Mohon tunggu...
SatyaMeva Jaya
SatyaMeva Jaya Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, Berbagi, dan Lepas

I Never mess with my dreams "m a Sapiosexual"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bahaya Efek Elektoral Bansos

31 Januari 2024   01:03 Diperbarui: 2 Februari 2024   02:34 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah Efek Elektoral Bansos?

Penyaluran Bansos sudah disepakati agar dipercepat dalam Rapat terbatas Kabinet bersama Presiden di bulan November 2023 yang lalu.

Penyaluran tersebut tersorot disalurkan oleh Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto atas perintah presiden Joko Widodo sampai Juni 2024. Bau politisasi kian tercium saat media menyorot penyaluran paket beras oleh Airlangga di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 14 Januari 2024.

Menjadi sorotan dari video yang beredar, Airlangga meminta Masyarakat yang telah menerima bantuan tersebut untuk mengucapkan terimakasih kepada Bapak Jokowi selaku Presiden RI sekaligus Bapak kandung dari Cawapres 02. Ucap Airlangga, "Jadi tolong bicara terimakasih, Pak Jokowi"

Empat hari kemudian terjadi hal yang sama, namun kali ini di Kalimantan Barat tepatnya kabupaten Kubu Raya saat Airlangga membagikan bantuan pangan. Ia menyinggung perihal jasa Jokowi.

Preseden atau peninggalan kebiasaan dari sebelum-sebelumnya ini sudah dianggap lumrah bagi beberapa politisi pada posisi partai atau tokoh yang mendukung pemerintah untuk memenangkan calon presiden jagoannya. 

Sejak presiden kedua Indonesia, Bansos dianggap bahkan dipersepsikan sebagai pemberian langsung dari presiden sebagai personal/figur (Soeharto) maupun partai (golkar) sebagai kelompok saat itu.

Artinya, terdapat personalisasi program pemerintah (Bansos) kepada figure atau kepala negara (Soeharto).

Program Soeharto pada saat itu meliputi program pemberdayaan desa tertinggal, pembinaan usaha kecil, subsidi dan bantuan untuk fakir miskin.

Preseden tersebut dilanjutkan oleh presiden selanjutnya yaitu BJ. Habibie sampai dengan sekarang, Jokowi. 

Sekilas terlihat berbeda, namun jika kita perdalam perbedaan bantuan tersebut hanya pada nama atau penyebutan program saja. Sebenarnya, konsep dan metode penyalurannya sama saja, tidak jauh-jauh dari subsidi bensin, pupuk, bantuan biaya Pendidikan, Jaminan Kesehatan dan Sembako lainnya.

Fenomena tersebut adalah model politik gentong babi, model ini dikenal dalam buku Elections for Sale (2007) oleh Federic Charles Schaffer. 

Ia menuliskan bahwa kegiatan bantuan sosial untuk kepentingan electoral dikenal sebagai Pork barrel Politics atau politik gentong babi yang meliputi penyaluran hibah anggaran alias bansos atau proyek infrastruktur ke daerah yang mendukung pejabat terpilih (biasanya pejabat yang berasal dari putra daerah atau daerah lumbung suara maka daerah tersebut akan makin gencar proyek infrastrukturnya)

Di Indonesia model gentong babi masih berjalan cukup efektif jika dibarengi keadaan sosial ekonomi calon pemilih yang rendah atau sulit. Mereka akan berterima kasih kepada pejabat public yang membagikan bansos tersebut sebagai personal dan akan dimanfaatkan oleh pejabat tersebut sebagai figure.

Disini dibutuhkan peran partai politik atau politisi untuk mengedukasi bahwasannya bantuan-bantuan tersebut adalah buah dari kesepekatan antar kementrian dan DPR yang merumuskan berdasarkan program prioritas dan undang-undang. Kemudian, dana untuk program tersebut berasal dari APBN kita. 

Jadi, program bantuan tersebut bukanlah berasal dari kemauan Presiden secara personal Belaka, tetapi hasil kesepakatan antar Lembaga. 


dan yang perlu digaris bawahi bahwa semua bentuk bantuan berasal dari APBN yang bersumber dari pajak yang dipungut dari rakyat. Artinya, Bantuan tersebut memang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Program Bansos pada era SBY memiliki efek electoral pada tahun 2009. Saat itu SBY memberi bantuan langsung tunai (BLT) akibat dari kenaikan bensin dan krisis ekonomi. Walau, tidak secara terang bansos tersebut dikeluarkan untuk kepentingan electoral, tetapi pemberian tersebut dinilai berhasil mendongkrak elektabilitas SBY sehingga ia menang satu putaran dengan raihan suara 60,8 persen.

Artinya, program bantuan tersebut (BLT) dinilai sukses untuk memenangkan seorang incumbent atau petahana dalam kontestasi pilpres 2009, berbeda dengan tahun 2024 ini tidak ada incumbent yang bertarung tetapi bansos dipercepat dan kian deras pembagiannya terutama di daerah Jawa Tengah belakangan ini. Ada apa?

 Meski begitu, pada pilpres 2009 Andi arief membantah bahwa bantuan tersebut untuk menaikan elektabilitas SBY. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk kompensasi pemerintah atas kenaikan harga bensin saat itu. Namun, saat ini urgensinya apa ya atau kompensasi atas kenaikan apa?

Lantas, apakah saat ini Bansos mempunyai efek electoral untuk ketiga paslon presiden? Jelas, jika efek electoral untuk Jokowi berpengaruh, dilihat dari tingkat kepuasan diatas 70 persen. 

Namun, perlu dipertanyakan juga apakah data kepuasan tersebut organic. Dengan kata lain masyarakat puas atas rasa yang tulus memilih untuk puas, atau ada dorongan lain yang mengarahkan agar Masyarakat puas. 

Semisal, sebelum di survey, terlebih dahulu orang tersebut diberikan bantuan sosial kemudian baru diberi pertanyaan mengenai kepuasan terhadap presiden. Jelas, jika metode pengambilan datanya seperti itu, maka kebanyakan orang akan beranggapan puas.

Berdasarkan Survey beberapa Lembaga nampaknya Bansos tidak terlalu berpengaruh besar terhadap elektabilitas kandidat.

Jika kita tarik, seumpama program yang dipercepat dan kian deras ini untuk mendongkrak suara Prabowo Gibran. Maka, berdasarkan survei indikator politik terdapat 71,3 persen responden didukung presiden untuk Prabowo Gibran.

CSIS pada desember 2023 mendapatkan data 31,6 persen, responden mengaku pernah mendapatkan bantuan sosial tiga bulan belakangan. Mereka yang mendapat bantuan kemudian ditanya perihal pilihan calon presidennya. Jika model survey berdasarkan hasil wawancara seperti diatas, yang metodenya diberi bansos dahulu baru kemudian disurvey mengenai tingkat kepuasan pada Presiden Jokowi, jelas puas sebab baru saja diberi Bansos.

Hasilnya CSIS, 25,7 persen memilih Amin, Sedangkan 36,6 persen memilih Pragib, 36,1 persen memilih Gama dan sisanya menjawab tidak tahu atau belum menwntukan pilihan. 

Terlihat bahwa persentase Pragib dan Gama sangat tipis, mungkin disebabkan Jokowi efek masih melekat pada Pragib atas kedekatan biologis sebagai cawapres pragib serta begitu banyak endorsement dari bapaknya. 

Atau Gama yang masih begitu melekatnya PDI Perjuangan dengan Jokowi, program, visi dan misi Gama juga masih mendominasi melanjutkan program Jokowi atau faktor Gerakan blusukan Ganjar yang identik dengan Jokowi. 

Blusukan adalah ciri khas Jokowi, yang kita lihat dari ketiga kandidat nampaknya blusukan adalah Ganjar. 

Biologis adalah Gibran dan Ideologis adalah Ganjar. 

Sepertinya, bansos tidak begitu besar pengaruhnya terhadap elektabilitas atau mempengaruhi keputusan politik calon pemilih.

Besaran nominal serta frekuensi pengucuran bantuan kepada penerima adalah faktor yang dapat membuat program sosial mempunyai efek electoral dalam pemilihan presiden maupun caleg.

Pemilih bisa dengan cepat menentukan pilihan politiknya jika nilai bantuan makin besar dan sering diberikan. 

Selain itu, momentum dan wilayah penyaluran juga menjadi variabel yang menentukan efek electoral. Dengan kata lain, penyaluran mendekati pemilu dan menarget kelompok di wilayah tertentu akan mempengaruhi keputusan politik pemilih.

Selain besaran nominal dan frekuensi pengucuran. Tokoh dan metode penyaluran menjadi salah satu variabel. 

Dengan tokoh tersebut secara langsung membersamai dalam penyaluran bansos maka ia dapat menyisipkan pesan-pesan politik dalam interaksinya kepada Masyarakat terlebih sambil membawa bantuan sosial. 

Namun berbeda jika penyalurannya melalui vendor yang ditunjuk misal POS atau Transfer rekening, pejabat tersebut tidak dapat bertatap muka secara langsung dengan pemilih.

Mungkin inilah yang menyebabkan bantuan sosial belakangan ini harus diberikan oleh tokoh-tokoh yang secara langsung menguntungkan, berikut target wilayah dan nominalnya pun diupayakan diperbesar beserta frekuensinya sesering mungkin gencar dalam pendistribusiannya. 

Saat ini dan untuk beberapa hari atau bulan kedepan, kita akan terus dipertontonkan Upaya politisasi bansos untuk peningkatan efek electoral.

Penyaluran bansos jelas harus ditunda, mencegah politisasi yang menguntungkan salah satu paslon saja. Kemampuan logistik masing-masing kandidat tentunya berbeda, namun jika bansos adalah Upaya untuk logistik teselubung guna modal memenangkan salah satu paslon.

begitu tidak fairnya pilpres kali ini. Sebab, tidak hanya bansos, tetapi abuse of power dari program lainnya juga perlu diperhitungkan. 

Politisasi terhadap pejabat negara, pemerintahan, ASN, aparat, pejabat tingkat desa dan struktur instansi yang mulai dikerahkan untuk menguntungkan salah satu paslon berpeluang besar terjadi. 

Anehnya, ini dilakukan bukan sebagai incumbent, namum oleh timses yang berkedok presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun