IV. Bagaimana kebenaran dari sisi epistemologinya? Secara epistemology  atau peristilahan, pengertian kebenaran dapat dilihat dari berbagai teori dengan pendekatannya yang berbeda-beda, yaitu :
- Teori koherensi. Sesuatu yang benar itu jika hipotesis secara proporsional meneguhkan secara konsisten dengan keadaan sebelumnya. Contoh: Semua  orang akan meninggal, maka si A juga akan meninggal. Ituah kebenaran.
- Teori korespondensi. Suatu pernyataan adalah benar jika ia berhubungan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Contoh: Jakarta adalah ibu kota Indonesia. Adalah benar karena sesuai dengan fakta.
- Teori pragmatis. Suatu pernyataan dinilai benar jika konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Contoh: Memakai topi helem oleh setiap pengendara sepeda motor, adalah benar, karena berguna dalam melindungi keselamatan pengendara sepeda motor.
Mufid (2009), mengidentifikasi sejumlah cara untuk memeperoleh kebenaran itu. Perhatikan pernyataan ini adalah kebenaran ilmiah, namun ada juga kebenaran non-ilmiah yaitu:
- Kebenaran karena kebetulan. Kebenaran demikian tidak dapat diandalkan, dapat menjadikan orang tertipu.
- Kebenaran yang diyakini berasal dari "akal sehat", commonsense. Dengan akal sehat dipikirkan bahwa hukuman fisik dapat menjadikan pelaku kejahatan tobat.
- Kebenaran agama berdasarkan ayat dan wahyu. Ini merupakan faham murni pada kebenaran yang merupakan keyakinan.
- Kebenaran intuitif, didapat dari perasaan "luar", yang tidak ilmiah. Bahwa menutut Mbah Marijan Gunung Merapi tidak akan meletus ketika dia di interview, itu merupakan kebenaran intuisinya.
- Kebenaran trial and error. Kebenaran yang didapat karena berdasarkan pengalaman berulang-ulang yang memakan waktu.
- Kebenaran spekulatif. Kebenaran yang diterima dari kewibawaan orang yang mengatakannya.
- Kebenaran kekuasaan. Kebenaran yang terpaksa diterima karena intervensi kekuasaan.
V. Ukuran Kebenaran
Melihat bagaimana berbagai dimensi kebenaran yang dikemukan oleh sejumlah filosof, terutama Descartes diatas, nampak bahwa kebenran menjadi sesuatu yang langka, dan tidak mudah mendapatkannya ditengah banjir informasi yang sering menyesatkan dan menhancurkan.
Mengapa? Karena informasi akan menjadi dasar bagi siapapun untuk mengambil keputusan sebelum melangkah. Baik pribadi dan terutama organisasi, perusahaan atau pemerintahan misalnya.Â
Ketika informasi tidak benar, maka keputusannya juga menjadi salah, dan kalau keputusan salah maka langkah selanjutnya akan menyesatkan, dan sangat mungkin akan menemui kehancuran. Oleh karenanya, menjadi mutlak bagi siapapun untuk terus mengembangkan dan menjaga berbagai cara untuk memastikan bahwa informasi yang didapat itu sebuah kebenaran yang utuh.
Harus memiliki cara dan metode untuk menyaring, memfilter semua data dan informasi agar sampah sampah tidak terlanjur masuk dan bisa disingkirkan sebelum keputusan diambil.
Semuanya diajak seacara serius akan sadar "kebenaran" yang perlu dan harus diikuti dalam kancah pertarungan politik pada 2019 ini, dimana akan terjadi Pemilihan Umum pada 17 April 2019 memilih Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024 serta anggota legislatif dari pusat sampai ke daerah.
Saat ini, bahkan sepanjang 2019 ini, Indonesia sedang mengalami usaha proses saling mempengaruhi hingga menyebabkan pendangkalan dalam dimensi filofis.Â
Pendangkalan pemikiran secara filosofis dapat diamati dari munculnya kecenderungan banyak orang yang gemar mengembangan pola pikir monokausal, berorientasi jangka pendek, materialistik, cenderung ingin "potong kompas", demi meraih tujuan yang kurang bermartabat, atau tujuan yang buta.
Dan kecenderungan yang sangat kuat ini, apabila tidak ada upaya untuk menjaga dan mengawalnya maka akibatnya sangat tidak sehat bagi kemajuan bangsa dan negeri ini.Â