Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tenggelamnya KM Sinar Bangun, Apa Kabar dengan Mitigasi Bencana di Indonesia?

5 Juli 2018   20:07 Diperbarui: 6 Juli 2018   12:15 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44694972


Harus diakui bahwa tingkat kesadaran mitigasi bencana di Indonesia sangat lemah sehingga ketika terjadi bencana, walaupun bencana dalam skala yang relatif kecil, selalu membawa korban yang memilukan. Sesungguhnya, semakin tinggi mitigasi bencana maka korban akan bisa diminimalkan menuju zero risk !

KM Sinar Bangun

Kasus tenggelamamnya KM Sinar Bangun di wilayah Danau Toba Sumatera Utara seakan membangunkan bangsa ini dari tidur panjangnya  dan bertanya "Ada apa dengan Mitigasi Bencana di Indonesia ?" Sedang apakah Badan Penanggulangan Bencana Nasional yang seharusnya memiliki tanggungjawab penuh terhadap terjadinya bencana yang ada seperti kasus Sinar Bangun ini, yang meninggalkan duka dan pilu mendalam bagi ratusan keluarga karena anggota keluarganya mati ditelan danau toba yang terkenal itu. Bahkan hingga kini masih banyak yang belum ditemukan, walaupun perburuan mayat-mayat sudah dihentikan dengan segala macam alasan.

Tenggelamnya KM Sinar Bangun seakan mencoreng dan menenlanjangi badan atau lembaga yang betanggungjawab terhadap mitigasi bencana sebelum terjadi bencana. Coba bayangkan, sebuah kapal yang seharusnya hanya mampu membawa penumpang 50 orang, tetapi dalam kapal diisi hampir 200 orang penunmpang, yang seharusnya tidak memuat barang seperti sepeda motor tetapi diatas kapal itu ada puluhan sepeda motor yang diangkut, harusnya ada pengamanan dan pelampung tetapi kenyataannya berbeda, harusnya ada panduan keamanan tetapi kosong melompong, hingga daftar penumpangpun tidak ada yang lengkap. Sementara dia terus menerus bertahun-tahun menjalankan operasi seperti ini setiap hari hingga terjadinya kecelakaan yang sangat memilukan itu.

Apapun alasan yang dibangun mengapa badan yang bertanggungjawab pada mitigasi bencana di republik ini, tidak peduli, yang jelas, fakta menunjukkan bahwa KM Sinar Bangun ini dibiarkan saja beroperasi selama ini dengan leluasa dan seakan-akan tidak ada yang bertanggungjawab sama sekali. Ini baru satu kapal namanya KM Sinar Bangun. Sementara itu berapa banyak KM Sinar Bangun lainnya yang kondisinya hampir sama bahkan mungkin lebih buruk tersebar diseantero negeri Indonesia ini. Dan karenanya juga sangat mungkin nasibnya akan menjadi seperi KM Sinar Bangun ini suatu saat keepan.

Apa Mitigasi Bencana ?

Pembicaraan dan pembahasan yang sangat serius tentang mitigasi bencana ini mulai mendapatkan tempatnya ketika terjadinya bencana alam tsunami di Nanggruh Aceh Darussalam dan Nias Sumatera Utara yang sangat dahsyat dan menelan korban jiwa ratusan ribu manusia, kehancuran habis-habisan kota, desa dan perkampungan, infrastruktur disemua aspek tidak berfungsi, dan berbagai penderitaan lainnya yang muncul. Walaupun Indonesia mampu melakukan Rehabilitasi dan Rekonstruksi kembali Aceh dan Nias selama 4 tahun, 2005 sd 2009, namun meninggalkan kisah tragis dan penuh duka mendalam bagi Indonesaia dan Aceh tentunya.

Pada saat itulah issue tentang mitigasi bencana menjadi penting urgent bagi Indonesia yang dikenal sebagai daerah wilayah yang sarat dan penuh dengan potensi bencana alam dari Sabang sampai Merauke. Saking seriusnya dan tidak mau mengalami hal yang sama dengan kejadian Tsunami di Aceh, sehingga lahirlah Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 yang dikeluarkan pada tanggal 26 April 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kemudian lembaga yang dibentuk dan dipercayakan untuk mengelola mitigasi bencana ini adalah dikenal dengan nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB, sebuah lembaga yang sangat sibuk ketika terjadi bencana alam di wilayah Indonesia.

Secara umum difahami dengan sederhana tentang mitigasi bencana dan menjadi acuan pekerjaan secara operasional, yaitu :

Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.  

Dengan demikian dapat dimaknai bahwa mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta.

Secara prosedural ada langkah-langkah yang harus ditempat dalam melaksanakan mitigasi banana ini. Misalnya, langkah awal yang harus dilakukan, melakukan kajian resiko bencana terhadap daerah tersebut, dan dalam menghitung resiko bencana sebuah daerah harus mengetahui bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity) suatu wilayah yang berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik dan wilayahnya. Komponen-komponen mitigasi ini menjadi kunci dalam menangggulangi suatu bencana yang mungkin akan terjadi.

Bahaya atau hazard, difahami sebagai suatu kejadian yang mempunyai potensi untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau kehilangan harta benda. Dan harus difahami bahwa bahaya ini bisa menimbulkan bencana maupun tidak. Suatu bahaya dianggap sebuah bencana  atau disaster apabila telah menimbulkan korban dan kerugian.

Kerentanan  atau vulnerability, merupakan rangkaian kondisi yang menentukan apakah bahaya, baik bahaya alam maupun bahaya buatan, yang terjadi akan dapat menimbulkan bencana atau disaster. Jadi, rangkaian kondisi, umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap terhadap dampak bahaya.

Ada beberapa macam kerentanan yang muncul :
Kerentanan fisik: bangunan, infrastruktur, konstruksi yang lemah.
Kerentanan sosial: kemiskinan, lingkungan, konflik, tingkat pertumbuhan yang tinggi, anak-anak dan wanita, lansia.
Kerentananmental: ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya percaya diri, dan lainnya.

 Kapasitas atau capacity, yang menunjukkan  kemampuan untuk memberikan tanggapan terhadap situasi tertentu dengan sumber daya yang tersedia baik fisik, manusia, keuangan dan lainnya. Kapasitas ini bisa merupakan kearifan lokal masyarakat yang diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Resiko bencana  atau Risk,  yang menunjukkan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan  kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa teranca, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat, akibat kombinasi dari bahaya, kerentanan, dan kapasitas dari daerah yang bersangkutan.

Dalam mitigasi bencana, output yang sangat dasar adalah tentang aspek resiko yang mungkin akan muncul. Sehingga mengurangi dengans tenaga agar resiko yang muncul sekecil mungkin. Artinya, korban jiwa sesedikit mungkin, kerugian fisik dan material, sesedikit mungkin, kalau memang tidak bisa dihilangkan. Walaupun mimpi indah dari Lembaga Penanganan Bencana Alam adalah zero risk !

Kalau demikian, bisa difahami bahwa orietntasi mitigasi bencana ini lebih banyak berfokus pada pengurangan resiko yang muncul sesuai dengan hasil pemetaan dan identifikasi yang dilakukan. Secara umum, dan lazimnya yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana antara lain:

Relokasi penduduk dari daerah rawan bencana, misal memindahkan penduduk yang berada dipinggir tebing yang mudah longsor
Pelatihan-pelatihan kesiapsiagaan bencana bagi penduduk di sebuah daerah.
Pengkondisian rumah atau sarana umum yang tanggap bencana. 
Bangunannya relatif lebih kuat jika dilanda gempa.
Penciptaan dan penyebaran kearifan lokal tentang kebencanaan.

Bila dicermati highlight pengurangan resiko diatas sesungguhnya sangat baik dan idela tentunya karena itulah yang harusnya dikerjakan oleh semua stakeholders. Namun, dalam praktek untuk melaknakannya tidak seindah mengucapkannya. Dengan kejadian-kejadian seperti tenggelamnya KM Sinar Bangu, bisa disimpulkan bahwa sama sekali tidak ada upaya untuk mengurangi resiko bencana yang akan datang. Dan sialnya, bencana itu betul-betul terjadi, dan korbanpun betul-betul juga jatuh dan hancur!

Ada apakah dengan BNPB?

Pertanyaan ini sangatklah sederhana, bahwa ketika terjadi bencana seperti tenggelamnya KM Sinar Bangun, atau tenggelamnya Kapal Ferry di Selayar dan menelan korban jiwa 25 orang, dimanakah BNPB?  Mengapa BNPB dengan seragam orange terang itu baru pada muncul saat bencana sudah terjadi, saat korban sudah berjatuhan, saat keluarga menangis meraung-raung karena kehilangan orang yang mereka cintai?

Ada kesan yang sangat kuat, bahwa pola penanganan bencana di negeri ini sifatnya reactive dan bukan proactive. Baru sibuk kalau sudah terjadi bencana, dan lebih banyak nampak lebih sibuk melayani siaran langsung dari televisi.

Apakah betul Indonesia tidak memiliki standard yang benar untuk melakukan mitigasi bencana ini? Seperti yang ditulis oleh Moh Nadlir bahwa "BNPB: Indonesia Belum Punya Standar Mitigasi Bencana seperti Jepang" https://nasional.kompas.com/read/2018/03/05/19501381/bnpb-indonesia-belum-punya-standar-mitigasi-bencana-seperti-jepang.

Sungguh memprihatinkan kalau hingga saat ini, lebih 10 tahun sejak Undang-undang No 24 tahun 2007 dikeluarkan, belum juga memiliki standard yang mitigasi bencana. Kalau begitu, selama ini apa yang dikerjakan oleh BNPB? Bisa jadi, BNPB hanya muncul setelah terjadi bencana, dan sebelumnya tidak membuat apa-apa sama sekali. Artinya, BNPB tidak memiliki program aksi yang signifikan untuk mitigasi bencana ini.

Padahal, dalam laman BNPB (https://bnpb.go.id)  dicantumkan bahwa Indonesia ini merupakan wilayah yang rawan bencana karena berada di wilayah yang merah sehingga harus digalakkan mitigasi bencana itu.

Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia. Wilayah yang juga terletak di antara benua Asia dan Australia dan Lautan Hindia dan Pasifik ini memiliki 17.508 pulau. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-pulau yang luar biasa, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia?Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.

Ring of fire dan berada di pertemuan tiga lempeng tektonik menempatkan negara kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman bencana alam. Di sisi lain, posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Tidak hanya bencana alam sebagai ancaman, tetapi juga bencana non alam sering melanda tanah air seperti kebakaran hutan dan lahan, konflik sosial, maupun kegagalan teknologi.

Bangsa ini baru berada pada tataran memahami saja dan menyadari saja dan belum maasuk pada tataran untuk melakukan pencegahan yang bearti. Sehingga hampir setiap saat wilayah ini akan terancam bencana yang selalu makan dan menelan korban yang tidak sedikit.

Ini menjadi menarik sekaligu menjelaskan problem yang dihadapi oleh bangsa ini. Sering menyaksikan bagaimana korban berjatuhan saat bencana terjadi, tetapi perilaku yang muncul dalam keseharian sama sekali tidak mencerminkan kesadaran akan bencana itu. Keadaan ini bisa disaksikan dalam banyak hal, mulai dari bentuk bangunan rumah, letak posisi rumah, daya tahan bangunan yang sama sekali tidak memiliki ketahahan terhadap bencana yang akan datang.

Amati juga perilaku keseharian yang membuang sampah sembarang dan menyebabkan banjir diamana-mana adalah contoh sederhana yang menceritakan problem dasar mitigasi bencana di Indonesia.

Gerakan Nasional Mitigasi Bencana

Nampaknya sudah cukup korban yang berjatuhan dan kerugian tiada terkira yang sudah terjadi. Cukup sudah sampai disini. Harusnya mitigasi bencana harus menjadi gerakan nasional yang harus diterapkan oleh pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah. Daripada korban jiwa terus berjatuhan saat bencana datang, lebih baik gerakan nasional pencegahan bencana dilakukan mulai sekarang dan dari berbagai level.

Kalau pemerintah dan seluruh rakyat berperang melawan kejahatan narkoba, korupsi, maka hakl sama juga harusnya bisa dilakukan untuk mitigasi bencana di negeri ini.  Semoga saja !

Yupiter Gulo, 5 Juli 2018 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun