Mohon tunggu...
Unique Susetyo
Unique Susetyo Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga, pemerhati semesta

Ibu rumah tangga yang menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggapai Mimpi Belanja Saham Lewat Arisan

4 April 2018   01:30 Diperbarui: 2 Mei 2018   23:46 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: belajarpianoonline.wordpress.com

Sejak baru bisa mengucapkan huruf 'r' saya sudah akrab dengan arisan. Mendiang ibu meneladankan hidup bermasyarakat yang baik lewat partisipasinya di pertemuan ibu-ibu PKK yang berbarengan dengan arisan dasawisma kala itu. Begitu menikah dan belajar hidup mandiri di Cimahi, Jawa Barat, kegiatan bulanan ibu-ibu di komplek perumahan setempat rajin saya sambangi.

Saat itu sekitar tahun 2011, sebelum ada tren dresscode, wefie, instagram, dan berbagai perintilan kekinian lainnya. Kini di komplek tempat tinggal saya arisan ibu-ibu PKK juga masih rajin dilakukan.

Mengapa hingga kini arisan tetap saya ikuti? Karena saya sudah merasakan banyak manfaatnya darinya. Apa saja yang sudah saya dapat? Yang pasti dengan menghadirinya saya bisa menjalin silaturahmi dengan para tetangga.

Bisa jadi bahan pergunjingan bila dalam komplek yang terdiri dari kurleb 20 kepala keluarga kemudian saya mengurung diri di rumah tanpa sekalipun bersosialisasi dengan para tetangga. Apalagi ada dua balita yang ada kalanya bosan bila sepanjang hari diam di dalam rumah. Walaupun sebenarnya saya tipe orang yang sangat betah berdiam di dalam rumah.

Meskipun arisan yang sekarang tidak 'setertib' zaman ibu saya dulu, yang wajib menyanyikan 'Mars PKK', banyak informasi yang bisa didapat melaluinya. Seperti contohnya waktu ada sosialisasi program imunisasi gratis dari pemerintah.

Begitu ada info tersebut saya dengan suami langsung atur jadwal untuk membawa anak-anak ke puskesmas. Karena gratis di puskesmas kami jadi bisa menghemat ratusan ribu rupiah untuk investasi kesehatan anak-anak.

Besaran arisan yang lumayan juga pernah saya manfaatkan untuk menyelesaikan angsuran pembelian kendaraan bermotor. Bila satu komplek ada sekitar 30 peserta arisan, dimana per bulan setor seratus ribu rupiah per orang, lumayan, kan? Kalau mendapat undian di awal putaran bagai mendapat pinjaman tanpa bunga. Bila mendapat undian di akhir putaran seakan mengambil tabungan sendiri.

Setelah sekitar satu setengah tahun pindah domisili saya kembali ikut arisan 'besar' ketika dibuka pendaftaran baru. Dasar ibu-ibu, rasanya setiap kali setor arisan tiap bulannya tak lupa disertai doa supaya bisa segera menang undian. Sambil memupuk angan-angan, akan dibelanjakan apa uang hasil arisan ini.

Awal tahun 2018 ini saya sempat mengunjungi toko alat musik di kawasan Singosaren, Solo. Melihat berbagai alat musik dipajang rapi di toko tersebut membuat saya terkenang akan masa lajang, masa kebebasan memainkan piano di gereja, walaupun masih tergolong 'pemula'.

Masa yang sudah lewat karena kehadiran duo balita seakan mengaktifkan mode 'Pause' pada perjalanan kehidupan bermusik saya (halah, bahasanya..). Dalam sekejap saya tersadar dari lamunan untuk membeli piano dengan hasil arisan, harganya tidak sebanding. Hiks..

Sumber gambar: belajarpianoonline.wordpress.com
Sumber gambar: belajarpianoonline.wordpress.com

Ketika menyusun kembali skala prioritas sempat terpikir untuk mengganti perabot rumah tangga dengan uang hasil arisan. Sempat window shopping (cuci mata di kamar sendiri, mantengin ponsel lihat-lihat beberapa toko online perabot rumah tangga). Sempat juga merencanakan liburan tipis-tipis bersama orangtua. Pokoknya, inginnya mah semua keinginan bisa terbeli dengan uang arisan.

Kenyataannya, apa yang saya lakukan dengan uang arisan yang akhirnya jatuh ke tangan?

Saya serahkan sepersepuluhnya ke gereja. Dalam hal ini saya mempraktikkan khotbah pendeta yang bilang untuk tidak perlu njelimet dalam memberi perpuluhan. Lagipula ini bentuk rasa syukur saya untuk 'rezeki nomplok' dari Tuhan. Meskipun uang tersebut adalah tabungan saya sendiri.

Kemudian saya mengangsur biaya pendaftaran sekolah untuk si sulung. Tahun ini dia masuk Taman Kanak-Kanak (TK). Biaya masuk sekolahnya sepersekian dibanding biaya sekolah di Bandung, bisa diangsur pula. Bersyukur ya bisa menikmati kemudahan hidup di kota seperti Wonogiri. Hehe..

Begitu uang arisan diterima, demi keamanan maka saya simpan tunai tersebut ke bank. Tapi bukan berarti uang masuk rekening kemudian bisa aman tersimpan. Di ponsel saya terpasang aplikasi i-banking yang siap menguras isi rekening sendiri. Wkwkw..

Tetap saja saya dan suami aktif berkoordinasi mengatur subsidi silang antar rekening kami demi kelancaran operasional rumah tangga (kalimat saya bisa dimengerti tentunya, qiqiqi..). Artinya, dana di rekening tetap saja terpakai untuk keperluan sehari-hari.

Sebelum dana yang ada jadi raib tak berbekas akhirnya saya membelanjakannya untuk mewujudkan satu cita-cita lama yaitu membeli perusahaan. Saya belanja saham, Sodara. Cita-cita bertahun lalu yang akhirnya tercapai kini.

Cerita lengkap mengenai saham ini mungkin akan saya urai di lain tulisan. Sekarang malah saya jadi bertanya-tanya sendiri; mengapa ya baru sekarang merealisasikan belanja saham ini? Kenapa tidak dari dulu. Tapi kemudian bila saya runut, ada banyak faktor penyebabnya, diantaranya sebagai berikut:

1. Beberapa tahun belakangan ini pemerintah gencar mempromosikan kesempatan 'investasi di negeri sendiri', terutama untuk kaum muda generasi yang lahir di tahun 2000an. Artinya, generasi tahun 80-an seperti saya harus pro aktif mengejar sendiri ketertinggalan informasi itu.

2. Antara tidak ada pembahasan mendalam mengenai saham atau memang saya yang bolos waktu ada materi tersebut di masa sekolah/kuliah dulu.

3. Karena kurang informasi tadi menjadikan saya di awal bekerja tidak menempatkan investasi saham di skala prioritas mengelola pendapatan. Investasi dipandang terbatas pada pekerja berpenghasilan besar. Ini jadi terkat juga dengan poin nomor 1 di atas. Karena pemerintah sedang gencar berpromosi maka baru sekarang pintu kesempatan berinvestasi lebih lebar terbuka.

Awalnya saya penasaran dengan mereka yang bekerja di 'saham'. Kok bisa ya hidup dari saham? Kok enak ya tidak harus ke kantor setiap hari? Bertanya ke teman pun hanya berbalas jawaban yang belum memuaskan keingintahuan saya. Kemudian ada iklan 'Yuk Nabung Saham'. Katanya bermodalkan seratus ribu rupiah saja sudah bisa menabung saham.

Dari iklan itulah saya cari tahu lebih banyak mengenai saham. Saya lantas membeli bukunya (tentu saja yang diperuntukkan bagi pemula) dan membacanya sampai selesai dalam waktu singkat karena memang mudah dipahami. Saya ikuti komunitas Investor Saham Pemula di media sosial dan bergabung di grup aplikasi WhatsApp. Kemudian saya membuka akun di sekuritas dan mengikuti petunjuk yang diberikan. Saya kerjakan sebagian besar prosesnya dari ponsel.

(tokopedia.com)
(tokopedia.com)
Dunia saham jadi seperti dunia baru bagi saya yang perlu dieksplor lebih dalam. Ada antusiasme yang merekah untuk kembali mempelajari hal baru. Apalagi bagi fulltimerhousewife semacam saya. Biar rada keren dikit, ibu rumah tangga tidak melulu bicara tentang mengasuh anak yang semakin ke sini kian njelimet aturan-aturannya. Biar dipuji suami karena 'cerdas' mengelola keuangan rumah tangga.

Kini saya hanya perlu sabar menanti hasil dari apa yang ditabur. Sabar, untuk menuai hasil pada 5, 10, atau mungkin belasan tahun ke depan. Tentu saja sambil terus belajar dan rajin menabung saham. Sambil tetap rajin hadir arisan.

Mimpi apa lagi ya yang ingin direalisasikan? Siapa tahu kelak bisa ikut pesawatnya om Elon Musk, bolak-balik ke Mars atau bulan. Cukup gak ya pake uang arisan? Arisan dimana ya enaknya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun