Jika ada yang bertanya momen apa yang paling menggetarkan hati saya sepanjang berstatus Warga Negara Indonesia, tidak akan ragu akan saya jawab pada momen Piala AFF 2010.
Lupakan sejenak kenangan buruknya seperti leg pertama final, kejadian laser, sampai match fixing dan isu penyuapan yang santer menyeruak beberapa tahun lalu.
Tidak, teman, saya tidak sedang berminat menjulidi itu semua. Setidaknya untuk saat ini, tidak tahu nanti ke depannya.
Barangkali kalian mau untuk saya ajak bernostalgia dengan memori indah dunia sepak bola Indonesia kala itu.
Jika kalian seumuran dengan saya, di mana saat itu baru menginjak usia 9 tahun, pasti akan selalu mengingat momen indah bagaimana timnas berlaga di Piala AFF. Semua televisi di setiap rumah hanya menayangkan satu program yang sama, menonton timnas berlaga.Â
Nyaris jarang sekali ada emak-emak yang rebutan remot dengan anak lelakinya untuk menonton sinetron, malah ikut nobar menyaksikan kesebelasan. Belum ada keributan politik. Atau, mungkin saat itu saya masih terlalu polos untuk menangkap kekisruhan politik? Entahlah. Yang jelas saat itu saya rasakan hanyalah euforia sepak bola Indonesia yang menyatukan semua elemen masyarakat.
Ada beberapa alasan mengapa timnas Indonesia di Piala AFF 2010 amat sangat memorable, bahkan sampai saat ini saya juga masih mengingat siapa saja starting line up timnas kita.
Bisa disebut saat itu adalah golden eranya Indonesia, setidaknya sepanjang saya mulai mengenal dunia persepakbolaan negeri ini.
Di ujung tombak ada Gonzalez yang bernomor punggung 9. Pemain asal Uruguay yang akhirnya mendapatkan status WNI dan masuk sebagai pemain naturalisasi.
Entah karena terbawa oleh saudara sebangsa dan setanah airnya dahulu, yaitu Edinson Cavani dan Luis Suarez, Gonzalez menjelma menjadi striker menakutkan bagi lini belakang lawan. Pergerakan dan peluang berhasilnya dalam mencetak gol amat membantu jalan Indonesia untuk melaju satu demi satu ke babak final.
Irfan Bachdim, idola ciwi-ciwi saat itu. Wajah blasteran Indonesia-Belanda, kepiawaian bermainnya di lapangan dan selebrasi ikoniknya masih membekas sampai saat ini. Bisa dibilang duet pemain naturalisasi antara Gonzalez dan Irfan adalah hal yang paling menyenangkan untuk kita kenang.
Ban kapten timnas kita saat itu melingkar di lengan atas Firman Utina. Playmaker yang membuat lini tengah bisa bermain eksplosif.
Di sampingnya ada dua winger Oktavianus "Okto" Maniani si Ryan Giggs-nya Indonesia, dan juga Muhammad Ridwan yang menjadi pencetak gol penutup di turnamen tersebut.
Lini belakang? Tak kalah tangguh. cuy.
Garis akhir pertahanan dijaga oleh Markus Horison yang saat itu berpenampilan sekilas mirip Willy Caballero, kipernya Chelsea. Di depannya ada duet bek andalan timnas Maman Abdurahman dan Hamka Hamzah, duet bek yang sepertinya lebih kuat dibandingkan dengan duet antara Chris Smalling dengan Phil Jones.
Menonton pertandingan dari televisi tabung, di mana saat itu belum ditemukan atau memang di tempat tinggal saya belum ada yang mempunyai televisi layar datar yang tipis seperti sekarang, antusiasme masyarakat tetap amat tinggi demi mendukung timnas kesayangan. Dari anak-anak sampai orang dewasa setiap keluarga besar berkumpul untuk melihat sejarah baru yang diharapkan bisa timnas Indonesia berikan.
Momen itu ternyata sudah lama sekali, lebih dari sedekade lalu, di mana nobar rame-rame ditemani kacang tanah rebus, tanpa ada rasa kekhawatiran digrebek Satpol-PP atau tertular Covid-19 karena tidak physical distancing.
Saya masih ingat saat menonton pertandingan di mana sepupu saya keluar rumah karena takut ketika Firman Utina maju menendang pinalti, sebuah hal yang saat itu daya anggap membagongkan.
Selain antusiasme saat menonton bareng, ada hal lagi yang bukti kenangannya masih tersimpan rapi sampai sekarang, yaitu ramainya anak-anak yang mengenakan atribut timnas. Yang saat itu paling ramai dan umum dijumpai adalah jersey bernomor punggung 9 dan 17 milik dua pemain paling banyak digemari, Gonzalez dan Irfan Bachdim. Ke mana saja saya melangkah sore-sore setelah mandi, pasti ada yang memakai jersey itu.
Di lingkungan sekolah juga tak kalah hype-nya, mamang mamang penjual mainan di depan sekolah tak luput menjajakan dagangan berupa poster dan sticker bergambar wajah para punggawa timnas. Wihhh rasanya bangga sekali saya karena saat itu bisa membeli poster Gonzales dan kesebelasan Indonesia, beserta sticker mereka juga tentunya, ya meskipun harus rela memotong uang jajan.
By the way, jaket timnas hasil pemberian emak saya yang doi beli di pasar juga masih ada sampai sekarang, kadang masih saya pakai juga, utamanya saat menonton timnas atau ikut lomba Agustusan, walaupun sering dibilangin, "jaket banyak yang lebih bagus kenapa pake jaket lama yang udah agak kekecilan begitu?!"
Saat itu media sosial memang belum seramai sekarang, satu-satunya cara untuk menyaksikan timnas berlaga selain langsung duduk di tribun stadion juga ya hanya lewat saluran televisi, belum ada akses streaming di HP full touchscreen seperti sekarang. Belum ada snap dan reels Instagram yang bisa dijadikan ajang mengabadikan momen untuk dipamerkan kalau kita sedang menonton timnas.Â
Tapi itulah yang membuat kenangan saat itu amat sulit untuk dilupakan. Bahkan sepertinya akan terus terpatri dalam ingatan kita yang dulu menjadi saksi betapa indahnya sepak bola Indonesia sampai kapanpun.
Media entertainment news kita untuk mengikuti berita timnas hanya ada di media cetak dan televisi juga. Bagi mereka yang punya uang lebih mungkin bisa dengan mudah membeli tabloid atau majalah olahraga bersampul timnas, yang low budget tapi maksa pengen tau berita dan punya gambarnya ya mentok beli koran terus digunting halaman besarnya dan ditempel di kamar dengan selotip.
Wih asli merinding juga cuy kalo kembali ke momen itu, di mana saat berita timnas tersiar di televisi, lagu Garuda Di Dadaku dan Dari Mata Sang Garuda karya Pee Wee Gaskins selalu diputar sebagai backsound.
Di hari ulang tahun negeri kita tercinta yang ke-76 ini, saya berharap Indonesia lekas pulih dan kembali baik-baik saja.
Sungguh, saya amat merindukan momen kembali bangkitnya sepak bola tanah air. Olahraga yang menyatukan dan merangkul semua kalangan.
Dirgahayu Republik Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H