Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kenangan tentang Pendidikan Papua, di Bawah Sinar Lampu Petromaks

13 Juni 2018   15:47 Diperbarui: 16 Juni 2018   14:04 3053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah Anda pernah berkunjung atau tinggal di tanah Papua? Walapun tidak sesering dan sebanyak Presiden RI Joko Widodo yang sudah sekitar 8 kali ke tanah Papua dan Papua Barat, saya sudah beberapa kali ke Tanah Papua dan pernah tinggal di sana selama kurang lebih 6 bulan atau satu semester.

Kenangan tentang Tanah Papua atau namanya Irian Jawa pada waktu itu, sesuatu yang tidak akan pernah bisa saya lupakan seumur hidup saya. Kenangan ini selalu hidup kembali manaka kala Joko Widodo Presiden ke-7 Indonesia memberikan perhatian yang sangat luar biasa bagi pembangunan Tanah Papua.

Bukan saja perhatian itu yang penting, tetapi hasil yang dicapai, perubahan yang dilihat dan dirasakan oleh publik, semua angkat jempol banyak. Nyaris orang tidak percaya bahwa Tanah Papua sudah berubah sangat sangat banyak dalam segala hal. Bukan saja Indonesia yang mengakui tetapi juga dunia internasional. Bagaimana dengan Anda, apakah juga mengakuinya?

Di bawah lampu petromaks

Pada 32 tahun yang silam, tepatnya Januari sampai Juli 1986 saya mendapatkan tugas pelayanan khusus di tanah Papua. Namanya waktu itu masih Irian Jaya. Saya menjadi dosen tamu di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, yaitu STIE Ottow Geissler yang bertempat di Kota Raja Dalam, sekitar 20 Km dari kota Jayapura dan berada di jalan antara Jayapura ke Bandara Sentani.

Sebuah tugas yang tidak semua orang mau melakukannya, karena situasi keamanan Irian Jaya pada saat itu sangat rawan dengan Gerakan Oganisasi Papua Merdeka (OPM) yang terus berusaha untuk memisahkan diri dari NKRI.

Apa yang bisa Anda bayangkan dengan bekerja sebagai seorang dosen muda di wilayah Irian Jaya yang kondisinya sangat jauh terbelakang dibandingkan dengan daerah lain, Jawa misalnya, di Indonesia? Dengan segala keterbatasan fasilitas yang dimiliki dalam hal melakukan proses pembelajaran.

Boro-boro tersedia buku sebagai referensi utama belajar, untuk bisa menjangkau kampus menjadi sesuatu hal yang luar biasa bagi mereka. Saya sendirip un, datang melayani dengan sebuah tekad hadir dan memberikan yang terbaik sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Pengalaman pertama saya ketika memulai proses perkuliahan adalah belajar di bawah sinar lampu petromaks. Kejadian lucu dan berkesan ini terjadi ketika kuliah dimulai pada sore atau malam hari, tiba-tiba lampu dari PLN mati. Sesuatu yang sering sekali terjadi di sana, sehingga praktis suasana menjadi gelap-gulita.

Namun, sekitar 30 menit sesudahnya semua ruang kelas terang kembali. Yang jelas bukan sinar lampu dari PLN tetapi dari lampu petromaks yang ada di setiap kelas. Kemudian kegiatan proses pembelanjaran terus berlanjut seperti biasa dan semua mahasiswa dan dosen tetap semangat sampai kuliah berakhir.

Tiada yang mengeluh apalagi memprotes ketika PLN pun tidak kunjung menyala hingga larut malam bahkan memasuki pagi berikutnya. Pengalaman yang mengesankan ini lalu saya tuliskan dan dimuat di GITA KAMPUS, Koran Kampus Universitas Kristes Satya Wacana Salatiga (edisi Februari 1986).

surat-dari-irian-jaya-5b20e60dbde575733f6aa225.jpg
surat-dari-irian-jaya-5b20e60dbde575733f6aa225.jpg
Pengalaman ini sangat berkesan bagi saya sebagai seorang pengajar yang hingga kini saya masih menjalani profesi ini. Pertama, bahwa semangat belajar mahasiswa di Tanah Papua sangat tinggi, untuk mengejar ketertinggalan mereka dalam banyak hal. Dan sangat meyakini bahwa melalui pendidikan hal itu bisa dicapai, perubahan hidup bisa diwujudkan.

Kondisi ini menjadi sangat menarik, karena dari pada masa itu, mahasiswa sebagian besar adalah pekerja, baik pekerja swasta tetapi lebih banyak pegawai negeri mulai dari pegawai kecamatan hingga pegawai kantor gubernuran. Sehingga, dipastikan usia mereka sudah tidak mudah lagi saat memulai kuliah.

Kedua, dengan keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi mahasiswa, semangat mereka unutuk belajar mampu mengalahkan segala keterbatasan yang ada tanpa harus mencari kambing hitam, atau mengeluh dan putus asa. Ketika kesulitan muncul maka semangat untuk bahu membahu menyelesaikannya sangat tinggi.

Ketiga, masyarakat Papua sangat memberi apresiasi yang sangat tinggi kepada lembaga pendidikan dan keagamaan atau gereja. Gereja dan pendidikan mempunyai makna sangat vital dan penting dalam kehidupan masyarakatnya. Sehingga, tidak mengherankan di kalangan masyarakat Papua, seorang pendeta menjadi sangat dihormati, demikian juga dengan seorang guru/dosen memiliki nilai sosial yang sangat dalam dan tinggi. Bisa dipahami pula kalau pada saat itu secara kuantitatif populasi penduduknya didominasi oleh warga gereja.

Dinamika kehidupan yang sangat agamis di tanah Papua sungguh-sunggu saya nikmati selama menjadi dosen tamu di sana. Terutama hari Sabtu dan hari Minggu, menjadi kesempatan yang indah menikmati kebaktian yang sangat baik dan inspiratif.

Menikmati alunan suara paduan suara dan berbagai grup vokal dengan suara khas dan musik Papua yang selalu menghiasi dan meramaikan setiap kali kebaktian diadakan di mana-mana, baik di gereja maupun di kelompok-kelompok persekutuan.

Dan inilah perekat utama bagi warga Papua sehingga memiliki cohesiveness yang sangat kuat dalam dinamika kehidupan sosialnya.

Gaya hidup orang Papua

Bagi saya, orang-orang Papua tidaklah asing sama sekali, bukan saja karena saya sudah bekerja selama 6 bulan di sana. Tetapi selama bermahasiswa di Kampus UKSW Salatiga, saya bergaul dengan intens dengan banyak teman dari Papua, baik yang berada dalam satu fakultas maupun dari fakultas lain. Bahkan dengan komunitas Papua yang ada di Salatiga pada waktu itu.

Intensitas pergaulan seperti inilah yang membantu saya memahami gaya hidup orang Papua, baik itu gaya yang baik maupun yang kurang baik.

Tentang yang baik, cukup sangat banyak dan Anda boleh menyebutkan apa saja, misalnya, suka bergaul dan cepat akrab dengan siapa saja dan ketika sudah berteman bahkan bisa lebih dari saudara sendiri. Fun dan cenderung bergembira setiap saat seakan-akan tidak ada masalah dalam hidup ini, walaupun beban sesungguhnya sangat berat. Suka bernyanyi dan suka olah raga.

Dengan suara yang khas diiringi dengan tarian-tarian yang khas Papua, menjadikan relasi sosial cepat terbangun dengan mudah dan cair. Olah raga, terutama bola menjadi icon teman-teman Papua. Di mana ada klub sepakbola disana ada teman dari Papua. Saya masih inget seorang teman penyuka dan pemain bola, bernama John Osok, walaupun badannya pendek tetapi dia pemain bola yang handal di kampus saya pada waaktu itu.

Ketika saya berada di tanah Papua selama 6 bulan, saya bisa merekonstruksi semua gaya hidup yang dimiliki oleh teman-teman Papua. Salah satu yang termasuk "tidak terlalu baik" adalah kebiasaan minum minuman beralkohol. Pada waktu itu, minuman langganan adalah minuman bir. Sebagian besar kawan Papua saya menyukai minuman beralkohol.

Saking suka minum, maka biasanya setiap gajian biasanya mengambil kesempatan pertama untuk "minum bersama teman-teman" sampai mabuk. Kejadian minum sampai mabuk bahkan berlebihan telah menjadi pemandangan yang sangat mudah ditemukan di beberapa tempat.

Gaya hidup minum dan menikmati pesta merupakan warisan yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda saat menjajah Irian Jaya hingga direbutkan oleh Indonesia pada tahun 1960-an.

Selama penjajahan Belanda, masyarakat sudah telanjur biasa dengan gaya hidup yang diterapkan oleh Belanda. Salah satunya dalah gaya hidup minum dan menikmati pesta. Gaya hidup yang satu ini dipastikan tidak menjadi faktor positif untuk membangun sumber daya manusia Papua yang hebat dan profesional

Tanah Papua dan Nawacita Jokowi

Melihat, mengamati dan meraskan perjalanan pembangunan di Tanah Papua adalah menyaksikan sebuah film panjang yang sangat memprihatinkan. Bahkan penuh suka-duka, air mata, keprihatinan dan rasa gemas yang selama ini seakan-akan berada dalam lingkaran setan tiada berujung. 

Kesimpulannya impresi yang sangat kuat dalam benak siapapun adalah masyarakat Papua miskin, terbelakang dalam segala hal tetapi memiliki kekayaan emas dan hasil bumi tiada batas.

Ini kontroversi nan kontradisksional yang terus menerus "terpelihara" sekian puluh tahun. Tetapi, sepertinya langit penderitaan dan bumi kesengsaraan menjadi atmosfir yang terus mencuat dalam pemadangan tentang masyarakat Papua.

Saya masih ingat, tahun 1986 untuk bisa makan sayur yang enak harus didatangkan dari kota Wamena yang hanya bisa ditempuh dengan pesawat terbang, yang juga penerbangannya sangat terbatas karena cuaca lebih sering tidak bersahabat. Demikian juga dengan bahan makanan pokok lainnya harus diimport dari luar kota Jayapura pada saat itu.

wamena-5b20e653ab12ae7b68192f43.jpg
wamena-5b20e653ab12ae7b68192f43.jpg
Bisa dibayangkan betapa mahalnya semua barang-barang kebutuhan di sana. Kondisi ini menjadi sumber konflik di tengah masyarakat, karena penguasaaan terhadap sumber daya ekonomi tidak berpihak kepada masyarakat Papua yang relatif terbelakang dalam urusan ekonomi dan bisnis. Lalu, pendatang nan pedagang dan saudagar lah yang beperan mengendalikannya dan pada akhirnya yang menikmati profit adalah pendatang. Orang lokal tinggal gigi jari saja.

Tampaknya, pada masa lalu, mungkin juga hingga kini (?), ini menjadi sumber konflik antara pendatang dan masyarakat Papua. Sehingga tidak asing bagi kita mendengar kejadian terjadi perkelahian bahkan peperangan antara kelompok masyarakat. Perang antara suku pada tahun-tahun 1980-an sering sekali terjadi dan semakin membawa trauma bagi masyarakat Papua.

Itu sebabnya, kehadiran Joko Widodo sebagai Presiden ke-7 Negeri ini membawa perubahan yang luar biasa bahkan sangat dahsyat. Apa yang dulu Jokow janjikan dalam masa-masa kampanyenya sebagai kandidat presiden dengan Nawacitanya, benar-benar diwujudkannya dengan luar biasa. Bahkan kehadiran Jokowi di tanah Papua yang sudah 8 kali, sungguh-sungguh menjadi sejarah penting bagi Papua.

Tidak ada Presiden sebelumnya yang mampu melakukan kunjungan kerja berturut-turut delapan kali itu. Semua media mencatat percajalan Presiden Jokowi di Papua, yaitu, pertama pada 27-29 Desember 2014, kedua pada 8-11 Mei 2015, ketiga pada 29 Desember 2015 hingga 1 Januari 2016, keempat pada 29-30 April 2016, kelima pada 17-18 Oktober 2016, keenam pada 9-10 Mei 2017, ketujuh pada 20-22 Desember 2017, dan kedelapan pada 11-12 April 2018.

Semua agenda kehadiran Jokowi di Papua sungguh-sungguh nyata dan berarti, tidak ada yang kosong. Untuk menyebutkan beberapa saja, antara lain, program menormalkan harga BBM sama dengan di seluruh Indonesia menjadi ikon yang nyaris orang tidak mampu memilkirkan, tetapi Jokowi sanggup. Urusan sertifikasi tanah sebagai salah satu hak dasar rakyat tentang kedaulatan hidup di Tanah Papua menjadi ketenangan bagi rakyat. 

Penataan fasilitas perbatasan Papua dengan Papua Nugini menjadi ikon luar biasa hubungan antara negara lain, hal yang sama juga di NTT, Kalimantan, dan Sangihe Talaud di Sulawesi Utara. Dan ikon dan maskot pembangunan era Jokowi adalah Infrastrktur ekonomi dan Sosial. Trans-Papua ribuan kilometer yang membuka isolasi dan ketertutupan wilayah komunitas menjadi jawaban atas kebutuhan dasar dan mendasar bagi masyarakat untuk maju dan berkembang.

Dengan program Tol Laut, Jokowi telah membuktikan sebuah pilihan strategi pembangunan wilayah yang sangat inovatif dan kreatif yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sangat hebat. Indonesia yang yang terbentang dari Barat ke Timur dengan lautan yang tidak ramah dan iklim yang tidak selalu baik, mampu diringkas oleh seorang Jokowi dalam Program Tol Laut. Ini namanya berpikir benar-benar besar dan bertindak luar biasa besar sehingga tidak terjebak pada masalah-masalah kecil apalagi yang remeh temeh.

Menyaksikan capaian yang dialami oleh Papua, tidak ada alasan apapun untuk mengatakan bahwa Papua masih hidup di bawah sinar lampu petromaks. Tidak lagi, tetapi wilayah langit terang benderang sedang terkuat lebar buat masyarakat Papua untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan dalam segala hal.

Nawacitanya Jokowi dengan pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial menjadi sarana dasar bagi semua masyarakat Papua untuk bergegas dan berlari melakukan yang terbaik agar mimpi kemerdekaan di bidang pembangunan sama dengan daerah lain bisa diwujudnyatakan dengan baik. 

Mudahkah jalannya? Tentu tidak, karena tantangan selalu menyertai dalam setiap perubahan, namun bila semua stakeholders melihat dengan kacamata yang maka kesukitan apapun bisa diselesaikan dengan baik.

Bravo buat Papua, Bravo untuk Presiden ke-7 RI. Bravo untuk Jokowi dan bravo buat NKRI.

Yup. 13/062018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun