Dengan suara yang khas diiringi dengan tarian-tarian yang khas Papua, menjadikan relasi sosial cepat terbangun dengan mudah dan cair. Olah raga, terutama bola menjadi icon teman-teman Papua. Di mana ada klub sepakbola disana ada teman dari Papua. Saya masih inget seorang teman penyuka dan pemain bola, bernama John Osok, walaupun badannya pendek tetapi dia pemain bola yang handal di kampus saya pada waaktu itu.
Ketika saya berada di tanah Papua selama 6 bulan, saya bisa merekonstruksi semua gaya hidup yang dimiliki oleh teman-teman Papua. Salah satu yang termasuk "tidak terlalu baik" adalah kebiasaan minum minuman beralkohol. Pada waktu itu, minuman langganan adalah minuman bir. Sebagian besar kawan Papua saya menyukai minuman beralkohol.
Saking suka minum, maka biasanya setiap gajian biasanya mengambil kesempatan pertama untuk "minum bersama teman-teman" sampai mabuk. Kejadian minum sampai mabuk bahkan berlebihan telah menjadi pemandangan yang sangat mudah ditemukan di beberapa tempat.
Gaya hidup minum dan menikmati pesta merupakan warisan yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda saat menjajah Irian Jaya hingga direbutkan oleh Indonesia pada tahun 1960-an.
Selama penjajahan Belanda, masyarakat sudah telanjur biasa dengan gaya hidup yang diterapkan oleh Belanda. Salah satunya dalah gaya hidup minum dan menikmati pesta. Gaya hidup yang satu ini dipastikan tidak menjadi faktor positif untuk membangun sumber daya manusia Papua yang hebat dan profesional
Tanah Papua dan Nawacita Jokowi
Melihat, mengamati dan meraskan perjalanan pembangunan di Tanah Papua adalah menyaksikan sebuah film panjang yang sangat memprihatinkan. Bahkan penuh suka-duka, air mata, keprihatinan dan rasa gemas yang selama ini seakan-akan berada dalam lingkaran setan tiada berujung.Â
Kesimpulannya impresi yang sangat kuat dalam benak siapapun adalah masyarakat Papua miskin, terbelakang dalam segala hal tetapi memiliki kekayaan emas dan hasil bumi tiada batas.
Ini kontroversi nan kontradisksional yang terus menerus "terpelihara" sekian puluh tahun. Tetapi, sepertinya langit penderitaan dan bumi kesengsaraan menjadi atmosfir yang terus mencuat dalam pemadangan tentang masyarakat Papua.
Saya masih ingat, tahun 1986 untuk bisa makan sayur yang enak harus didatangkan dari kota Wamena yang hanya bisa ditempuh dengan pesawat terbang, yang juga penerbangannya sangat terbatas karena cuaca lebih sering tidak bersahabat. Demikian juga dengan bahan makanan pokok lainnya harus diimport dari luar kota Jayapura pada saat itu.
Tampaknya, pada masa lalu, mungkin juga hingga kini (?), ini menjadi sumber konflik antara pendatang dan masyarakat Papua. Sehingga tidak asing bagi kita mendengar kejadian terjadi perkelahian bahkan peperangan antara kelompok masyarakat. Perang antara suku pada tahun-tahun 1980-an sering sekali terjadi dan semakin membawa trauma bagi masyarakat Papua.