Dengan sepeda motor, perlu waktu 10 menit bagi saya untuk sampai di lokasi sekolah. Setelah masuk jalan kecil dilanjut gang, saya sampai di sebuah tempat terbuka di pinggir sawah dan memarkir sepeda motor di bawah sebuah "rumah pohon" yang terbuat dari bambu.
Di sisi kiri ada bangunan semi permanen terbuka dengan cat warna-warni berukuran 2,5 x 5 meter. Lantai dialasi karpet dan terdapat meja meja pendek di atasnya, di tembok tertempel papan tulis dari triplek warna hitam. Oh, ini ruang kelasnya...
Teman saya sudah memberi tahu bahwa karena keterbatasan maka tidak ada ruang kelas yang memadai. Ruang yang saya lihat adalah tempat ngaji anak-anak TPQ di sore hari. Anak anak SD bisa menggunakan ruangan itu dan bisa juga belajar dari mana saja di lingkungan dekat sekolah.
Sekolah mempunyai rumah pohon (sebenarnya gubuk bambu tinggi saja, bukan rumah pohon), bersebelahan dengan sawah, berdekatan dengan sungai dan gumuk, bukit kecil yang jadi kekhasan geografi Jember.
Oh iya, anak anak ini mendaftar sekolahnya gratis. Bahkan sampai seragam pun sudah disediakan. Hanya satu anak yang membayar normal seperti anak sekolah pada umumnya, ia putri dari keluarga menengah yang mempercayakan pendidikannya atas dasar kepercayaan pada pemilik yayasan yang dulu adalah guru Tknya.
Hari Pertama Menjadi Guru
Lalu saya berjumpa tujuh anak kecil, dua diantaranya perempuan yang terlihat berbeda sekali karakternya. Anak-anak yang baru lulus TK dengan pipi chubby dan gigi ompong ini bertanya : " ustadzah baru ya?"
Maunya hanya senyum, tapi kepala saya terlanjur mengangguk.
Dan anak anak ini bergantian salim sama saya tentu saja sekalian dengan keringat yang berbintik-bintik di bawah hidung hasil mereka berlarian kesana kemari.
"Ayo duduk sini semua, belajar sama miss, eh, ustadzah yupi...
Sungguh kagok, itulah pertama kalinya dalam hidup saya yang sudah hampir 4 dasawarsa saya menyebut diri sendiri ustadzah. Biasanya dikenal dengan sebutan mbak Yupi, bu Yupi atau miss Yupi di tempat kerja.