Veglove, 23 Desember 1988
Jirim Ansel tengah menulis seri kedua dari bukunya yang laris sepanjang tahun kemarin. 'Nearing Death' telah laku hampir tiga ribu eksemplar sejak muncul di toko-toko buku. Buku ini mengisahkan tentang orang-orang yang pernah dan/atau dekat dengan kematian. Buku ini juga menulis tentang orang-orang yang meninggal secara tidak wajar. Jirim mengunjungi tempat orang-orang itu mati. Ia tinggal selama beberapa malam di sana dan perasaannya ia tuangkan ke dalam tulisan.
"Memento mori," jawab Jirim ketika pertanyaan datang padanya mengenai apa tujuan menulis Nearing Death. "Semua tujuan dan motivasi saya dicakup oleh frasa tersebut. Buku ini bagi saya adalah pengingat kematian. Makin dalam saya menguak kisah-kisah mereka, makin dekat juga saya kira dengan kematian itu."
**
"Peternakan Mayer jauh dari sini. Mungkin kita akan sampai pukul 11 malam," kata pengemudi taksi.
Jirim sendiri telah sibuk dengan buku catatannya. Pria itu membaca dari lembar pertama. Kemudian ia menulis beberapa kalimat di lembar yang kosong.
"Pernah dengar tentang peternakan ini? Sempat ditutup tahun 1980," tanya Jirim dengan nada santai. "Dulu namanya Schroeder."
"Ah, ya," Pengemudi mengangguk. "Dulu ditutup polisi karena kasus itu, kan?"
"Kasus enam bayi," sahut Jirim. Jirim kemudian mengeluarkan sebungkus rokok dan korek dari sakunya yang lain. Ia membuka jendela dan menyalakan korek. Bau tembakau menguar di udara. "Dan kasus Ferin Fischer yang ditutup tiba-tiba."
Tangan Jirim membuat goresan-goresan ringan di kertas, coretan acak membentuk sketsa wajah seorang pria. Wajahnya digambarkan berkumis, punya kantung mata tebal dan hidung besar. Kelihatan acak-acakan. Wajah Ferin Fischer.
"Hukum kota ini memang agak busuk," keluh si pengemudi. "Kalau saja masyarakat lebih peka."
Bibir Jirim melengkung menjadi senyum dingin. Setelah menghabiskan sebatang rokok, Jirim mencari posisi yang nyaman. Ia memejamkan mata. Masih ada dua sampai tiga jam untuk Jirim tidur.
**
Salju di penghujung Desember rasanya lebih hangat sebab lampu-lampu kota dihias untuk perayaan natal. Jirim memilih melangkahkan kakinya di jalanan bersalju alih-alih menikmati Borscht dengan nyaman di rumah. Di malam yang semakin dingin ini, apa yang sedang ia cari? Mungkinkah secangkir kopi, atau mungkin ia perlu tidur? Sayangnya, gagasan untuk pulang dan berguling-guling di selimut seketika hilang ketika ia melihat cahaya dari rumah di balik gerbang berderit itu.
Tempat ini, Peternakan Mayer, letaknya hampir di ujung Veglove. Di pemukiman kecil yang tanahnya lebih banyak ditanami bunga madat. Mayer dulu, ketika namanya masih Schroeder, adalah peternakan besar.
Jirim melangkah melewati gerbang. Menapaki jalan berumput kering. Sejak tiba di sini, udara terasa semakin dingin. Barangkali karena munculnya perasaan takut di sudut hati Jirim. Tempat ini pernah berlumuran darah. Sesuatu di sekitar Jirim jelas mengandung jejak matinya bayi-bayi itu. Dia mendengar suara lonceng dari arah selatan, dari sebuah bangunan kayu panjang. Suara lonceng disusul dengan ringkikan kuda.
Jirim melihat seseorang keluar dari kandang, menuruni tangga yang berderit selagi para kuda berisik. Laki-laki. Postur tubuhnya agak bungkuk, dan kakinya bengkok. Diseret ketika berjalan.
Ketika sampai di hadapan Jirim, pria itu memanggil, "Jirim? Kau betulan datang tengah malam begini?"
Jirim mengangguk. Pria tua di depannya bernama Alan Mayer. Dia adalah paman jauh sekaligus mantan bawahan ayah Jirim di Kementerian. Pada tahun ketika peristiwa mengerikan itu terjadi, peternakannya mendapat reputasi buruk dan pelan-pelan hancur.
"Jadi kau memang ingin menulis tentang peternakanku, ya?" tanya Pak Mayer setelah Jirim menjelaskan tentang tujuannya.
"Kau tidak keberatan, kan, Paman?" tanya Jirim.
"Tidak, tentu saja tidak," Pak Mayer tertawa. "toh, pelaku pembunuhannya sudah dihukum mati."
Penulis muda itu mengangguk. Ia mengalihkan pandangannya ke lubang galian besar. Masih ada api. Sampah dan kotoran ternak dibakar di sini.
"Boleh kulihat sekarang?" tanya Jirim. "Seluruh tempat ini."
"Pergi saja," jawab pria tua itu. "Di sana. Tempat paling gelap di tanah kosong belakang kandang kuda."
Jirim pertama-tama memutari lubang galian, kemudian ia melangkah perlahan menuju kandang kuda. Dia menarik napas panjang. Dingin. Tatapannya bertemu dengan milik kuda-kuda itu. Mereka meringkik. Penulis muda itu tak pernah bisa memahami apa makna ringkikan mereka, tapi rasanya seperti kuda-kuda itu bicara padanya. Tentang sesuatu.
 Di mana kiranya bayi-bayi itu dibunuh? Apakah tangisan mereka lebih nyaring dari suara kuda yang dipacu gila?
Jirim berhenti bertanya-tanya ketika ia menemukan bahwa kuda-kuda itu tiba-tiba hening. Mata mereka yang hitam menatap Jirim. Semuanya.
"Kenapa kau di sini, Jirim?"Â
Jirim berhenti berjalan. Di depannya seekor kuda yang jelas-jelas diam. Tapi Jirim bisa mendengar suara. Seolah mata makhluk itu bicara padanya.
"Di belakang sana," kadang-kadang suaranya ada di telinga kanan Jirim, kemudian berpindah ke kiri. Atau mengambang di udara. "Ferin Fischer. Eksekusi."
"Siapa?" Jirim berbisik. Pria itu mundur selangkah. Yang ada di sini hanya kuda. Dan kuda jelas tidak mampu bicara.
"Kami."
"Aku tidak bertanya siapa kalian," ucap Jirim kosong. Di otaknya, ia kebingungan. Apa ini halusinasi? Atau memang hantu bicara padanya. "Aku bertanya siapa yang mengeksekusi Ferin Fischer."
"Kami."
**
Jirim menunduk. Tempatnya berdiri adalah tanah subur. Apa halusinasi yang membawanya ke sini? Pria itu juga tidak tahu. Yang jelas, di depannya, adalah Ferin Fischer. Terikat tali rami. Hidung besarnya kembang kempis---jelas masih hidup.
Jirim nyaris melangkah maju ketika suara memperingatkannya.
"Jangan sentuh ... "
Jirim berhenti. Tepat saat itu ia melihat seseorang. Pria tambun, menarik tali kekang seekor kuda jantan. Ada tiga pria lain yang tidak dikenal. Masing-masing membawa seekor kuda.
Ia melihat Pak Mayer. Pria pincang itu melepaskan tali rami yang mengikat Ferin Fischer dan mengikatkan tali lain yang terhubung pada kekang kuda ke tangan dan kaki Ferin.
Tubuh Ferin direntangkan ke empat penjuru oleh masing-masing kuda.
James tercekat.
Pak Mayer berteriak, dan kuda-kuda itu dipecut oleh pria-pria asing. Kaki dan tangan Ferin Fischer direnggangkan ke batas yang gila.
Dia menjerit-jerit.
"Lihat itu," suaranya datang lagi. "Ferin Fischer akan tercerai-berai."
Sedangkan Jirim hanya bisa berdiri dengan kaku. Ketika Ferin berhenti menjerit, semua menoleh ke arah Jirim. Pak Mayer dan orang-orang itu.
"Lari."
Jirim berlari tanpa arah. Tempat ini tiba-tiba saja begitu gelap. Ia mendengar teriakan Ferin lagi, bunyi lonceng, serta ringkikan kuda. Ada dengusan-dengusan babi.
"Tolong!" Jirim menjerit. "Gelap sekali!"
Jirim merasa dirinya ditangkap oleh sesuatu. Ia mendengar suara Pak Mayer, yang berteriak-teriak agar kuda-kuda itu dipacu untuk mencerai-beraikan tubuh Ferin Fischer.
"Dorong!" suara itu, satu-satunya yang menuntun Jirim di kegelapan ini. "Dorong. Jangan sampai tertangkap!"
Siapa pun itu---yang menangkapnya---ia dorong sekuat tenaga.
Dalam kegelapan, Jirim merasa kepalanya terhantam sesuatu yang keras.
**
Seorang pria terbaring di dekat lubang pembakaran. Itu Jirim.
Pria itu perlahan-lahan mendapatkan kesadarannya. Dia menggeliat dan teringat peristiwa semalam. Ia tiba-tiba berada di tengah-tengah peristiwa kematian Ferin Fischer yang bahkan kasusnya tidak terselesaikan sampai saat ini.
Yang paling rumit di sini adalah Pak Mayer. Betulkah sebenarnya Pak Mayer menjadi salah satu pelaku pembunuhan? Bisakah Jirim mempercayai apa yang ia alami semalam?
Pria itu bangun perlahan-lahan, ia menyentuh kepalanya dan ada darah yang telah mengering. Saat itu lah ia menyadari ... ada bau terbakar yang tajam.
Ketika Jirim melihat ke lubang pembakaran ... ia melihat tubuh seseorang. Gosong. Jirim nyaris tidak bisa mengenalinya, tapi itu jelas Pak Mayer.
Jirim tidak mampu berteriak atau bereaksi histeris, dia hanya merosot ke tanah. Gemetar hebat.
"Dia sudah mati ..."
Suara itu muncul lagi.
"Kerja bagus."
"DIAM!" Jirim berteriak.
"Panggil polisi, Jirim ..."
Dengan tangan gemetar, pria itu meraih sakunya.
"Kuda-kuda itu yang membunuhnya, bukan kamu ..."Â
Telepon tersambung.
"Jadi ... lepaskan kudanya dari kandang."
"Polisi ..." Jirim berkata parau. "Kuda yang mengamuk ... membunuh paman saya ..."
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H