"Di tempatku saja kalau begitu," tawarku. Setiap kamar di indekos Pak Hendro bisa dihuni dua orang. Tapi aku sekamar sendiri waktu itu. "Tapi bayarannya bagi dua."
Dan begitulah, semua setuju. Aku dapat teman sekamar baru. Agak riskan membiarkan orang asing tinggal bersama, mana tahu dia suka hutang atau hobi BAB sepuluh kali sehari. Tapi bagaimanapun, tetap kubawa Gilang naik.
Singkat cerita, aku lumayan senang tinggal sekamar dengan Gilang. Kami jadi sering ke warnet bersama. Kalau malam minggu, kami sering menonton film.
"Ah, sayang sekali," gumam Gilang terdengar kecewa ketika tokoh favoritnya, si perempuan bergaun hijau, terbunuh lebih dulu. Film yang kami tonton malam itu isinya hanya sampah dan darah. Meski begitu, Gilang suka sekali meski menonton sambil marah-marah.
"Mana ada yang seperti ini di dunia nyata." Aku berkomentar kesal melihat adegan demi adegan. "Terlalu dibuat-buat. Sampah. Cowok itu pasti psikopat."
"Setuju," Gilang mengangguk. "Di dunia nyata tak sekotor ini. Pembunuh macam apa yang meninggalkan jejak di mana-mana."
Setelah mengatakan itu, HP Gilang berbunyi. Gilang bangkit dan mengangkat telepon, sedangkan aku kembali memusatkan perhatian pada televisi. Film terjeda karena tayang berita kilat terkait demo yang sedang panas-panasnya. Ketika Gilang kembali, dia ikut menonton berita.
"Cantiknya," dia nyengir saat menunjuk wajah wartawan yang meliput berita itu.
Aku mengangguk setuju. Ketika Gilang mengambil dompetnya dan mengenakan jaket kulit, aku bertanya, "Mau ke mana kau?"
"Mencari wanita cantik," jawab Gilang. "Wanita cantik yang bibirnya seksi."
Aku bergumam malas, berbaring di sofa dan melanjutkan menonton film, "Bawakan aku satu."