Dalam kasus Agus, masyarakat yang awalnya bersatu untuk bersimpati terhadap korban akhirnya terpecah menjadi dua kelompok: yang mendukung Agus dan yang menentangnya. Le Bon's Phenomenon of Crowding menjelaskan fenomena ini dan menjelaskan bagaimana kerumunan emosional terbentuk dan berkembang. Pada awalnya, Agus sebagai korban mendorong kerumunan digital di media sosial. Banyak orang tergerak untuk mendukungnya karena ceritanya yang menyentuh tentang penderitaan yang dia alami karena penyiraman air keras, termasuk dengan memberikan donasi.
Namun, masyarakat mulai mengalami disonansi kognitif ketika cerita baru tentang ketidaktransparanan penggunaan dana donasi atau dugaan manipulasi cerita muncul. Ini terjadi, menurut teori psikologi sosial, ketika keyakinan awal seseorang bertentangan dengan informasi baru yang mereka terima. Orang-orang yang mendukung Agus merasa terkejut dan kecewa, sementara orang-orang yang skeptis sejak awal merasa terlindungi. Hasilnya adalah terbentuknya dua kelompok besar di sekitar Agus: kelompok pro-Agus yang terus mendukungnya, dan kelompok kontra-Agus yang merasa simpati publik telah hilang
Teori Le Bon juga menyatakan bahwa emosi tertentu cenderung mempengaruhi kerumunan. Dalam kerumunan pro Agus, emosi seperti kasih sayang, empati, dan solidaritas mendominasi; di sisi lain, emosi seperti kekecewaan, kemarahan, dan ketidakpercayaan mendominasi. Kerumunan ini menciptakan dua cerita media sosial yang saling bertentangan, meningkatkan polarisasi di masyarakat.
Mengapa Agus "Menjual Kesedihan" di Ruang Publik?
Psikologi sosial dapat membantu memahami keputusan Agus untuk berbicara di ruang publik, seperti wawancara dan media sosial. Menurut teori Le Bon, orang dalam kelompok sering kali kehilangan sebagian identitas pribadinya dan mengubah perilaku mereka untuk sesuai dengan norma yang berlaku dalam kelompok tersebut. Dalam kasus Agus, media sosial menciptakan norma di mana kisah korban kekerasan dianggap pantas untuk mendapatkan simpati dan dukungan. Dengan kata lain, masyarakat mengharapkan Agus secara tidak langsung "menjual kesedihan" untuk tetap relevan dalam diskusi publik.
Namun, teori perbandingan sosial juga dapat menjelaskan tindakan ini. Jika seseorang tertekan, mereka cenderung mencari dukungan dan validasi dari orang lain dengan membandingkan keadaan mereka dengan norma sosial yang berlaku. Selain itu, sebagai korban, mereka mungkin merasa bahwa cara terbaik untuk mendapatkan dukungan finansial dan emosional adalah menceritakan penderitaan mereka di depan umum.
Selain itu, pengelolaan kesan, juga dikenal sebagai impression management, adalah teknik di mana orang secara sadar atau tidak sadar mengatur cara mereka berperilaku di depan umum untuk mencapai tujuan tertentu. Teknik ini dapat digunakan untuk menganalisis perilaku Agus. Agus mungkin ingin memastikan bahwa cerita tentang dirinya sebagai korban tetap kuat di benak publik dalam hal ini. Dengan mempertahankan simpati publik, ia berharap dapat terus menerima bantuan yang diperlukan untuk pemulihannya.
Ketegangan antara Norma Sosial dan Kebenaran
Norma sosial adalah aturan tidak tertulis yang mengarahkan perilaku individu dan kelompok dalam masyarakat. Ketika kasus Agus pertama kali muncul, norma sosial yang berlaku mengatakan bahwa orang yang menjadi korban kekerasan harus diterima dengan simpati, dukungan, dan bantuan tanpa banyak mempertanyakan kebenaran kisah mereka. Nilai empati, solidaritas, dan keadilan sosial adalah dasar dari standar ini.
Selain itu, sebagai korban kekerasan, mereka menjadi representasi penderitaan yang memerlukan perhatian publik. Norma ini mendorong masyarakat untuk membantu, baik dengan uang maupun dengan dukungan moral. Berita tentang penderitaan Agus di media sosial dan media massa memperkuat norma ini, membuat masyarakat merasa perlu mendukungnya sebagai bentuk kepedulian.
Tetapi Agus memiliki ekspektasi tinggi dari norma sosial ini. Masyarakat yang memberikan donasi dan dukungan mengharapkan Agus untuk menunjukkan integritas dan transparansi, sesuai dengan norma sosial. Mereka harus jujur dan tidak "memanfaatkan" simpati publik untuk keuntungan pribadi. Normal ini mulai bertabrakan dengan kenyataan ketika muncul keyakinan bahwa Agus mungkin tidak sepenuhnya jujur atau mungkin ada manipulasi dalam cerita penderitaan yang dia ceritakan.