Mohon tunggu...
Yunis Eka Putra
Yunis Eka Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA, FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN, PROGRAM STUDI STRATA-3 TEKNOLOGI PENDIDIKAN 2024

Saya adalah mahasiswa pasca sarjana s3 Universitas Negeri Surabaya, FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN, PROGRAM STUDI STRATA-3 TEKNOLOGI PENDIDIKAN 2024, KELAS C

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Problematika Implementasi Kurikulum Merdeka di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN)

19 Desember 2024   16:12 Diperbarui: 19 Desember 2024   16:12 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Sekolah Indonesia Jeddah (Dok Pribadi)

Penulis : Yunis Eka Putra (Mahasiswa S3 Universitas Negeri Surabaya)

Pembimbing : Prof. Dr. Bachtiar Sjaiful Bachri, M.Pd. (Universitas Negeri Surabaya)

Dr. H. Lamijan Hadi Susarno, M.Pd. (Universitas Negeri Surabaya)

Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) adalah institusi pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Indonesia untuk melayani kebutuhan pendidikan bagi anak-anak Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri. SILN ini tersebar di negara negara dengan jumlah penduduk Indonesia cukup tinggi seperti Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Thailand, Jepang, dan Mesir. SILN berfungsi untuk memastikan bahwa anak-anak WNI tetap dapat memperoleh layanan pendidikan sebagai hak setiap warga negara meskipun berada di luar negeri. Kurikulum di SILN dirancang mengikuti kurikulum yang ada di Indonesia dengan tujuan diantaranya adalah agar anak Indonesia tetap menjaga rasa nasionalisme sebagai anak bangsa dan memastikan kesetaraan standar pendidikan dengan sekolah di dalam negeri, sehingga siswa SILN dapat melanjutkan pendidikan di Indonesia tanpa hambatan jika kembali ke Indonesia


Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan fungsinya, terutama terkait sarana prasarana, implementasi kurikulum, pengelolaan sumber daya dan adaptasi dengan lingkungan negara setempat. Beberapa SILN memiliki keterbatasan dalam hal infrastruktur fisik, teknologi, atau bahan ajar yang mendukung pembelajaran. SILN juga harus menyesuaikan pelaksanaan kurikulum nasional dengan kebijakan pendidikan dan budaya negara tuan rumah misalnya, waktu belajar, kalender akademik, atau mata pelajaran tambahan yang diwajibkan oleh pemerintah setempat.


Tantangan lain tentu saja dalam implementasi kurikulum nasional di SILN yang saat ini menerapkan kurikulum merdeka. Tantangan tersebut terutama terkait dengan pendampingan dalam implementasi kurikulum, sumber daya di sekolah, sarana prasarana dan lingkungan negara setempat. Pendampingan dalam Implementasi Kurikulum Merdeka di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) tentu merupakan faktor krusial untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan apa yang dicita citakan dalam pendirian SILN. Pendampingan ini bertujuan untuk memberikan arahan, supervisi, dan dukungan teknis kepada guru dan tenaga kependidikan di SILN agar mampu memahami, merancang, dan melaksanakan kurikulum sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah pusat.


Di Indonesia, implementasi Kurikulum Merdeka mendapatkan dukungan sistematis melalui program tertentu seperti Sekolah Penggerak dan pendampingan intensif dari pengawas sekolah serta fasilitator kurikulum. Program Sekolah Penggerak, misalnya, menyediakan pendampingan yang terintegrasi, melibatkan pelatihan intensif, kunjungan lapangan, dan evaluasi yang berkelanjutan. Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada guru untuk mendapatkan dukungan langsung dan umpan balik yang relevan dengan konteks sekolah masing-masing. Program Sekolah Penggerak di Indonesia juga menyediakan pelatihan komprehensif, pendampingan lapangan, serta komunitas belajar untuk guru dan kepala sekolah, yang memungkinkan implementasi kurikulum berjalan lebih terarah. Sebaliknya, SILN belum memiliki program serupa yang dirancang secara khusus untuk mendampingi kebutuhan unik mereka, baik dari sisi kurikulum maupun lingkungan pendidikan internasional.

Ketiadaan program seperti sekolah penggerak atau yang serupa menyebabkan guru-guru di SILN tidak memiliki akses ke pelatihan yang terstruktur dan dukungan lapangan yang berkelanjutan. Pendampingan yang diberikan kepada SILN cenderung bersifat umum dan dilaksanakan secara daring ataupun melalui pelatihan mandiri melalui platform pelatihan yang disediakan seperti merdeka mengajar. Pelatihan ini masih bersifat umum yang tentu saja tanpa pendekatan berbasis kebutuhan atau konteks lokal dari negara SILN tersebut berada. Akibatnya, guru di SILN sering kali harus beradaptasi sendiri dengan tantangan kurikulum dan kondisi unik siswa, tanpa panduan atau evaluasi yang intensif dari pendamping profesional.

Selain itu, pengawas sekolah memainkan peran penting dalam memastikan sekolah memahami dan melaksanakan Kurikulum Merdeka sesuai dengan standar yang ditetapkan. Di dalam negeri, pengawas sekolah berperan sebagai penghubung antara sekolah dan pemerintah, serta memastikan pelaksanaan Kurikulum Merdeka sesuai dengan kebijakan yang berlaku. SILN tidak memiliki pengawas sekolah yang dapat memberikan arahan dan supervisi langsung, seperti yang tersedia untuk sekolah-sekolah di Indonesia. Ketiadaan pengawas ini menyebabkan SILN kurang mendapatkan umpan balik reguler tentang implementasi kurikulum, sehingga evaluasi dan perbaikan pembelajaran tidak dapat dilakukan secara optimal.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang saat ini menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah berupaya menyediakan platform merdeka mengajar yang didalamnya terdapat pelatihan mandiri untuk membantu guru memahami filosofi dan teknis pelaksanaan Kurikulum Merdeka. Namun, pendekatan daring ini sering kali tidak cukup untuk menggantikan pendampingan langsung yang lebih mendalam. Guru di SILN kerap merasa kesulitan untuk mengimplementasikan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai atau pelaksanaan projek penguatan profil pelajar Pancasila, karena minimnya praktik langsung atau kesempatan untuk berdiskusi secara intensif dengan fasilitator atau para ahli dibidangnya. Pendampingan yang ideal seharusnya mencakup pelatihan berkelanjutan, supervisi langsung, dan pemberian umpan balik yang konkret kepada guru. Pendekatan hybrid yang mengkombinasikan pelatihan daring dengan kunjungan langsung oleh fasilitator dari pusat atau ahli kurikulum dapat menjadi solusi yang lebih efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun