Jalanan Kotapraja hari ini lebih lenggang dari hari-hari sepi. Di warung Tani Hardjo, kami menyeruput kopi. Orang-orang mungkin akan sekadar mampir membeli bakwan dan bala-bala, sedang yang punya waktu akan berbincang sebentar untuk membicarakan harga sekilo tomat atau kampanye Pilkada.
"Satri Sebelas," Tani Hardjo meletakkan secangkir kopi ke depan Andi, kawanku yang baru kembali dari wartel. "Dikatakan Sebelas karna bagian tubuhnya terpisah dan ditemukan di sebelas tempat yang berbeda."
Di warung Tani Hardjo, orang boleh saja bertanya mengapa pengemis lebih kaya dari mayoritas tukang becak, namun aku lebih tertarik pada kasus mutilasi yang dimuat di koran minggu lalu. Karena paling tidak, warung ini pernah jadi tempat polisi minum kopi setelah menemukan potongan kaki tiga ratus meter dari sini. "Aku lihat wajah korbannya di koran," Tani Hardjo menggelengkan kepala seolah menyesal. "cuantiiik sekali macam Bela Nesrita."
Andi mengangguk-angguk. "Memang, memang cantik. Kakinya langsing mulus." Dia menarik sesuatu dari celana nya yang lusuh. Sebuah potongan koran. Aku mengambilnya dari tangan Andi dan membaca deretan huruf di sana. Judulnya dicetak tebal di samping foto seorang wanita cantik. Seorang wartawan. Dibunuh dan dimutilasi. Potongan tubuhnya bersih, seolah darahnya telah dikuras habis. Tidak ada kuku, bibir, alat kelamin, rambut. Anus dan pankreasnya hilang pula. Bagian kepalanya gosong. Tertulis di koran, dibakar di belakang stadion.
Ngeri-ngeri sekali kasusnya. Bahkan aku, yang kerap mencari-cari info tentang kasus-kasus macam ini, mau tak mau merinding. Ini satu-satunya kasus yang dekat sekali dengan kami. Katanya Kotapraja kota terpelajar dan aman. Pembunuh tak tinggal di kota tua yang ramah. Namun sejak seminggu ini, rumah paling tenang pun agaknya was-was. Mereka pasti bertanya-tanya siapa gerangan yang berani menjelajahi Kotapraja dan meninggalkan jejak potongan manusia di sudut-sudut kota. Jika kamu bertanya padaku, apa aku penasaran juga, barangkali jawabannya tidak.
Kenapa? Mungkin aku tahu. Ini rahasia, betulan. Sebab terlalu banyak bicara pun bisa jadi dosa. Tapi untukmu, kuceritakan sedikit saja.
**
Karena kurang duit, aku pernah tinggal di kos yang lumayan unik. Pernah kutemui tetangga dari kamar sebelah, pulang diantar mobil polisi. Rupanya mantan residivis. Mungkin kasusnya narkoba, atau barangkali curanmor? Aku juga tak bertanya. Meski takut-takut, di sinilah kos termurah. Di lantai bawah, si pemilik kos, Pak Hendro membuka bengkel. Selepas kuliah, aku terkadang membantunya jika ramai pelanggan, sekadar ganti oli atau memasang aki.
Ada satu pelanggan. Sebutlah namanya Gilang. Wajahnya tampan (sebagai sesama lelaki aku mengakuinya), kulit matang, badan tinggi tegap. Penampilannya macam orang kaya tapi ia mengaku miskin. Ia bilang bersedia tidur di bengkel atau di mana saja asal bukan kamar mandi.
"Saya bisa bantu jaga kalau-kalau ada maling," canda Gilang kala itu.
Pak Hendro mengangguk, kelihatan tak enak hati. "Tapi kasihan kalau kau tidur di bengkel. Hitam-hitam badanmu terkena oli."