gajah yang sesuai kenyataan yang dirasakannya.

Artistry of Man | artistryofman.blogspot.com
Artistry of Man | artistryofman.blogspot.com
Seorang dituntun memegang taring gajah: gambarannya binatang gajah itu "runcing".
Seorang lain dibawa merasakan telinga gajah, dikatakan oleh orang ini "gajah itu lebar".  
Seorang lain diantarkan memgang kaki-kaki gajah dan di beritahu itu kaki binatang yang kita ingin tahu pendapat saudara; jawabnya: "binatang ini mustinya binatang yang kuat".
Seorang lain dituntun merasakan perut gajah dari depan kebelakang: "Ini binatang gendut".

Itulah ilustrasi mendeskripsikan susahnya menyatakan "kebenaran". Dengan ilustrasi gajah diatas, pertanyaan mendasarnya adalah gajah itu apa? Siapa yang benar diantara semua orang buta itu? Ketika mereka menyatakan kebenaran sesuai dengan fakta yang dirasakannya, sesungguhnya mereka semua benar dan tidak ada yang salah.

IV. Bagaimana kebenaran dari sisi epistemologinya? Secara epistemology  atau peristilahan, pengertian kebenaran dapat dilihat dari berbagai teori dengan pendekatannya yang berbeda-beda, yaitu :

  1. Teori koherensi. Sesuatu yang benar itu jika hipotesis secara proporsional meneguhkan secara konsisten dengan keadaan sebelumnya. Contoh: Semua  orang akan meninggal, maka si A juga akan meninggal. Ituah kebenaran.
  2. Teori korespondensi. Suatu pernyataan adalah benar jika ia berhubungan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Contoh: Jakarta adalah ibu kota Indonesia. Adalah benar karena sesuai dengan fakta.
  3. Teori pragmatis. Suatu pernyataan dinilai benar jika konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Contoh: Memakai topi helem oleh setiap pengendara sepeda motor, adalah benar, karena berguna dalam melindungi keselamatan pengendara sepeda motor.

Mufid (2009), mengidentifikasi sejumlah cara untuk memeperoleh kebenaran itu. Perhatikan pernyataan ini adalah kebenaran ilmiah, namun ada juga kebenaran non-ilmiah yaitu:

  1. Kebenaran karena kebetulan. Kebenaran demikian tidak dapat diandalkan, dapat menjadikan orang tertipu.
  2. Kebenaran yang diyakini berasal dari "akal sehat", commonsense. Dengan akal sehat dipikirkan bahwa hukuman fisik dapat menjadikan pelaku kejahatan tobat.
  3. Kebenaran agama berdasarkan ayat dan wahyu. Ini merupakan faham murni pada kebenaran yang merupakan keyakinan.
  4. Kebenaran intuitif, didapat dari perasaan "luar", yang tidak ilmiah. Bahwa menutut Mbah Marijan Gunung Merapi tidak akan meletus ketika dia di interview, itu merupakan kebenaran intuisinya.
  5. Kebenaran trial and error. Kebenaran yang didapat karena berdasarkan pengalaman berulang-ulang yang memakan waktu.
  6. Kebenaran spekulatif. Kebenaran yang diterima dari kewibawaan orang yang mengatakannya.
  7. Kebenaran kekuasaan. Kebenaran yang terpaksa diterima karena intervensi kekuasaan.

V. Ukuran Kebenaran

Melihat bagaimana berbagai dimensi kebenaran yang dikemukan oleh sejumlah filosof, terutama Descartes diatas, nampak bahwa kebenran menjadi sesuatu yang langka, dan tidak mudah mendapatkannya ditengah banjir informasi yang sering menyesatkan dan menhancurkan.

Mengapa? Karena informasi akan menjadi dasar bagi siapapun untuk mengambil keputusan sebelum melangkah. Baik pribadi dan terutama organisasi, perusahaan atau pemerintahan misalnya. 

Ketika informasi tidak benar, maka keputusannya juga menjadi salah, dan kalau keputusan salah maka langkah selanjutnya akan menyesatkan, dan sangat mungkin akan menemui kehancuran. Oleh karenanya, menjadi mutlak bagi siapapun untuk terus mengembangkan dan menjaga berbagai cara untuk memastikan bahwa informasi yang didapat itu sebuah kebenaran yang utuh.

Harus memiliki cara dan metode untuk menyaring, memfilter semua data dan informasi agar sampah sampah tidak terlanjur masuk dan bisa disingkirkan sebelum keputusan diambil.

Semuanya diajak seacara serius akan sadar "kebenaran" yang perlu dan harus diikuti dalam kancah pertarungan politik pada 2019 ini, dimana akan terjadi Pemilihan Umum pada 17 April 2019 memilih Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024 serta anggota legislatif dari pusat sampai ke daerah.

Saat ini, bahkan sepanjang 2019 ini, Indonesia sedang mengalami usaha proses saling mempengaruhi hingga menyebabkan pendangkalan dalam dimensi filofis. 

Pendangkalan pemikiran secara filosofis dapat diamati dari munculnya kecenderungan banyak orang yang gemar mengembangan pola pikir monokausal, berorientasi jangka pendek, materialistik, cenderung ingin "potong kompas", demi meraih tujuan yang kurang bermartabat, atau tujuan yang buta.

Dan kecenderungan yang sangat kuat ini, apabila tidak ada upaya untuk menjaga dan mengawalnya maka akibatnya sangat tidak sehat bagi kemajuan bangsa dan negeri ini. 

Presiden dan wakil presiden bisa saja terpilih nantinya, demikian juga anggota legislatifnya, tetapi efek jangka panjangnya menjdi "borok" yang bisa menggerogoti kohesifnes kehiudpan sosial ditengah masyarakat.

Semoga view atau wawasan kita semua menjadi terbuka bahwa pemikiran kebenaran filsafati dapat membantu cara berpikir masing-masing agar mengambil tujuan yang benar, bertindak benar sesuai kebenaran murni yang bermanfaat  dan "sungguh benar" untuk dilaksanakan.

Bersama dengan Descartes "Cogito Ergo Sum" - Karena aku berpikir, aku ada. Bagaimana dengan Anda? Semoga!

Sumber: iknowonethingthatiknownothing.blogspot.com
Sumber: iknowonethingthatiknownothing.blogspot.com
Catatan, artikel yang sangat bagus kiriman dari sahabat baik saya, Ludwig Suparmo, penyusun buku Bunga Rampai Pengembangan Karakter, Manajemen Krisis, Isu dan Risiko dan buku Manajemen TidakStres.

Referensi : Muhamad Mufid, 2009, Etika dan Filsafat Komunikasi, Penerbit Kencana, Jakarta; dan  Zubaidah, dkk, 2007, Filsafat Barat, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun