Mohon tunggu...
SatyaMeva Jaya
SatyaMeva Jaya Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, Berbagi, dan Lepas

I Never mess with my dreams "m a Sapiosexual"

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Ketum PB HMI MPO bersama Rakyat Memanggil Revolusi, Jokowi Turun dan Bentuk Pemerintahan Baru", Sensasi atau Esensi?

23 Juli 2021   02:21 Diperbarui: 23 Juli 2021   09:28 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ketum PB HMI MPO bersama Rakyat Revolusi Indonesia 2021", Sensasi atau Esensi?Akhir- akhir ini terdengar perbincangan hangat beberapa aktivis kemahasiswaan di darat maupun udara perihal himbauan mundur Presiden Joko Widodo yang di suarakan lantang oleh Affandi Ismail selaku Ketum PB Himpunan Mahasiswa Islam MPO, saling lempar argumentasi seolah perduli tak bisa dihindari, ada yang pro maupun kontra.

Pendapat pribadi saya menanggapi sensasi yang keluar dari mulut Ketum PB HMI MPO adalah suatu tindakan yang wajar. Wajar sekali tindakan Kanda Affandi yang menyerukan panggilan tulus hati yang "mungkin" sudah lama beliau pendam karena pastinya Kanda tersebut sudah berkeliling ke beberapa daerah bertemu langsung rakyat yang belum tersejahterakan, melihat data utang Indonesia makin meningkat, laju ekonomi mentok, Pendidikan kian tak jelas dan lain sebagainnya. 

Kegelisahan pasti sudah menumpuk saat Affandi melihat Indonesia dan sesamanya menderita, jika pemerintah tidak bisa menolong, pastinya kita sendiri lah yang langsung turun serta menolong. Sepertinya  Affandi menyadari bahwa ia sangat bisa menolong langsung rakyat-rakyat tersebut dengan dengan panggung yang ia miliki, dengan banyaknya kader HMI MPO yang tersebar ditambah perannya sebagai pusat komando yang artinya bahwa suara Affandi dapat berpengaruh sehingga mampu menggerakan kader-kader nya di dapur pergerakan setiap cabang-cabang, namun tidak boleh lupa bahwa komando apapun darinya itu semua adalah tanggungjawabnya. Bukankah itu peluang? Ya, ditambah HMI adalah salah satu organisasi mahasiswa bernafas islam tertua di Indonesia dengan ribuan kader serta alumninya dan pencetak para tokoh bangsa.

Sebagai pelopor perubahan serta penyambung lidah rakyat, posisi Ketum PB HMI MPO sangat mungkin mewakilkan suara-suara jeritan rakyat bawah sehingga di dengar oleh penguasa jika Affandi bersuara, ditambah adanya momentum eskalasi  di  kalangan mahasiswa yang sedang meningkat "The king of lip service" dentuman dari BEM UI sehingga Affandi tak mau "menyia-nyiakan" momentum emas selaku Ketum PB HMI MPO juga ikut menyerukan ajakannya.

Mungkin saja dengan melihat peluang-peluang serta momentum tersebut Affandi bersuara tulus dengan mahakarya tulisan berbentuk poster yang berbunyi, "HMI bersama rakyat memanggil revolusi Indonesia 2021. Jokowi harus turun. Rakyat berdaulat bentuk pemerintahan sementara. Selamatkan demokrasi Indonesia untuk Indonesia menang"(29/6). Maka, ini Sensasi atau esensi? kita ulas.

Bunyian poster tersebut tidak lama mengundang respon dari Formatur HMI MPO Jawa bagian Barat Kakanda Dede yang intinya menilai pernyataan tersebut mengandung sensasi semata dan Badko HMI MPO jabar dengan tegas menyatakan tidak terlibat serta bertanggung jawab atas pernyataan Affandi yang mengatasnamakan HMI MPO.

Namun tak sedikit yang mendukung seruan dari kakanda Affandi, entah selain apa dasar narasi beliau yang dilihat esensial oleh para pendukungan yang bermunculan , kecuali kontroversial perihal Presiden Jokowi mundur dan membentuk pemerintahan sementara. Mungkin ini adalah salah satu bentuk keinginan Affandi untuk mengulang kembali sejarah "Reformasi" , entah kali ini Affandi berperan sebagai actor yang menokohkan Amien Rais atau Budiman sudjatmiko Hehehe canda kanda.

Oke lanjut, sedikit berpendapat di agenda reformasi98 ada agenda menurunkan  Soeharto beserta kroni-kroninya pada revolusi Indonesia 2021 ingin menurunkan Joko Widodo beserta kroni-kroninya. Dengan mekanisme apa Affandy untuk menurukan Jokowi? lalu bagaimana bisa membentuk pemerintahan sementara? Itu yang menjadi pertanyaan besar agar mengerucut pada esensi atau sensasi.

Sudah pasti organisasi mahasiswa saat bertindak harus mengedepankan Tridharma perguruan tinggi, pendeketan akademik dan tetap menjaga tetap berada di jalur konstitusi. Tulisan nyentrik perihal seruan "Revolusi" yang disandingkan dengan "Presiden mundur" ditambah "di ganti oleh pemerintahan sementara yang dibentuk" terdapat kontradiksi bahkan kekurang pahaman perihal di sandingkannya tiga makna kata dalam satu fenomena.

Pertama seruan Affandi adalah panggilan REVOLUSI, revolusi sudah jelas akan memunculkan Gerakan-gerakan untuk perubahan yang cenderung dengan cara-cara diluar jalur konstitusi sehingga berefek terciptanya Gerakan-gerakan baru di daerah-daerah lainnya yang berpotensi disusupi provokasi, tindakan anarkis bahkan ditunggangi kepentingan politik lainnya. Artinya jika hal ini terjadi berpeluang menciptakan momentum bagi kepentingan politik lain, tidak bijak rasanya jika kaum akademis meyuarakan seruan macam ini, terlebih ditengah pandemic saat ini.

Kalau saja revolusi ini benar terjadi maka timbul eskalasi pergerakan yang bermunculan di beberapa dapur pergerakan, berat saya pikir seruan ini harus dipertanggung jawabkan secara moral oleh Afandi  ditengah pandemic seperti ini yang sekaligus mengeskalasi covid di Indonesia. Ini bukan momentum, marilah pergerekan muncul dengan pertanggung jawaban moral yang utuh untuk tujuan bersama guna mencari cara mencegah perluasan  pandemic ini dan mencari cara membantu langsung rakyat terdampak. Perihal tuntutan Affandy lainnya perihal ekonomi, korupsi, utang Indonesia, oligarki, dll, baiknya Affandi sebagai komando menyerukan Gerakan semesta kader yang menginstruksikan langsung seluruh cabang-cabang untuk membuat aksi solidaritas sesuai dengan agenda tuntutannya serta bentuk tim diplomasi khusus dengan membawa jilidan berisi teks-teks konstruktif bersifat akademik yang kemudian disampaikan melalui audiensi langsung kepada pemangku kepentingan yang tersebar di negeri ini mengkondikisikan cabangnya masing-masing.

Gerakan revolusi ini sudah pasti dikemas dalam sebuah aksi di jalan (demo) yang sudah pastinya tidak berpengaruh tetapi by case, isi tuntutan pastilah menuntut berubahnya sebuah kebijakan. Haruslah aksi demo  disusun guna sebagai langkah akhir setelah melalui rangkaian cara diplomatis pendekatan akademik dan agitasi propaganda telah disandingkan.

Misal saja jika kita berdemo untuk pembatalan suatu Undang-undang, ya ga ngaruh sebab UU hanya bisa dibatalkan dengan Yudicial review, Legislative Review dan dan Executive Review. Artinya pendekatan lebih nyata/esensial lainnya yang bisa merubah adalah pendekatan akdemik, seperti kajian bersama guru besar ekonomi, politik, hukum, dsb untuk memberikan argumentasi ilmiah atau memberikan masukan teori azaz (hukum) mengenai agenda-agenda tuntutan kita sehingga dapat masuk untuk menempuh mekanisme selanjutnya yaitu konstitusi maka pendekatan yang digunakan mahasiswa tidak hanya berdemo, ada pendekatan akademik yang lebih menjamin perubahan.

Tetapi ngeri juga suka ada isu ancaman DO? Bukankah jika kampus itu bijak maka baiknya menjunjung tinggi azaz cogitations poenam nemo patitut ( tidak bisa seseorang dihukum berdasarkan apa yang ia pikirkan) selama sesuai etika akademik dan bisa dipertanggung jawabkan sehingga pendekatan akademik itu ada dan tidak ngawur.

Kedua salah satu seruan Affandy adalah perihal bentuk pemerintahan sementara setelah presiden mundur, ngawur ga nih? Ya, disinilah kontradiksinya perihal revolusi yang saya tulis di atas  adalah jalur yang cenderung inkonstitusional sedangkan untuk mengganti presiden harus dengan cara konstitusional pastinya dengan cara sesuai aturan yang di atur, jika tidak maka perlu di pertanyakan legitimasinya. Perihal pergantian presiden beserta wakilnya yaitu ada tiga cara :

  • Pertama dalam konstitusi yang baru dengan pemilihan langung presiden setiap lima tahun sekali, artinya bisa diganti pada tahun 2024.
  • Kedua melalui pasal impeachment pasal 7A UU 45 yang garis besarnya dengan clausula-clausula pemakzulan, ini adalah jalur politik dan hukum yang tetap konstitusional. Mekanisme mulai dari DPR (hak angket, interpelasi, menyatakan pendapat,dll), lalu di proses di MK selama 90 hari guna membuktikan presiden sudah tidak lagi memenuhi syarat/melakukan pelanggaran, lalu kembali ke DPR, kemudian DPR mengundang MPR untuk melakukan siding. Artinya ini adalah mekanisme yang lebih ketat proseduralnya dan tajam sekali aroma politisnya sehingga konstelasi politik yang terjadi hari ini mempengaruhi keputusan yang diambil. Tajamnya lagi, parlemen dikuasai oleh koalisi maka lahirlah hasil yang cenderung menguntungkan pemerintah. Kecuali jika pimpinan DPR ada pembelot seperti Pak Harmoko (loyalis Soeharto/ketum golkar) di era Soeharto atau juga seperti pergantian Bung Karno kepada Soeharto, jadi kemungkinan penurunan presiden tetap bisa terjadi. (Mohon Koreksi, jika ini terdapat keliru)
  • Presiden sendiri secara sadar yang harus mengundurkan diri. Artinya, jika presiden mengundurkan diri maka diganti dengan Wakilnya Pak Ma'ruf sampai masa jabatannya habis (2024), maka disini juga terlihat ada kontradiksi atau ketidakpahaman perihal seruan pengunduran diri presiden Indonesia yang akan diganti oleh pemerintahan sementara.

Teranalogi seperti ini, lebih mudah menurunkan presiden sebab 270 juta rakyat Vs satu orang yaitu Presiden

Sekarang Agenda tuntutan besar lainnya adalah perihal kesejahteraan sosial dan keadilan sosial, artinya kita butuh satu orang yang bisa membawa 270 juta rakyat Indonesia  sejahtera dan berkeadilan. Siapakah yang kita harapkan sekarang? kalau dari maksud "Akan membentuk pemerintahan sementara", jika boleh bertanya kembali, sistem yang baik atau pemimpin yang baik? Itu lah masalahnya, terkadang kita ada kemauan tapi belum tentu bisa gool dan didapat.

Peluang selalu ada terlebih dengan jalur konstitusional tidak ada yang tidak mungkin, misalkan jika presiden dianggap sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya sebagai presiden atau tidak lagi memenuhi syarat seperti tidak sehat jasmani atau rohani maka bisa di turunkan dan misal lagi HMI MPO bisa mengeskalasi gelombang reaksi terhadap revolusi/presiden mundur makin meningkat sehingga DPR tergerak.

Kembali pada pertanyaan, apakah dasar serta bagaimana mekanisme yang di tempuh untuk mengganti presiden lalu mengganti dengan pemerintahan sementara? Maka dari ulasan diatas terlihat bahwa lebih cenderung sensasi saja bukan esensi, Sebab? Nilai dan maknai sendiri yok! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun