Mohon tunggu...
Yunk GAN
Yunk GAN Mohon Tunggu... -

"dalam kehidupan kita sehari-sehari, kita dpt melihat bahwa bukan kebahagiaan yang membuat kita berterima kasih. Namun rasa terima kasihlah yang membuat kita bahagia....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah: Seorang Pelacur yang Membunuh Tuhannya

26 Maret 2010   15:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dirinya telah ditakdirkan menjadi pelacur selamanya dan karena itu akan tetap bergelimang dosa. Dengan pikiran begitu ia patah semangat.
Pikirannya kalut dan akhirnya ia nekat hendak bunuh diri. Ya, bunuh
diri! Bukankah sama saja mati nanti dengan mati sekarang, toh
hukuman sudah menanti. Memang benar dia pernah dengar sifat-Nya yang
Maha Pengampun.

Ia memang pernah dengar bahwa sebelum nyawa sampai ke kerongkongan ampunan-Nya masih terbuka. Akan tetapi ia juga pernah mendengar bahwa manusia berdosa mesti masuk neraka dulu untuk disucikan dari kotoran-kotoran dosanya, baru diangkat ke sorga.

Jadi, pikirnya, mungkin, sekali lagi mungkin, dirinya akan diampuni,
tetapi tetap saja ia mesti masuk neraka, sebab Tuhan Maha Adil dan
Menepati Janji. Lagipula tak ada jaminan ia masih hidup esok hari,
dan tak ada jaminan dia akan mati dalam keadaan telah bertobat.

Selain itu cap dirinya sebagai pelacur sungguh sulit dihapuskan.
Bahkan kalau ia meninggalkan dunia pelacuran ini, sebutan "bekas
pelacur" tetap saja memalukan. Bahkan di dunia ini sesungguhnya dia
telah dihukum secara sosial dan psikologis. Bahkan di dunia
ini dia sudah dihukum! Jadi Sekali lagi, hukuman itu tampak sebagai
sebuah keniscayaan.

Sekarang ia harus memikirkan cara bunuh diri yang paling efisien dan
tidak menyakitkan. Gantung diri jelas tak nyaman. Terjun dari gedung
bertingkat juga tak mungkin sebab dia takut ketinggian. Ini persoalan
serius, ia harus memikirkannya masak-masak. Dan malam ini, sambil
melakukan pekerjaannya melayani lelaki, pikirannya sibuk memikirkan
cara bunuh diri secara efisien dan tak menyakitkan. Dan pada dini
hari sekitar jam 4 dia sudah menemukan caranya.

Dua hari kemudian ia pergi dari lokalisasi ke desa di selatan kota
yang sering dikunjunginya jika dia stres untuk melaksanakan niatnya.
Di ujung desa itu terdapat lembah ngarai yang pemandangannya sangat
indah. Di sebelah timur ngarai itu terdapat hutan lebat, dan gunung
yang tak begitu tinggi. Saat matahari muncul dari balik gunung itu
sinar emasnya meluncur seperti lempengan emas menerpa dedaunan
pepohonan hutan itu.

Sementara itu kabut merayap naik dari ngarai lalu dengan pelan dan
halus menyelimuti hutan dan lubang ngarai yang menganga itu. Meski
di atas ngarai, ia tak merasa berada di ketinggian jika kabut itu
sudah menutupinya, sebab nanti hanya akan tampak hamparan
permadani putih membentang di atas ngarai. Karenanya dia bisa
berjalan ke permadani itu dan, tentu saja, ia akan jatuh ke ngarai
yang curam dan berbatu. Sungguh tempat ideal untuk bunuh diri.

Saat pelacur itu sampai di tempat itu di pagi hari, ngarai tersebut sudah
hampir tertutup oleh kabut, dan permadani putih itu sudah terbentuk.
Keadaannya sepi, dan hanya desir angin yang mengisi kekosongan. Dia
tinggal menunggu beberapa saat lagi, dan terlaksanalah rencananya,
tanpa harus takut.

Demikianlah, ketika permadani itu sudah terbentuk, ia menarik nafas
panjang, mengepalkan kedua tangan, ditegakkannya kepala dan
punggungnya, lalu dengan langkah pelan tapi pasti ia berjalan ke
bibir ngarai.Angin masih berdesir,dan di atas seekor burung melayang seolah ingin menyaksikan detik-detik yang mendebarkan ini.

Langit biru cerah, udara dingin, sepi, dan langkah kakinya terdengar
berdetak keras saat menapak tanah. Dalam hitungan detik ia sampai di
bibir ngarai. Ia tak menatap ke bawah, hanya memandang permadani
putih itu. Sejenak ia tampak bimbang, bibirnya terkatup.

Lalu dipejamkan matanya dan seiring hembusan angin ia mengangkat kakinya maju ke depan... Di kejauhan terdengar suara cicit burung. Daun
gemerisik disentuh angin. Bukk... pelacur itu terjerembab... ke
belakang! Di saat yang menentukan itu sebuah tangan menarik badannya
dengan keras. Jadi ia tak jadi mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun