Contoh yang sederhana untuk menjelaskan bagaimana berpikir dikotomi itu adalah konsep SEX ataua terjemahan Sex itu adalah Jenis Kelamin. Jenis kelamin seseorang hanya mungkin terjadi dalam bentuk "Jenis Kelamin Laki-laki" atau "Jenis Kelamin Perempuan". Jadi, Laki-laki atau Perempuan.
Dikatakan dikotomi, karena pada saat seseorang terbukti berjenis kelamin laki-laki, pada saat yang sama dia pasti bukan bejenis kelamin perempuan. Atau pada saat Anda mengaku dan terbukti sebagai perempuan, tidak mungkin Anda akan juga mengakatan bahwa Anda laki-laki pada saat yang sama.
Anda bisa memberikan contoh-contoh lainnya, misalnya agama atau kepercayaan seseorang. Pada saat dia menjadi seorang Kristen tidak mungkin pada saat yang sama dia juga mengaku Budha atau sebaliknya.
Bahaya Berpikir Dikotomi
Dari sisi metidologi berpikir, tidak ada yang salah dengan berpikir dikotomi, karena sebenarnya akan menolong dan membantu seseorang agar berpikir dan tentu saja bersikap dan berperilaku secara benar, sehingga seseorang akan menjadi produktif bekerjanya, akan berhasil hidupnya dan bukan semakin menjadi sia-sia belaka.
Dalamaa ranah ilmiah, dalam kegiatan peneitian pengetahuan dan ketrampilan berpikir dikotomi merupakan sebuah kebutuhan agar seorang peneliti mampu mengenal dan membedakan dengan tegas dan benar jenis, tipe dan cara mengukut konsep atau variable sehingga kajian akan masalah yang sedang dihadapi dan solusi yang dipilih akan efektif.
Namun, yang sering terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatanb adalah orang terjebak dengan berpikir diokotomi ini. Yang sering ditemui adalah berusaha mempertentangkan dua kelompok yang berbeda sehingga situasi menjadi komfrontatif, berhadap-hadapan karena tidak saling mengalah.
Inilah yang harus dihindari agar atau hendaknya jangan terjebak untuk mempersoalkan apakah kelompok yang satu baik atau kelompok yang lain jelek.
Dalam contoh sederhana diatas, tenatng Terang versus Gelap. Banyak orang menghabiskan energinya untuk mempersoalkan mengapa ada tenag dan gelap? Padahal, terang dan gelap itu memang ada dan tidak boleh dipertentangka. Sama halnya mengapa ada wanita dan mengapa ada laki-laki? Ini sebuah realitas kehidupan yang harus diterima, dijalani dan dikelola. Mengapa ada yang miskin dan mengapa ada yang kaya? Mengapa ada orang partai dan mengapa ada yang non partai? Dan seterusnya.
Mempertentangkan terus antara terang dan gelap hanya merupakan kesia-siaan, percuma dan mubasir. Kedunya memang ada dan dibutuhkan untuk sebuah proses dan perjalan hidup dan kehidupan di bumi yang fana ini.
Dalam kehidupan sosial, kita menemui begitu banyak dikotomi yang sering sekali menjadi awal terpecahnya komunitas masyarakat. Misalnya saja, masyarakat memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, dan itulah adalah sebuah kenyataan yang ada dan eksist sehingga harus diterima sebagai ke-ada-an sebuah komonutas, sebagai konsekuensi dari kemajemukan yang diakui, diakomodir dan diterima oleh bangsa dan negara ini. Bahkan peraturan perundang-undangan melindunginya.