Mohon tunggu...
Yuwono Setyo Widagdo
Yuwono Setyo Widagdo Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka overthinking kalo lewat jam 00.00

suka membaca,menulis dan menabung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reposisi Media dalam Terorisme Modern

24 Februari 2023   02:15 Diperbarui: 23 November 2024   02:11 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source foto(google)

Namun, sebagian besar penelitian yang menganalisis hubungan di antara mereka  dari berbagai variabel sosiologis dan kampanye teroris yang tidak berdasar (Crenshaw, 1995;Laqueur,2003; De la Corte, 2006). Mengklasifikasikan hal tersebut menjadi sulit karena terorisme biasanya ditimbulkan oleh minoritas dan perspektif teroris sering kali melibatkan distorsi realitas sosial yang cukup rumit.

PERAN SENTRIS MEDIA

Apa yang akan terjadi jika media tidak membuat referensi terhadap terorisme? tentu saja media sangat penting bagi kelompok teroris karena mereka menyediakan sarana untuk menarik perhatian dan menyebarkan pesannya. Berkaca pada terorisme sebagai strategi komunikasi, media sering dianggap sebagai 'kaki tangan' teroris atau bahkan 'sahabat' mereka karena mereka tampaknya memberikan 'oksigen publisitas'. Namun memiliki juga telah dicatat bahwa teroris menyediakan media dengan berita emosional, menarik dan dramatisir yang membantu mereka menjual produk mereka. 

Oleh karena itu, ada saling menguntungkan untuk keduanya dan hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai 'simbiosis mutualisme'. Namun pada saat yang sama, media juga dapat memainkan peran penting dalam melawan terorisme.

Hal ini menggambarkan bagaimana media mendominasi masyarakat Secara umum sebagai sumber informasi tentang banyak hal yang merupakan inti dari seluruh perspektif tentang apa yang membuat terorisme itu sendiri. 

Hubungan antara terorisme dan media diteliti dengan baik dan telah menjadi salah satu pertanyaan sentral yang diperjuangkan oleh penelitian dengan adanya pesan yang diterima secara luas bahwa ada hubungan yang "harmonis" antara terorisme dan media karena terorisme menyediakan hal-hal yang menarik dan cerita kekerasan yang membantu menjual produk berita dan media menyediakan kelompok teroris dengan sarana menyebarkan pesan mereka dan menciptakan ketakutan kalangan masyarakat umum. 

Media sebagai garda terdepan sebuah informasi publik, sebagai sumber informasi yang banyak digunakan ditengah masyarakat umum era modern adalah inti dari seluruh hal tentang membuat terorisme menjadi sebuah kenyataan. Yaitu penyebaran teror dan persepsi publik tentang ketidakamanan dan ketidak nyamanan sertak ketidak sejahteraan dengan menunjukkan korelasi antara terorisme di media dan perhatian publik, propaganda tersebut dibuat menjadi sebuah hal yang realistis/logis.

Terorisme pada dasarnya menggunakan media dalam tiga cara: pertama, terorisme berusaha untuk mendapatkan perhatian publik, kedua, dengan demikian, mencoba untuk mendapatkan simpati untuk penyebabnya dan, ketiga terorisme bertujuan untuk menyebarkan kekhawatiran dan teror di masyarakat umum dan dengan demikian berdampak perubahan politik. dari ketiga strategi ini hanya dua yang umumnya berhasil.

Terorisme 4.0 di Indonesia.

Di Indonesia terdapat salah satu fenomena yang sangat menonjol di media sosial sejak selesainya Pemilihan Presiden tahun 2014 hingga memasuki Pemilihan Presiden kembali di tahun 2019 adalah labelisasi cebong untuk para pendukung Joko Widodo dan kampret untuk pendukung Prabowo Subianto. Hal ini tersebut  mengacu pada sebutan cebong dan kampret dari awal dilakukan warganet untuk mengelompokkan perbedaan pilihan politik masyarakat dan labelisasi semacam ini cukup menghangatkan situasi politik menjelang Pemilihan Umum (Stefanie, 2018).

Jika kita berselancar di media sosial, baik Facebook, Instagram, atau Twitter, adu argumentasi yang tidak bertepi antara ke-dua kubu sudah dianggap biasa, selain  melabeli nama hewan cebong dan kampret menjadi fenomena politik khas yang hanya terjadi di Indonesia. 

Wawan Masudi Pengamat Politik UGM mengatakan bahwa fenomena politik semacam ini hampir tidak pernah terlihat dalam Pemilihan Umum di negara lain, setidaknya di Australia dan Norwegia (Stefanie, 2018). Kondisi di atas menjadikan masyarakat terpolarisasi secara politik.Peristiwa persekusi dan penolakan antar kedua kubu cukup sering terdengar dalam pemberitaan media nasional dan menjadi perdebatan publik di ruang maya. 

Propaganda ini berlanjut hingga saat ini dengan adanya pandemic Covid-19 ke-2 kubu saling terpolar baik yang mendukung Pemerintahan dengan pihak-pihak atau oknum tidak bertanggung jawab mengenai kegagalan Pemerintah dalam menangani pandemic hingga kaum yang terdiri dari anti vaxx dan lain sebagainya (old terrorism).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun