Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Refleksi | Rahmatan Lil Alamin

9 Januari 2019   13:22 Diperbarui: 10 Januari 2019   12:14 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://basoliakotadepok.blogspot.com/2015/03/bersama-membangun-hidup-berbhinneka.html

I

Saya sering mendengar dan membaca frase yang berbunyi "Rahmatan Lil Alamin". Bahkan dalam suatu kesempatan, di siang hari saya membaca frase ini kembali di salah satu rubrik harian umum Kompas dalam kolom "Dialog Perdamaian" . 

Dalam rubrik kompas ini, saya menemukan makna serta pengertian dari frase ini, yaitu "...rachmatan lil alamin, rachmat bagi  semesta alam, khususnya manusia."

Tentu saja saya sangat terkesan dan memori usia lanjut saya seakan bangkit kembali dengan semua pengalaman perjalanan hidup yang sudah saya alami selama 78 tahun. Utamanya bagian penggalan waktu ketika negeri ini mengalami gejolak, ketegangan, konflik bahkan peperangan yang dialami Indonesia untuk memperebutkan kedaulatan republik dari kekuasaan penjajah, yaitu Belanda dan Jepang.

Lalu, memori ini terus tergoda untuk merefleksikan dinamika perubahan dan perkembangan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini yang sangat diwarnai dan didominasi oleh Revolusi Industri 4.0 dan Era Disrupsi yang tidak bisa dihindari oleh siapapun. 

Sebagai senior, saya bersyukur menikmati dan menyaksikan bagaimana generasi now, generasi milenial memaknai zaman digital saat ini. Tentu saja sangat jauh berbeda dengan generasi saya yang lahir 78 taon yang lalu.

Setelah membaca frase di rubrik dialog yang ada di Harian Kompas, pada sore harinya saya ber-WA dengan salah seorang teman yang  ex-dosen dan Lektor Kepala pada FISIP Universitas Indonesia, yang seorang Muslim, untuk mengkonfirmasi tentang makna sesungguhnya dari frasa "Rahmtan Lil Alamin" itu. Dan mendapat pencerahan yang dalam dan luas, namun pada intinya konsepsi atau makna mendasarnya sama, yaitu "rahmat bagi semesta alam, khususnya rahmat bagi manusia".

II

Pengalaman ini saya kisahkan kembali di artikel ini dengan memori yanag terus mengganggu untuk digumuli, sehubungan dengan usaha saya mengumpulkan sejumlah artikel untuk buku saya yang baru, yang berjudul Bunga Rampai Pengembangan Karakter Bangsa; ketika dalam perjalanan saya menemui seorang sahabat yang baik, dosen pada Trisakti School of Management,  dengan naik angkot dan  duduk di sebelah pengemudinya.

Ditengah padatnya lalu lintas Jakarta di siang hari, saya menemukan pengalaman yang sangat mahal dan terkesan, yaitu dari kisah dan cerita kehidupan yang dialami oleh si pengemudi angkot yang saya tumpangi. Dia berkisah sepanjang perjalanan hingga saya sampai di tempat tujuaan, TSM Grogol.

Kisah yang sangat mengesankan karena pengemudi yang berumur 61 tahun itu menceritakan kisah perjuangan hidupnya dan bagaimana dia mengajarkan anak-anaknya  tentang toleransi dan saling menghargai antara orang lain, utamanya yang mempunyai perbedaan-perbedaan.. (catatan: ...entah darimana dia mendapatkan perasaan bahwa saya bukan Muslim, sehingga tutur katanya begitu baik dan sangat hati-hati...).

Saya sangat tertarik mengikuti kisahnya, dan suasana lalu-lintas serta rute angkotnya yang hari itu sangat tenang kendati rame, menjadikan ceritanya tentang pesan-pesan kepada putra-putrinya sangat menarik bagi saya, karena menjadi substansi dari  buku yang sedang saya tulis saat ini, yaitu  Pengembangan Karakter.

Sungguh saya sangat bersyukur menemukan bahan baku yang sangat langka dan mahal. Karena kisah si supir angkot ini merupakan realitas yang ada dan masih hidup ditengah-tengah kemajemukan masyarakat di Negeri ini, yang akhir-akhir ini banyak "dirusak" oleh kepentingan "politik sesaat" ketimbang kepentingan masa depan dari bangsa ini.

Kisah pengemudi angkot itu dimulai bahwa dia berasal dari Banten, mampu selesai SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), namun gagal menyelesaikan tingkat SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). 

Kemudian dia diambil oleh pamannya  dan dibawa ke Jakarta, bekerja sebagai kuli bangunan, hingga mandor dan dipercayai oleh kontraktor menjadi ahli estimasi inventori kebutuhan bahan bangunan, belajar menyetir truk sambil menyekolahkan anak-anaknya hingga mencapai prestasi yang baik yaitu lulus sarjana. Ada juga anaknya yang berprofesi sebagai pedagang.

Sangat mengesankan, bagaimana anak-anaknya mensupport orangtua mereka yang sudah berjuang untuk membesarkan hingga mereka mandiri semua. Sang pengemudi angkot ini, mengkisahkan bahwa, dari modal yang dikumpulkan oleh putra-putranya, kemudian dibelikan secara kredit mobil baru, diberikan pada sang ayah untuk menghasilkan pendapatan dan memberi kesibukan sang ayah menjadi pengemudi angkot.

Ya, ayah mereka didukung untuk menjadi pengemudi angkot sehingga aktifitasnya tidak berhenti, produktif pula karena menghasilkan uang untuk kebutuhannya, dan bisa tetap melayani masyarakat dengan menompang di angkotnya sepanjang hari, disetiap hari.

Saya sungguh terkesan dan menjadi basis kekuatan sebuah keluarga. Dalam persepsi saya bahwa "Keluarga ini sangat sederhana, namun maju terus dan berkarakter mulia!". 

Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh siapapun, keluarga apapun untuk tetap mampu mengelola kehidupan secara benar dan baik ditengah tengah "ganasnya" persaingan, ancaman bahkan perebutan sumber daya yang langka di zaman sekarang.

III

Saking asyiknya kami mengobrol, seakan kami berdua sudah menjadi teman lama yang sering berbagi dan bertukar pikiran dan tentang kehidupan ini. Si pengemudi angkot ini, berkisah tentang rahasia spiritual yang dialami dan dijalani salama ini bersama dengan keluarganya, sehingga mampu bertahan di tengah-tengah kota Metropolitan Jakarta yang sangat "panas", panas dalam segala hal, tidak saja udaranya, tetapi juga kehidupan didalamnya.

Kembali kisah sang pengemudi kepada saya menceritakan bahwa Islam itu "hablum minallah dan hablum minanas". Dia sangat antusias untuk menjelaskan filsafat dan maknanya, namun, pada waktu itu kami sudah sampai di depan kampus yang saya tuju dan minta turun dari angkotnya, dan kami berpisah :

Saya : "Terimakasih pak, saya Katolik-Kristen, kita harus hidup berdampingan penuh cinta kasih!"

Pengemudi angkot (agak merasa bersalah memegang tangan saya) : "Maaf pak saya tidak mau mengajari bapak!"

Saya (tersenyum memandang dia): "Pak saya doakan bapak sehat selalu, terimakasih pak, motto saya Learning Never Stops!"

IV

Hari ini saya sungguh berterima kasih, saya bahagia dan bersyukur pada Allah bertemu dan diajak mendengarkan pesan-pesan Allah agar hidup ini berdampingan, dan dapat menjadi sekelumit bukti yang dipesankan oleh rubrik Kompas: tentang "toleransi beragama di Indonesia, tinggi."

Nampaknya, kesimpulan-kesimpulan yang mengatakan bahwa negeri ini sudah terkikis toleransinya, sesungguhnya masih harus diuji secara empirik. Nampaknya kesimpulan-kesimpulan itu cenderung menjadi komoditi politik yang merusak ketenangan dan kedamaian yang sesungguhnya hidup dan terus hidup bertumbuh ditengah-tengah masyarakat.

Apa yang saya alami berjumpa dan berkomunikasi selama satu jam dengan Pengemudi Angkot itu, merupakan bukti dan representasi dari apa yang sesungguhnya ada ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang lebih 80%nya kelas menengah kebawah, sesungguhnya mereka merasakan toleransi yang sangat kuat dan kental antara satu orang dengan orang yang beragam latar belakang mereka.

Keberagaman itulah yang menjadi pemersatu mereka untuk saling mendukung dan menopang dalam menghadapi kerasnya kehidupan ini, dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, menjaga kesehatan dan keamanan satu dengan lain, bahkan dalam berbagai permasalah sosial, mereka saling membantu. Dan inilah yang disebut oleh tolerasi antara warga negeri ini yang diikat dan dikokohkan oleh NKRI.

Catatan : Dikisahkan dan ditulus oleh sahabat baik saya, Ludwig Suparmo, pelaku bisnis pelatihan Isu, Risiko dan Manajemen Krisis, Manajemen Konflik, Manajemen Tidak Stres dan Manajemen Karakter.

Jakarta, 8 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun