Pak Hendro yang mengambil langkah lebih dulu dengan menelepon polisi. Aku dan yang lain hanya menunggu ketika polisi dan Pak Hendro berbicara di ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan, polisi pergi tanpa menanyai kami. Gorengan dan benda 'itu' dibawa, tentunya.
Sorenya, aku dan yang lain diberi beberapa ratus ribu dari Pak Hendro. Katanya kompensasi sebab kos dan bengkel akan ditutup sehingga kami terpaksa pergi. Kami tak banyak bertanya, hanya mengemasi barang-barang dan mulai mencari kos baru. Tidak ada lagi yang membicarakan perihal mulut dan gigi itu.
Beberapa hari kemudian, barulah terdengar kabar tentang penemuan sebelas bagian tubuh manusia. Kotapraja jadi heboh sekali. Warung-warung kopi dipenuhi gosip tentang mutilasi.
**
Seperti di warung Tani Hardjo pagi ini. Aku menyeruput kopi sambil membaca potongan koran milik Andi. HP ku berbunyi, Gilang menelepon.
"Sedang apa kau?" itu yang ia tanyakan sedetik setelah telepon tersambung.
"Minum kopi," jawabku. "Sambil membaca koran."
"Pasti membaca Satri Sebelas," tebaknya. "Si cantik Satri." Nada Gilang masih seperti biasa, santai dan main-main. "Sayang sekali ... semua berita itu salah. Liputan di televisi, koran, radio, semua Satri Sebelas. Bukankah harusnya, Satri Duabelas?" canda Gilang disusul tawanya sendiri.
"Apa, sih, yang kamu bicarakan?"
"Ah, sudahlah. Omong-omong, kamu dapat kos baru?"
"Sudah. Kamu sendiri? Tinggal di mana sekarang? Di penjara?" ejekku.