Mohon tunggu...
YunitaUmar
YunitaUmar Mohon Tunggu... Buruh - Pengangguran

Anak Kampung

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Menunda Kematian Alam di Film "Racing Extinction"

20 November 2019   15:10 Diperbarui: 20 November 2019   18:22 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah rasa kejenuhan saya, malam minggu kemarin saya habiskan waktu untuk pergi dari gubuk tercinta (kost). Mencari angin segar dan melihat dunia luar. Karena dunia tidak selebar daun kelor, tidak juga sesempit gubuk saya di tepi kota ini. 

Saya jeda dulu skripsi yang belum berganti wajah baru. Bab-bab yang masih berserakan dan belum juga dibubuhi tanda acc dari dosen pembimbing terkasih. Biarlah saya habiskan waktu untuk nongkrong bersama teman-teman, merayakan kesendirian dengan filter intelek. 

Supaya  menjadi jomblo progresif harapan bapak bangsa seperti Tan Malaka dan Bung Hatta. Jadilah malam itu saya nobar dengan banyaknya gelas kopi yang tersedia. Agar bisa diseduh untuk membuka mata lebar-lebar. Membuka hati dan rasa peduli. 

Film Racing Extinction pun diputar. Waktu berjalan lambat. Hanya seruput bunyi mulut menyeduh kopi, selebih itu hanya suara pilu dari Louie Psihoyos dan tim The Cove, seniman dan para aktivis lingkungan.

Melalui  film dokumenter yang diproduksi oleh Discovery Channel ini mereka hendak menyampaikan kepada kita, umat manusia, bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Alam ini sedang mengalami sakaratul maut, kematian sudah diujung jalan. Hanya menghitung waktu kapan kematian itu datang dan mengubur manusia hidup-hidup. 

Kerusakan alam kian hari makin menjadi-jadi. Produksi gas karbon dioksida dan metana yang  terlampau tinggi itu menyebabkan lautan semakin asam. Kepunahan berbagai spesies vertebrata meningkat drastis dalam seratus tahun terakhir.

Alam ini dalam sejarahnya telah melewati kepunahan besar kelima dengan ditandainya kepunahan pada dinosaurus. Kemudian para ilmuwan meramalkan bahwa dalam abad ini akan terjadi lagi kepunahan besar. 

Kalau dulu kepunahan itu terjadi karena ledakan meteor yang menghantam bumi, namun sekarang kepunahan datang karena ulah manusia sebagai makhluk super power, khalifah  di muka bumi.

Kita tahu tentang ikan yang memiliki tubuh sangat besar yaitu hiu. Hewan biota laut bertaring ini diprediksi oleh Louie akan mengalami kepunahan sama halnya dengan dinosaurus. 

Abad ini, ikan hiu dan pari manta telah dikategorikan sebagai hewan langkah. Namun, di beberapa negara seperti Hongkong dan Tiongkok, hiu menjadi komoditas utama dalam perekonomiannya. Bagaimana hiu ditangkap kemudian seluruh bagian tubuhnya dipotong dan dijemur, menjadi obat-obatan tradisional yang memiliki daya jual sangat tinggi.

Tidak terkecuali, di Amerika, sebuah restoran mewah menjadikan hiu sebagai bahan makanan utamanya. Hiu dijadikan sup sebagai santapan pembuka yang disajikan dalam mangkuk kecil dengan harga yang sangat mahal. 

Hiu sebagai perburuan liar yang oleh mereka  tidak pernah dipandang kapan hiu akan punah. Selagi masih ada, selagi masih bisa dijual dengan harga yang sangat mahal, hiu dan pari manta tetaplah nomor satu sebagai pundi-pundi harta.

Sampai di sini, saya masih tidak berkedip menatap layar infokus itu. Meski sesekali mengganti posisi kaki agar tetap nyaman duduk lesehan. Durasi film 90 menit itu harus tuntas saya saksikan tanpa kekurangan jeda apa pun.

Karena selang dari perjalanan Louie dari tiga negara tersebut, mereka akhirnya melabuhkan diri ke Indonesia, tepatnya di Desa Lamakera, Nusa Tenggara Timur. Daerah pesisir dengan masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan, ternyata pari manta juga dijadikan sebagai tangkapan yang paling utama. 

Nilai jual yang mahal dan profesi utamanya hanya sebagai nelayan, itulah yang menjadi alasan mereka tetap memburu pari manta. Meski mereka sadari, pari manta tidaklah sebanyak yang dahulu kala ketika mereka masih kecil. Pari manta sudah jarang terlihat di laut yang bebas ini.

Hem! Hati saya berubah lebih emosional melihat Louie dan timnya. Saya teringat kampung halaman, teringat bapak yang kerjanya keluar masuk hutan rimba, dan teringat ibu mendaki bukit kecil untuk berladang bersama saya dulu. Film ini bisa kita lihat dari banyak sudut pandang, bisa dari segi ekonomi, kesehatan, sosial, dan politik. 

Hongkong, Tiongkok, dan Amerika, jelas mereka menjadikan hiu sebagai lahan bisnis untuk mengumpulkan pundi-pundi harta. Namun, menjadi sorotan saya adalah bagaimana nelayan kita di Desa Lamakera bertahan hidup dengan bernelayan memburu pari manta yang menjanjikan uang untuk dibawa pulang. 

Mengganjal perut dan melanjutkan sekolah bagi anak-anak mereka. Tidak ada pilihan,  pemerintah harus datang memberi solusi, bagaimana mereka tetap melanjutkan hidup tanpa memburu pari manta lagi. Itu saja.

Seperti halnya, bapak bercerita, hutan rimba yang sudah ditetapkan pemerintah menjadi hutan lindung di kampung halaman tidak lagi menjadi hutan lebat seperti halnya ketika bapak muda dulu. Sudah banyak lahan-lahan pertanian dibuka, pohon-pohon ditebang, dan itu semua dilakukan semata-mata hanya untuk bertahan hidup. 

Laju tumbuh kembangnya masyarakat memerlukan banyak lahan dan kesempatan untuk bekerja. Membutuhkan lahan yang banyak, agar perekonomian tetap lancar dan aman. 

Saya hari ini bisa menyusun skripsi, bisa bersekolah, juga tidak lain karena bapak yang hidupnya tergantung pada alam. Pada gunung-gunung di kampung halaman. Meski gunungnya hari ini tidak lagi membuat kampung saya sedingin dulu, tiga tahun yang lalu saat saya belum pergi merantau ke daerah perkotaan yang sangat panas, Padang.

Film ini berhasil menggunggah emosi penontonnya termasuk saya, film dokumenter yang tidak kalah menguras airmata dengan film The Pursuit of Happyness. Louie dengan mata berkaca berharap agar manusia sadar dan memiliki kepedulian yang sangat tinggi kepada lingkungan. Louie mengutip sebuah petuah, 

"Lebih baik memberi satu lilin dari pada terus mengutuk kegelapan."

Lebih baik bertindak nyata dari pada hanya sekedar bersuara, begitulah kiranya maksud Louie.

Alam perlu dilindungi, dijaga sepenuh hati sebagai bentuk kepedulian kita. Semuanya harus terlibat, baik pemerintah atau pun juga masyarakatnya. Tidak juga lupa, tugas bersama memajukan perekonomian masyarakat kecilnya yang hidup bergantung kepada alam. Semuanya harus seimbang, alam untuk manusia dan hidup manusia untuk alam. 

Jadilah manusia yang memanusiakan alam. Saling memberi kehidupan, menjalin simbiolis mutualisme yang saling menguntungkan. Menjaga alam sama halnya beribadah kepada Tuhan. Karena melalui alam Tuhan menjewantahkan diri-Nya. 

Jangan biarkan alam mati sebelum waktunya. Biarkan bumi tetap berputar sebagaimana mestinya. Matahari tetap terbit dari timur dan tenggelam di barat. Senja datang tanpa dihalangi oleh asap pembakaran hutan. Oksigen tetap kita hirup dengan segar. Laut, ikan, dan terumbu karangnya tetap indah tanpa diracuni gas metana lagi. Kutub utara tetap dingin, biarlah beku jangan mencair seperti hari ini.

Masih ada harapan untuk melihat alam indah lagi. Masih ada keyakinan, bahwa besok anak cucu kita masih bisa melihat hiu dan pari manta. Menjadikan cerita dongeng anak durhaka yang dikutuk jadi ikan pari sebagai nasehat moral dari alam sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun