Malam itu, aku hanya duduk di depan benda pipih yang sudah satu tahun ini menjadi teman baik kala aku sepi.
Sepi dari jauhnya orang tua, saudara, bahkan teman-teman seperjuangan yang sama dalam satu negeri.
Dulu, waktu masih di negeri sendiri, semua terasa mudah saja aku mengatakan, "Nanti kalau sudah sama-sama di Taiwan kita ketemuan, ya?"
Faktanya?
"Aku nggak bisa libur. Maaf, ya?"
"Nenekku nggak bisa ditinggal. Dia pikunnya kumat!"
Dan sederet alasan yang lain.
Memang tak bisa dipungkiri, sebagai BMI (Buruh Migran Indonesia) di negeri non-muslim ini, menjadikanku banyak belajar memahami.
Memahami bahwa hidup bukan hanya tentang diri kita pribadi, tapi juga orang lain. Jika di negeri sendiri sering beryanya suku dan lainnya, di Taiwan atau bahkan negeri lainnya, cukup jawaban "Aku daei Indonesia." Sudah barang tentu tanggapannya;
"Wah, ternyata kita satu negara!"
Hal yang sama ketika awal aku berteu dengannya. Seorang teman baik yang lebih tua satu tahun dari usiaku. Tapi pengalaman di Taiwan, sudah cukup membuatku kagum.