Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika "Urat Malu" Koruptor Sudah Putus, Masihkah Layak Menjadi Caleg?

10 September 2018   12:16 Diperbarui: 10 September 2018   18:20 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, sungguh emosi ini tidak terkontrol dan seakan meledak saja, ketika dikelas seorang mahasiswa bertanya. Pertanyaannya begini, pagi ini Kompas.com memberitakan "Hari Ini, 40 Anggota DPRD Kota Malang Hasil PAW Dilantik" yang berarti 40 anggota DPRDnya korupsi berjamaah dari 45 orang, mohon pencerahan dari bapak mengapa hal ini terjadi mengingat, hampir setiap minggu selalu ada OTT oleh KPK, apakah anggota dewan ini tidak tahu, tidak takut atau apa yang terjadi?

Kepada mahasiswa saya menjawab dengan ringkas dan singkat tetapi substansial bahwa anggota dewan itu urat malunya sudah putus, dan kalau urat malunya sudah putus dipastikan mereka tidak memiliki rasa malu lagi, maka melakukan korupsi pun pasti tidak malu-malu, dan bahkan malah mereka memperlihatkan wajah senang, happy aja, seakan mereka memenangkan pertandingan dan menjadi juaranya.

Nampaknya tidak ada lagi istilah yang cocok buat anggota dewan legislatif yang korupsi selain kata "urat malu"nya sudah putus berantakan. Melakukan korupsi, ketangkap tangan oleh KPK, dipakaikan baju kebesaran KPK, digiring ke kantor KPK beramai-ramai, disorot oleh media televisi, mukanya memperlihatkan keceriaan, angkat jempol sambil senyum lebar, dan bahagia habis. Mana malunya, mengapa kalian tidak malukah? Seharusnya malu kan, karena jabatan yang peran yang kalian emban dan wakili bukan main-main.

Harusnya seorang anggota legislatif merasa sangat malu ketika melakukan korupsi, karena fungsi dan perannya di lembaga dewan itu sebagai wakil rakyat yang memilihnya. Jabatan yang terhormat mewakili rakyat untuk menyuarakan suara rakyat, membela kepentingan rakyat, dan kalau perlu mati-matian menjadi pahlawan rakyat. Tetapi, yang terjadi "korupsi" untuk kepentingan diri sendiri lalu OTT.

Seorang mahasiswa lain memberikan pemahaman yang menarik, dengan mengatakan bahwa karena "semua anggota dewan" korupsi maka tidak ada yang merasa malu, dan dianggapnya korupsi berjamaah itu menjadi sah-sah saja adanya. Karena semua OTT oleh KPK jadi malunya terbagi-bagi. Tidak hanya itu, Wali kotanya saja juga kena OTT, jadi buat apa harus malu.

Kalau demikian alasannya, maka urat malunya sudah diganti dengan urat lain. Astagaa...! Karena hampir semua melakukan praktek korupsi maka korupsi itu menjadi sesuatu yang lumrah, bisa dibenarkan dan tidak perlu diributkan. Mungkinkah seperti ini yang sedang terjadi di semuaa lembaga legislatif di negeri ini, mulai dari pusat hingga ke kampung-kampung. Bila ini yang terjadi, maka bangsa dan republik ini benar-benar berada dalam darurat korupsi.

Bayangkan saja, belum sebulan yang lalu, Gubernur Zumi Zola OTT dan dijebloskan dalam penjara oleh KPP. Bahkan, sedang ditunggu kisah selanjutnya karena katanya, hampir semua anggota DPR juga telah mendapatkan "jatah" dari Zumi agar semua laporan dan rencananya disetujui saja. 

Kasus besar ini pun, tidak membuat takut anggota dewan di Kota Malang, seakan-akan itu bukan cerita untuk mereka. Jauh sebelumnya, Gubernur Sumatera Utara, Gatot sudah OTT dan dipenjarakan oleh KPK, dan sekarang satu persatu anggota dewan di Provinsi Sumatera Utara "digarap" oleh Pengadilan, dan masuk penjara.

Jadi, tidak ada lagi efek jera menjebloskan anggota dewan dalam penjara. Mungkin mereka berpikir, "anjing menggonggong kafilah berjalan", the show must go on, ya, korupsi jalan terus. Ini sungguh-sungguh terlalu, katanya Roma Irama, dan nampaknya memang betul-betul urat malu koruptornya sudah putus berantakan.

Korupsi dan koruptor menjadi musuh besar rakyat, dan hantu-iblisnya bagi hambatan kemajuan dan pembangunan suatu bangsa dan negara. Oknum-oknum koruptor sudah merajalela diseluruh lembaga legislatif yang seharusnya merupakan garda terdepan yang mengawal proses pembangunan di negara ini agar cepat sampai di tujuan yang benar.  Yang terjadi, malah sebaliknya, mereka memperkaya diri sendiri dan melupakan semua apa yang menjadi tanggungjawab moral yang dititipkan oleh rakyat yang memilihnya.

Korupsi dan koruptor harus diberantas dan dilawan habis-habisan. Rakyat tidak bisa lagi membiarkan keadaan seperti ini terus berlanjut. Apabila keadaan ini akan terus berlanjut maka generasi berikutlah yang akan menanggung akibatnya. 

Kemajuan dan perkembangan bangsa ini akan sangat terganggu. Bahkan mimpi Jokowi agar tahun 2045, Indonesia akan menjadi salah satu dari 10 negera terkuat secara ekonomi, tidak akan pernah terwujud. Bahkan, manfaat bonus demografi yang sudah mulai terasa pada tahun 2030-pun, bisa jadi masalah dan beban bagi negeri ini.

Seorang mahasiswa saya bertanya, bagaimana caranya melawan agar anggota dewan legislative tidak korupsi lagi? Sederhana sekali, walaupun tidak mudah melakukannya. Yaitu, "pilihlah anggota dewan yang benar-benar kredibel dan memiliki integritas dan moral yang kuat dan dalam". 

Lakukan pada saat PILEG, pemilihan legislatif tahun depan. Jangan pilih mereka yang memiliki moral kororuptor, dan moral kejahatan lainnya. Kalaupun tidak 100% kredibel, tetapi bisa mengurangi orang yang "moral koruptornya" masuk senayan.

Perjuangan KPU melalu PKPUnya harus didukung, dikawal dan diperjuangkan habis-habisan yaitu agar mantan koruptor dan kejahatan lainnya tidak boleh lolos menjadi bacaleg. Setelah beberapa bulan diperjuangkan, akhirnya "jebol" juga. Lolos dan seakan-akan publik pasrah tentang situasi ini. KPU sudah coba menghadang, tetapi mereka kurang dikawal, sehingga sejumlah nama mantan itu lolos jadi bacaleg.

Walaupun, seorang Mahfud MD setuju perjuangan KPU melalui PKPU ini, tetapi Mahfud MD sendiri pesimis lagi karena menurutnya KPU tidak memiliki kewenangan melarang itu, kecuali Undang-undang. Dan undang-undang itu belum ada, dan harus dibuat dulu baru efektif. Kapan bikinnya UU itu? Yang buat UU adalah Pemerintah dan DPR, lalu apakah DPR mau menyetujui UU itu untuk melarang dirinya sendiri menjadi caleg? Waduh, jadi lingkaran iblis jadinya. Kapan putus lingkaran ini? Kapan berhenti korupsi anggota dewan? Kapan kepentingan rakyat diperjuangkan kalau anggota dewan terus bermasalah dengan perilaku menyimpang korupsinya?

Apa yang sudah dimulai oleh KPU dengan PKPU-nya sungguh pintu masuk yang efektif untuk menghadang para mantan koruptor menjadi caleg lagi. Sementara tidak ada jalan yang lebih efektif mengingat urat malu korupsinya sudah pada putus. Sementara itu, perlu berbagi upaya, strategi untuk mengawal agar anggota dewan terpilih nanti pada tahun 2019 tidak terkontaminasi dengan budaya korupsi yang selama ini menjadi label kuat bagi legislative. Semoga !

YupG. Jakarta 10/9/18

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun