Mohon tunggu...
Unique Susetyo
Unique Susetyo Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga, pemerhati semesta

Ibu rumah tangga yang menulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Dialog dalam Hati

18 Mei 2020   00:34 Diperbarui: 21 Mei 2020   00:41 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

B: Ibu ada masalah dengan saya? Lebih baik kita mengobrol di tempat saya.
S: Bapak memang siap sedia 24 jam di situ. Kan Bapak ingatkan selalu di warta umat. Tapi tidak, Pak. Terima kasih. Ini masih masa 'stay at home'. Saya tuliskan saja yang bisa diingat supaya tercatat. Saya kayaknya mirip nabi Musa: berat mulut dan berat lidah. Lebih baik saya menulis daripada berbicara lisan.

Bapak juga tahu rumah tempat saya menumpang. Kalau mau Bapak bisa sekalian berkunjung, nanti ketika pandemi sudah berakhir. Kan Bapak yang dilantik menjadi hamba. Hamba itu melayani, Pak. Hamba itu berbeda dengan direktur, Pak. Panggilan menjadi hamba memang memerlukan kerendahan hati. Tentunya hal itu sudah Bapak pertimbangkan sebelum dilantik. Di pendidikan paska sarjana Bapak sepertinya kurang ya materi itu. Sepertinya materi itu justru banyak dipelajari di strata satu. Tapi tenang, Bapak masih bisa belajar dari para senior dan mulai melakukannya detik ini juga. Belum terlambat kok, Pak.

B: Ibu sedang menggurui saya?
S: Sejak awal saya sudah bilang, bahwa ini curhat, ini cerita. Bapak tersinggung? Bapak merasa sedang digurui? Saya cuma ibu rumah tangga biasa, Pak. Mosok menggurui hamba Tuhan.

Sejak lahir saya sudah harus menerima nasib jadi bagian keluarga hamba, seperti Bapak. Saya tidak memintanya loh, Pak. Saya tidak bisa memilih di keluarga mana dilahirkan dan dibesarkan. Tuhan yang memilihkannya untuk saya.

Perlu Bapak ketahui, bahwa 'curhatan demi curhatan', yang diunggah dari nomer ponsel yang Bapak bagikan sebagai rujukan hotline umat itu, bisa saya pahami. Maksudnya curhatan yang mana? Itu, Pak, tulisan yang mengungkapkan bahwa entah Bapak atau sang istri merasa ada yang tidak sepaham dan ada yang memusuhi. Atau ketika ada tulisan status yang menyiratkan bahwa Bapak minta diperhatikan dan dihormati.

Mungkin cuma perasaan saya saja ya, Pak. Tapi ini berarti saya jujur tentang perasaan saya. Menurut saya tidak semua status yang diunggah dari nomer Bapak itu tepat untuk  dibagikan, apalagi kepada umat. Kalau untuk Bapak dan ibu rasanya lebih tepat mengunggah  status tersebut langsung kepada Tuhan, bukan ke khalayak awam seperti kami. Untungnya di zaman orangtua saya dulu  belum ada yang namanya 'update status'. Update status itu sekarang layaknya 'new normal' ya, Pak. Bahkan untuk sekelas hamba Tuhan atau istrinya. Lebih baik bagikan saja pesan Firman Tuhan sederhana yang membantu umat merasakan pimpinan Tuhan setiap harinya.

Apalagi zaman dulu, Pak. Can't relate lah (istilah umat twitter-iah). Orangtua saya diberi tanda kasih berapapun dan tanggal berapapun selalu disyukuri. Kayaknya pernah dicicil juga oleh umat. Kami berusaha menghargai setiap hal yang bisa umat berikan. Beras, gula, teh, apapun yang mereka mampu berikan kami terima. Bukan malah menuntut kenyamanan ini itu seperti anak manja. Bisa kok Bapak telusuri di foto-foto dan dokumen. Atau bertanya pada para saksi hidup. Terlebih setelah kami, anak-anaknya, menjadi dewasa. Ibaratnya, bayar 1 orang tetapi mendapatkan 5 full-timer. Tapi itu juga kami syukuri. Terdengar bodoh dan terlihat miskin ya, Pak. Tapi itulah hamba. Oh, ada lagi yang ingin saya ungkapkan. Cobalah mencari tahu bagaimana ibu saya selama hidupnya mendampingi suami dalam tugasnya.

Seperti saya yang tidak pernah suka dibandingkan dengan para saudara kandung semoga tidak terjadi hal yang sama kepada Bapak di pelayanan ini. Tapi jujur, sewaktu di layar depan ditampilkan grafik yang seakan-akan Bapak tonjolkan sebagai 'prestasi', di situ saya sempat merasa kurang nyaman. Bapak seakan membandingkan diri dengan para pendahulu dan merasa lebih baik. Waktu itu dalam hati saya malah berusaha mencari jawaban dari pertanyaan: apa yang sesungguhnya sedang Bapak kejar dalam pelayanan ini? Kehormatan, keberhasilan, kebanggaan, atau apa, Pak?

Bapak adalah hamba Tuhan, yang sudah disepakati untuk merawat kami, para umat. Walaupun terselip cerita kurang manis di balik penyusunan kesepakatan itu. Saya tetap menghormati Bapak sebagai hamba Tuhan, yakinkanlah hati Bapak. Bapak sendiri secara berulang menyatakan sedang meneladani Yesus. Yesus itu rendah hati, Pak. Yang saya rindukan dari Bapak adalah kerendah-hatian seorang hamba. Kerendah-hatian yang bagaimana? Ini, Pak:
- Rawatlah umat dengan penuh kasih, bukan seperti atasan menguasai dan mengatur karyawannya.
- Bebaskanlah 'utusan' Bapak dari tugas-tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab Bapak. Biarlah dia kembangkan pelayanannya sendiri, memenuhi panggilan Tuhan, lepas dari bayangan Bapak. Bapak dan istri masih sebebas-bebasnya punya waktu dan sumber daya untuk tugas pelayanan di sini.
- Ajarlah umat seperti Tuhan Yesus mengajar: penuh kasih dan hikmat. Jangan melulu mengisi pengajaran Firman Tuhan dengan pembelaan diri, paksaan, ancaman, ataupun ketakutan; ketakutan akan hukuman, ancaman hukuman atas ketidaksetiaan umat, atau pembenaran diri sendiri seorang 'hamba Tuhan' yang seakan malah menjadi 'antikritik'.
- Tolong sederhanakan pengajaran yang Bapak sampaikan. Kalimat-kalimat yang sederhana saja, penyampaian yang sederhana, dan bahasa yang sederhana. Tapi perdalamlah maknanya, untuk umat, demi umat. Saya pribadi sudah sangat merindukan pengajaran mendalam sederhana tersebut. Kadang saya ikut mengais 'makanan rohani' dari hamba Tuhan di luar rumah sendiri demi kecukupan asupan nutrisi.
- Saya akan berusaha bertahan di rumah sendiri. Persekutuan ini tempat saya lahir dan dibesarkan. Perubahan kepemimpinan memang adalah hal biasa di dunia. Persekutuan ini tetap rumah kami, Pak. Tolong rawat dengan sekuat tenaga selama Tuhan tempatkan Bapak di sini.

B: Ibu mengritik hamba Tuhan. Ibu tidak takut dihukum Tuhan karena hal itu?
S: Sepertinya lebih tepatnya 'mengkritisi', Pak.

Kemarin saya membaca Yehezkiel 34, Pak. Tentunya Bapak jauh lebih memahami bagian tersebut. Tanggung jawab Bapak besar sekali ya. Tuhan sendiri yang menilai dalam Bapak melaksanakan tugas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun