I
Disalah satu stasiun televise, terjadi debat kusir sengit antara dua orang dalam sebuah talk-show. Disana ada 6 nara sumber, dan dua diantaranya sedang telibat debat-kusir, adu-mulut yang sangat sengit dan tidak elok dditonton. Mantan napi koruptur dengan berapi-api penuh emosi membela diri berhak menyaleg karena dia sudah menjalani hukumannya dan dia merasa sudah bersih, suci dan tak bersalah adanya sehingga tidak boleh dilarang menjadi Caleg pada Pemilu 2019.
Hiruk pikuk tentang mantan napi koruptor, bandar narkoba kejahatan seksual anak tidak boleh nyaleg sudah menjadi menu setiap hari dalam pemberitaan media akhir-akhir ini. Dan menjadi lebih serius karena sudah masuk di arena Mahkamah Agung (MA), yang menurut berita telah meregistrasi tiga gugatan uji materi terhadap ketentuan di Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang melarang eks terpidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak menjadi bakal calon anggota legislatif (caleg).
Polarisasi dinamika opini diranah public nampak ada dua kelompok ektrim yang ada. Kelompok pertama ada masyarakat secara umum setuju dengan usulan KPU tentang PKPU Nomor 20/2018 ini, yaitu agar para mantan napi "penjahat" ini tidak ada lagi tempatnya diarena kepemimpinan daerah dan legislatif. Sementara kelompok lain yang lebih heboh dan serius berteriak-teriak adalah yang tidak setuju PKPU ini, dan mereka sebagian besar adalah para anggota legislative, mantan legalistif yang juga mantan napi, serta sebagian besar orang partai.
Ini sebuah ironi yang seharusnya tidak boleh terjadi. Ini artinya, masyarakat atau rakyat sedang berhadap-hadapan dengan para legislatif dan parpol. Lho, legislative adalah wakil rakyat karena mereka dipilih oleh rakyat. Tetapi, rakyat yang tidak menolak mantan napi nyaleg malah ditolak. Kalau begitu, persoalannya sederhana, bukan ? Rakyat jangan memilih saja mantan napi-napi itu. Lalu, selesai persoalannya !? Ternyata tidak juga, karena kalua PKPU ini gagal maka rakyat bisa saja dibeli, dibodohin dan dikadalin oleh para caleg-caleg mantan napi ini.
II
Sudah banyak kajian yang menunjukkan bahwa para koruptor itu sebetulnya sedang sakit berat dan bahkan termasuk penyakit psikopat. Penyakit yang sangat berbahaya bagi orang lain karena psikopat hanya mementingkan kepentingan diri sendiri dan nyaris tdiak peduli kepada orang lain. Bahkan orang lain dia peralat untuk mewujdukan keinginannya dengan berbagai cara. Para psikopat memiliki berbagai cara untuk memanipulasi situasi agar keinginannya tetap bisa tercapai.
Indonesia telah menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, extra-ordinary crime. Itu artinya bahwa yang melakukan korupsi adalah pelaku kejahatan luar biasa. Karena luar biasa maka harus dilawan dengan sangat keras karena daya hancur yang diakibatkannya juga luar biasa.
Kalau demikian, apakah kejahatan korupsi dan para pelaku korupsi masih perlu diberi tempat yang layak dan begitu terhormat di tengah-tengah masyarakat ini ? Atau apakah masyarakat negeri ini juga sudah parah sehingga tidak memiliki lagi nilai-nilai etis dan moral yang masih harus dijaga, dipelihara dari berbagai kekuatan yang merusak dan menghancurkan masa depan generasi ini ?
Saya membuka kembali buku memorinya politikus senior Sabam Sirat yang berjudul Politik Itu Suci, dan saya bertanya kembali kepada Bang Sabam Sirait apakah betul politik itu suci ? Bagi  saya yang bukan politikus, menjadi sulit memahami bahwa politik republik ini suci ketika para penghuni senayan dan mengklaim wakilnya rakyat negeri ini, tetapi hati mereka jauh dari kesucian menjaga dan memelihara suara rakyat itu sendiri?
Bahkan ketika mereka terjerat dan terserempet dengan kasus-kasus korupsi, narkoba lalu merasa tidak pernah bersalah dengan tampil di media dengan gagah dan kepala tegak, senyum-senyum, dan merasa tidak bersalah dan suci. Sulit bagi saya memahami kebenaran kesucian itu. Bagi saya, mereka adalah psikopat yang harus disingkirkan dari hadapan rakyat yang dan tidak memiliki kepeduliaan akan begitu banyak rakyat ini masih sangat menderita untuk berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari.
III
Dalam bukunya berjudul "Change Or Die", 2007, Alan Deutschman menyajikan hasil penelitian yang menarik, tentang mereka-mereka yang sudah menajdi narapidana di penjara-penjaran Amerika Serikat, setelah bebas keluar penjara, maka pada umumnya mereka melakukannya kejahatan yang sama kembali dan dipenjarakan lagi untuk kali berikutnya.
Hasil penelitiannya melibatkan 272.111 tahanan setelah mereka dibebaskan dari penjara-penjara di 15 negara bagian, dan merupakan penelitian terbesar yang pernah dilakukan terhadap para resividis. Hasilnya, 30% resividis ini ditahan kembali 6 bulan kemudian dan 67,5% lainnya ditahan kembali 3 tahun berikutnya. Sebagian besar tahanan yang ditangkap kembali tersebut melakukan kejahatan yang serius.  Hasil penelitian ini oleh para psikolog menyimpulkan dan meyakini bahwa kebanyakan para penjahat  tidak dapat berubah.
Ini sebuah indikasi yang sangat kuat bahwa banyak para penjahat yang tidak mau berubah itu karena mereka adalah tergolong "psikopat". Psikopat bukan seperti masyarakat pada umumnya karena mereka tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana salah. Psikopat tidak memiliki rasa empati terhadap orang lain. Mereka hanya memeperhatikan diri sendiri. Singkatnya psikopat itu orang-orang yang kejam.
Apabila para pelaku koruptor ini termasuk psikopat maka diyakini mereka tidak akan berubah. Sehingga ketika mereka terpilih kembali menjadi pimpinan atau menjadi anggota penghuni senayan lagi, maka perilaku koruptif akan dilakukan kembali dengan cara-cara yang lebih cangkih dan hebat. Â Karena sesungguhnya, para psikopat itu bisa saja muncul dalam bentuk yang seakan-akan bersih, baik, alim dan ramah tetapi mereka sangat kejam melakukan kejahatannya.
IV.
Kini sedang berproses di MA, Â untuk dilakukan judicial review apakah PKPU Nomor 20 Tahun 2018 akan lolos atau tidak. Apakah aspirasi rakyat agar mantan napi "penjahat" korupsi dan bandar narkoba boleh menjadi Caleg atau tidak boleh akan menjadi sebuah drama baru bagi bangsa ini memasuki tahun politik 2019 yang akan datang.
Lalu, pertanyaan kritisnya adalaah seharusnya mana yang lebih tinggi pertimbangan moral kemasyarakatan atau pertimbangan hokum yang akan ditetapkan ? Nampaknya, selama ini pertimbangan moral masyarakat dan rasa keadilan public selalu kalah. Dan semua selalu bertopeng karena ada ketentuan dan ada hokum yang sudah diundangkan. Ambil contoh konyol UUMD3, yang katanya baru dimenangkan di MK, yang isinya sarat dengan membela kepentingan penghuni senayan dan bukan kepentingan rakyat yang hendak mengontrol dan mengawasi wakilnya di legislatif.
Persetujuan Presiden Jokowi bahwa mantan napi korupsi boleh nyaleg, asalkan KPU mengumkan brandnya atau merknya sebagai mantan napi, menunjukkan sikap kompromi Jokowi kepada para penghuni senayan. Pertimbangan yang sangat kental untuk memasuki tahun pilres dan pileg tahun 2019.
Apa boleh buat, rakyat dan bangsa ini masih harus terus dikuras energinya untuk urusan tetek-bengek politik pragamatis para petualang politik ketimbang memikirkan bagaimana kesejahtreraan rakyat semakin baik dan maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H