III
Dalam bukunya berjudul "Change Or Die", 2007, Alan Deutschman menyajikan hasil penelitian yang menarik, tentang mereka-mereka yang sudah menajdi narapidana di penjara-penjaran Amerika Serikat, setelah bebas keluar penjara, maka pada umumnya mereka melakukannya kejahatan yang sama kembali dan dipenjarakan lagi untuk kali berikutnya.
Hasil penelitiannya melibatkan 272.111 tahanan setelah mereka dibebaskan dari penjara-penjara di 15 negara bagian, dan merupakan penelitian terbesar yang pernah dilakukan terhadap para resividis. Hasilnya, 30% resividis ini ditahan kembali 6 bulan kemudian dan 67,5% lainnya ditahan kembali 3 tahun berikutnya. Sebagian besar tahanan yang ditangkap kembali tersebut melakukan kejahatan yang serius.  Hasil penelitian ini oleh para psikolog menyimpulkan dan meyakini bahwa kebanyakan para penjahat  tidak dapat berubah.
Ini sebuah indikasi yang sangat kuat bahwa banyak para penjahat yang tidak mau berubah itu karena mereka adalah tergolong "psikopat". Psikopat bukan seperti masyarakat pada umumnya karena mereka tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana salah. Psikopat tidak memiliki rasa empati terhadap orang lain. Mereka hanya memeperhatikan diri sendiri. Singkatnya psikopat itu orang-orang yang kejam.
Apabila para pelaku koruptor ini termasuk psikopat maka diyakini mereka tidak akan berubah. Sehingga ketika mereka terpilih kembali menjadi pimpinan atau menjadi anggota penghuni senayan lagi, maka perilaku koruptif akan dilakukan kembali dengan cara-cara yang lebih cangkih dan hebat. Â Karena sesungguhnya, para psikopat itu bisa saja muncul dalam bentuk yang seakan-akan bersih, baik, alim dan ramah tetapi mereka sangat kejam melakukan kejahatannya.
IV.
Kini sedang berproses di MA, Â untuk dilakukan judicial review apakah PKPU Nomor 20 Tahun 2018 akan lolos atau tidak. Apakah aspirasi rakyat agar mantan napi "penjahat" korupsi dan bandar narkoba boleh menjadi Caleg atau tidak boleh akan menjadi sebuah drama baru bagi bangsa ini memasuki tahun politik 2019 yang akan datang.
Lalu, pertanyaan kritisnya adalaah seharusnya mana yang lebih tinggi pertimbangan moral kemasyarakatan atau pertimbangan hokum yang akan ditetapkan ? Nampaknya, selama ini pertimbangan moral masyarakat dan rasa keadilan public selalu kalah. Dan semua selalu bertopeng karena ada ketentuan dan ada hokum yang sudah diundangkan. Ambil contoh konyol UUMD3, yang katanya baru dimenangkan di MK, yang isinya sarat dengan membela kepentingan penghuni senayan dan bukan kepentingan rakyat yang hendak mengontrol dan mengawasi wakilnya di legislatif.
Persetujuan Presiden Jokowi bahwa mantan napi korupsi boleh nyaleg, asalkan KPU mengumkan brandnya atau merknya sebagai mantan napi, menunjukkan sikap kompromi Jokowi kepada para penghuni senayan. Pertimbangan yang sangat kental untuk memasuki tahun pilres dan pileg tahun 2019.
Apa boleh buat, rakyat dan bangsa ini masih harus terus dikuras energinya untuk urusan tetek-bengek politik pragamatis para petualang politik ketimbang memikirkan bagaimana kesejahtreraan rakyat semakin baik dan maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H