Mohon tunggu...
SatyaMeva Jaya
SatyaMeva Jaya Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, Berbagi, dan Lepas

I Never mess with my dreams "m a Sapiosexual"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahaya Laten Siasat Politik Berkedok Agama - Khilafah (2)

29 Maret 2022   19:46 Diperbarui: 25 April 2022   05:08 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melanjutkan artikel sebelumnya, kita harus cermat membedakan dan tegas menolak kehadiran kelompok-kelompok radikal yang sudah pasti  intoleran, kita harus mengkategorisasi  siasat kelompok fudamentalis tersebut. 

Semisal saja,  Wahabi pada dasarnya mengaku Ahlussunnah Wal Jamaah, namun pada tindakannya mereka melakukan kekerasan, mengkafirkan (Takfirisme), melakukan pembangkangan dan melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, jelas itu bukan konteks Ahlusunnah Wal jamaah, kemudian FPI yang mengaku Ahlussnnah Wal jamaah, mereka hadir dengan tampang paling islam dan si paling kuat pembela islam.

Mengutip sabda Rasulullah SAW, "bahwa islam itu unggul dan tidak ada yang diunggulkan", malah mendadak ada kelompok yang muncul dengan menamakan dirinya pembela islam, padahal islam sudah unggul dan akan unggul dengan sendirinya, lalu yang unggul lebih dari islam, di imani tidak ada.  Gusdur memperkuat dengan tulisan  yang diterbitkan oleh Tempo pada 28 Juni 1982 dengan judul "Tuhan tidak perlu dibela". 

Dengan tindakan FPI dan kelompok sejenisnya yang melakukan tindakan seperti mendelegitimasi pemerintahan yang sah serta teriakan "turunkan Presiden Jokowi!", pastinya itu bukanlah tindakan Ahlussunnah Wal Jamaah. 

Tidak jarang mereka melakukan ibadah di tempat demonstrasi berlangsung dan ditemukan malah ada yang memakai sepatu walau sebenarnya bisa saja seperti itu apabila dalam keadaan mendesak atau dalam peperangan, kelompok tersebut kerap dijumpai dengan  mencitrakan diri hadir bepenampilan ke Arab-araban sehingga masyarakat yang masih pragmatis akan terpanah dengan sukarela membenarkan bahkan membela apa pun kelirunya perbuatan mereka, termasuk pada demo tempo hari ada yang sholat diatas mobil komando dengan gerakan sholat 2 kali rukuk dalam satu raka'at dan imam Sholat lipsing.

Tak jarang kelompok radikal dan intoleran ini membenturkan dengan pertanyaan untuk lebih memilih mengikuti Pancasila dan UUD 45 (Hukum Manusia) atau Al-Quran (Hukum Tuhan) yang dijamin kebenarannya.  

Penjelasan menjawab hal itu dari yang diketahui, bahwa tidak yang mengatur berpolitik dalam Islam, yang selalu identik dengan Khilafah sebagai anjuran Tuhan atau warisan Nabi Muhammad SAW, perlu diragukan hal ini. 

Kita tahu bahwa sistem Khilafah dengan rentetan sejarahnya begitu banyak konsep implementasinya dan kemudian dipakai setelahnya dengan berbagai penyesuaian terhadap keadaan yang ada, missal saja dimulai pada zaman Khulafaur Rasyidin yaitu dengan system Syuro atau aklamasi, lalu zaman Bani Umayyah yaitu dengan system Monarki Absolute atau hanya anak, sodara dan DNA terdekatnyalah yang bisa menggantikan sebagai Raja dan ada juga pada zaman Bani Abassiyah yang dikenal dengan Ahlul Ahlli Wal Aqdi.

Artinya dari tiga periode ini saja sistem politiknya dinamis, ditambah antara zaman Utsmaniyah  dan Bani Umayyah dimana Bani Umayyah di Eropa membagi kekuasaan dalam bentuk kecil kepada saudara-saudaranya. 

Maka, dengan ini banyak sekali system Khilafahnya, kemudian jika itu adalah warisan Nabi dan anjuran Tuhan mengapa system tersebut bisa berubah-ubah?, sedangkan sistem terdahulu itu lebih kepada kebebasan untuk menentukan sistemnya sendiri. Apa bedanya dengan Pancasila? Yang muncul hasil dari kesepakatan semua Ras, Suku dan agama serta kelompok-kelompok yang ada agar semuanya terakomodir dengan menyeluruh, mengingat perjuangan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan bersama-sama, khususnya Islam maupun Non Islam.

Kemudian jika diartikan bahwa system Khilafah diturunkan oleh Nabi Muhammad, mengapa ada konflik antara Sayyidina Umar dan Sa'ad Bin Ubadah terjadi?, konflik antara kaum Muhajirin dan Kaum Ansor mengapa juga terjadi?, harusnya ini semua tidak lah terjadi. 

Artinya, jika ada warisan politik dari Nabi Muhammad, konflik itu tidak akan ada karena sistemnya pasti sudah terbentuk mutlak. Malah dengan konflik ini, menimbulkan bahwa system politik tidak pernah dibentuk atau diwarisi, yang mutlak diwariskan adalah Akhlakul karimah.

Sejarahnya pun menciptakan konflik, Sa'ad Bin Ubadah saja yang sudah lari ke Suriah masih tetap diburu lalu dipanah dan dibunuh, berikutya Sayidina Usman, Sayidina Ali, Sayidina Hasan, Sayidina Husein, mereka dibunuh sesama Islam. Walau ada seperti Sayyidina Umar yag dibunuh oleh kaum Persie. Maka, apakah benar jika tuhan menurunkan ajaran politik bersifat mutlak  tetapi malah berujung pada pembunuhan-pembunuhan tersebut? seharusnya tidak.

Dari contoh konsep politik dizaman kekhalifahan terdahulu, pancasila juga sudah benar mengadopsi dari sistem-sistem terdahulu, dimana kesepakatan menjadi dapurnya dan tidak bertentangan dengan Al-Quran adalah pondasinya. Karena jika bicara politik, tidak lepas dari yang namanya konsensus atau kesepakatan. 

Maka mengapa masih saja bersiasat dengan narasi jika Khilafah benar menjadi sistem di Indonesia maka semua orang bebas memeluk agamanya masing-masing? hal ini jelas kontraproduktif sekali dan terkesan kepicikan saja, lalu jika memang orang bebas memeluk agamanya masing-masing, apa bedanya dengan pancasila? Yang jelas membebaskan warganya memeluk agama masing-masing, jelas ini Gimmick Politik saja dengan tujuan hanya ingin berkuasa saja dan Khilafahnya.

Pancasila juga jelas nilai-nilainya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan Pancasila juga mengakomodir kehidupan bagi orang beragama Islam, maka pertanyaan diatas mengenai Pancasila, UUD 45 dan Al-Quran tidak perlu dibeda-bedakan karena ini kedua hal yang mempunyai posisi yang tidak bertentangan. 

Bahkan niai-nilai pancasila, tidak bertentangan dengan agama lainnya, karena pada dasarnya kesepakatan tersebut berlandaskan pada kebaikan, terutama pancasila sama-sama mengajarkan perihal nilai-nilai kebaikan secara tekstual, namun dalam perjalanannya yang perlu kita koreksi, masihkah bangsa ini berada pada nilai-nilai Pancasila?, dan tentu yang harus diubah adalah pelaksanaannya yang dikembalikan dengan tekstualnya lalu dijalankan dengan prinsip-prinsip Pancasila. Artinya perihal pertanyaan diatas yang membingungkan, tidak lain perihal sebuah pertanyaan yang menyesatkan dengan berbagai paradoks-paradoksnya.

Perlu digaris bawahi, jika semua gerakan radikal di identifikasi dengan islam, maka menimbulkan benih-benih kebencian tersendiri terhadap Islam. Padahal, islam tidak mengajarkan demikan dan Nabi Muhammad tidak bertindak demikian, harus tegas kita menyaring mereka yang Islam sebenarnya dengan Islam yang merusak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun