Mohon tunggu...
Jejak Pena Yuni
Jejak Pena Yuni Mohon Tunggu... Penulis - Blogger, Buzzer, Culinary, Content Writer

Blogger, Buzzer, Culinary, Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perkembangan Kereta Api dari Masa ke Masa, dari Kereta Ekonomi hingga Whoosh

30 Oktober 2024   11:32 Diperbarui: 30 Oktober 2024   11:40 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang kereta, rasanya moda transportasi yang satu ini memiliki kenangan tersendiri bagi saya. Sejak tahun 1995, saya sudah memanfaatkan kereta untuk bepergian dari Blitar ke Malang. Demikian sebaliknya. Dari jamannya saya masih sekolah di SMA 1 Blitar, hingga melanjutkan kuliah di Universitas Brawijaya Malang, kereta sudah menjadi transportasi yang digemari masyarakat pada umumnya.

Cerita Kereta Jaman Dulu

Saya masih ingat bagaimana saya harus berangkat ke stasiun setelah shubuh, lalu ikut antri membeli tiket didepan loket. Dan bukan satu dua orang yang ngantri, namun antrian itu memanjang seperti ular. Setelah mendapatkan tiket, saya tunjukkan ke petugas, barulah saya bisa masuk. Kalau kereta itu berangkatnya dari Blitar, saya masih bisa santai mencari tempat duduk. 

Namun jika kereta itu dari Tulungagung atau Kertosono, saya harus ikut berjejer dengan calon penumpang persis di dekat rel sambil menunggu kereta datang. Begitu kereta datang, saya pun ikut berlari mencari kursi yang kosong. 

Kereta jaman dulu, jendelanya bisa dibuka tutup. Saat jendela terbuka itulah saya bisa melempar tas saya, berharap tempat duduk yang saya lempari tas itu tidak diduduki penumpang lain. 

Namun jika saya kalah berebut, sementara kondisi kursi penuh penumpang, maka saya harus bisa menerima kenyataan, sepanjang perjalanan dari Blitar ke Malang hanya berdiri di depan kamar mandi, atau di lorong kereta.

Yang paling mengganggu saat pagi hari, dimana saya harus berangkat bersama para pedagang ayam. Mereka biasanya membawa ayam dagangannya yang masih hidup didalam kereta. Bahkan, ada ayam mereka yang lepas dari talinya dan berlarian di antara deretan kursi penumpang. Sontak para penumpang, termasuk saya berteriak ketakutan. 

Takut kalau ayam itu lompat ke kursi penumpang. Belum lagi kalau kondisi kereta penuh. Banyak penumpang yang terpaksa berdiri, memadati lorong kereta, disitulah kesempatan para pencopet untuk melakukan aksinya. Mereka yang merasa kecopetan lalu teriak sekencang-kencangnya, selanjutnya terjadi aksi kejar-kejaran yang menghebohkan penumpang. Nyatanya pencopet lebih pandai, ia memanfaatkan setiap stasiun pemberhentian untuk berlari menghilangkan jejak.

Belum lagi teriakan pedagang asongan yang menjajakan dagangannya didalam kereta. Sementara dari pihak KAI sendiri belum menyediakan tempat sampah, akhirnya kondisi kereta menjadi kotor, dipenuhi sampah bungkus makanan yang dibuang oleh penumpang secara sembarangan.

Dengan harga tiket yang murah meriah untuk perjalanan dari Blitar ke Malang kala itu, kereta api lah satu-satunya transportasi yang digemari masyarakat, meski mereka tahu persediaan tempat duduk habis. Dengan harga empat ribu rupiah, mereka pun rela berdiri berjam-jam di lorong kereta, atau bersandar pada besi tempat duduk, yang penting mereka bisa bepergian keluar kota.

Saat itu memang kereta ekonomi "Penataran" menjadi primadona masyarakat ekonomi kebawah. Bahkan saya pun sempat berangan, kapan ya kereta ekonomi "Penataran" ini bisa diperbaiki? Minimal penumpangnya dibatasi, agar tidak terjadi penumpukan penumpang di lorong kereta yang berakibat banyaknya aksi pencopetan.

Dengan kata lain jumlah penumpang yang berada didalam gerbong disesuaikan dengan ketersedian tempat duduk. Lalu penertiban pedagang asongan agar kondisi kereta tetap rapi dan bersih, serta ketentuan barang bawaan penumpang. Penumpang yang ingin memanfaatkan kereta api untuk bepergian setidaknya jangan sampai membawa binatang hidup atau barang-barang yang mengganggu penumpang lain.

Lama Tidak Memanfaatkan Moda Transportasi Kereta Api

Tahun 2003 saya menikah lalu mengikuti suami yang berdinas di Jayapura, Papua. Sejak saat itu saya tidak bisa memanfaatkan kereta api untuk bepergian. Di Papua dan beberapa propinsi yang terletak di luar Jawa memang belum tersedia fasilitas yang mendukung operasional kereta api. 

Selain kondisi alam yang belum memungkinkan, seperti Papua yang kebanyakan dipenuhi hamparan hutan dan lautan, rasanya butuh pertimbangan untuk membuat rel kereta api yang dapat menghubungkan antara satu pulau dengan pulau lain.

Sepuluh tahun tinggal di Papua, setelahnya saya kembali mengikuti suami yang berpindah tugas ke Bali di tahun 2013. Di Bali pun masih sama, tidak ada stasiun. Kalau pun ingin naik kereta saya harus ke Banyuwangi, itu pun jadwalnya tidak sesuai harapan. Artinya saya harus mencari penginapan dulu di Banyuwangi jika ingin bepergian dengan kereta api.

Namun bukan berarti saya tidak mengikuti perkembangan perkeretaapian. Melalui internet saya jadi tahu adanya commuter line. Bahkan kereta ekonomi "Penataran" yang kondisinya mengenaskan, kini berubah menjadi commuter line Dhoho - Penataran, yang kondisinya jauh lebih bagus. 

Kembali Menikmati Moda Transportasi Kereta Api

Tahun 2021, suami dipindahtugaskan ke Bogor. Meski saya masih tinggal di Bali karena menemani anak yang melanjutkan sekolahnya, namun saya masih mengikuti perkembangan kereta api dari cerita suami. Sejak kepindahan tugasnya di Bogor, ia sering memanfaatkan KRL (Kereta Rel Listrik) saat harus ke Jakarta, demikian sebaliknya.

 KRL dioperasikan oleh PT. Kereta Commuter Indonesia, anak perusahaan PT. KAI (Persero) yang menggunakan tenaga listrik sebagai sumber daya utama. Dan KRL ini melayani rute komuter di wilayah Jabodetabek dan lintasan Yogyakarta - Solo. Untuk membayar tiket KRL, pengguna dapat memanfaatkan Kartu Multi Trip (KMT), Uang Elektronik Bank, atau pembayaran lewat QR-Code.

Dan di tahun 2023, saya akhirnya bisa pulang ke Blitar, setelah anak melanjutkan kuliahnya di Malang. Sejak saat itu saya kembali memanfaatkan kereta api untuk bepergian. Untuk jarak dekat biasanya saya memanfaatkan kereta ekonomi commuter line Dhoho - Penataran yang harga tiketnya Rp. 12.000. Dimana kondisi kereta ini kini jauh lebih bagus.

 Penumpang cukup memanfaatkan aplikasi Access by KAI untuk membeli tiket. Tidak perlu di printout, cukup ditunjukkan screenshot tiket dan tanda pengenal saat akan memasuki peron. Ketersediaan tempat duduk pun juga bisa diketahui dari aplikasi, sehingga tidak lagi terjadi  penumpukan penumpang dan berdiri di lorong. Pedagang asongan juga tidak ada, digantikan oleh pramugara dan pramugari kereta yang berjalan menawarkan aneka makanan dan minuman. 

Sampah-sampah juga tidak terlihat berserakan, karena setiap tempat duduk disediakan kantong sampah. Bahkan petugas kebersihan juga mondar mandir mengambil sampah penumpang yang penuh dan digantikan dengan kantong sampah baru. Kamar mandi juga demikian, terlihat bersih dan lebih bagus, membuat penumpang makin betah memanfaatkan kereta api untuk bepergian.

Bukan hanya kereta ekonomi commuter line Dhoho - Penataran saja yang bisa membawa penumpang bepergian dari Blitar ke Malang atau sebaliknya. Saya pun memanfaatkan tiket promo dari kereta antar kota seperti Gajayana, Malabar, Majapahit dan sebagainya. 

Biasanya tarif tiket promo ini berkisar antara Rp. 50.000 - Rp. 80.000. Dan tiket ini tersedia di aplikasi satu jam sebelum jadwal keberangkatan kereta. Tentunya ini makin memanjakan penumpangnya.

Selain ke Malang, saya juga seringkali memanfaatkan kereta api untuk bepergian ke Jakarta dan Bandung. Jika ke Jakarta saya pernah naik kereta Brantas, Singasari, Gajayana, Brawijaya, Majapahit dan Matarmaja, maka saat ke Bandung saya memanfaatkan kereta Parahyangan. 

Sekali waktu saya mencoba naik kereta Brawijaya Priority yang fasilitasnya mewah. Di jakarta pula saya menyempatkan diri mencoba naik LRT (Light Rail Transit), orang bilang kereta hantu karena tidak ada masinisnya. 

dokpri (naik LRT)
dokpri (naik LRT)

Bahkan saya sudah mencoba berbagai tempat duduk, dari ekonomi yang hadap-hadapan duduknya sampai eksekutif. Bersyukurnya saat ini Majapahit sudah New Generation. 

Bahkan Singasari dan Brantas juga sudah New Generation, sehingga tidak ada lagi kursi yang berhadapan, meski posisi kursi ini bisa diputar sesuai keinginan penumpang. Kereta cepat Whoosh pun sudah pernah saya coba, meski belum sampai naik kereta feeder. 

dokpri (Stasiun Gambir)
dokpri (Stasiun Gambir)

dokpri (naik kereta ekonomi Parahyangan)
dokpri (naik kereta ekonomi Parahyangan)

dokpri (naik kereta cepat Whoosh)
dokpri (naik kereta cepat Whoosh)

Kemajuan KAI Yang Begitu Pesat Dibawah Pimpinan Bapak Didiek Hartantyo

KAI memang luar biasa kemajuannya, membuat penumpangnya makin puas. Wajar saja jika penjualan tiket kereta ini laris manis. Terlebih menjelang hari raya dan libur sekolah. Salut dengan kepemimpinan Bapak Didiek Hartantyo, yang selalu berinovasi untuk kemajuan PT. KAI (Persero). 

Saya makin betah memanfaatkan kereta api untuk bepergian. Tempat duduk yang lapang, bisa dimundurkan, kondisi kereta yang bersih, kamar mandi yang terjaga kebersihannya, pramugari-pramugara yang ramah menawarkan makanan dan minuman, Petugas OTC (On Train Cleaning) yang sigap, membuat perjalanan saya selalu terkesan.

Harapan saya semoga apa yang sudah bagus ini bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan. Jangan sampai terjadi aksi pencurian barang dalam kereta. Kalau pun ada barang penumpang yang tertinggal, petugas harus sigap mengamankan atau menyampaikan ke bagian informasi, sehingga barang tersebut bisa kembali ke pemiliknya.

Dan yang masih menjadi ganjalan adalah kereta api Matarmaja jurusan Malang - Jakarta atau sebaliknya. Adakah kemungkinan akan berganti ke New Generation? Mengingat kereta ini termasuk kereta jarak jauh yang paling lama beroperasi. 

Meski sampai saat ini masih diminati masyarakat, setidaknya demi kenyamanan penumpang, akan lebih baik jika Matarmaja berubah ke New Generation. Soal tarif saya rasa masih wajar. 

Seperti kereta ekonomi Brantas New Generation yang kini tarifnya Rp. 300.000, nyatanya tiket kereta ini juga diburu para penumpang yang bepergian jauh. Dengan kondisi kursi atau tempat duduk yang nyaman, pastinya antusias penumpang makin banyak memanfaatkan tiket kereta ekonomi yang murah meriah.

dokpri
dokpri

Terlebih saat menjelang weekend atau long weekend, penumpang yang akan mudik selalu memadati stasiun. Bahkan untuk berburu tiket kereta pun harus dilakukan sebulan sebelumnya. Terbukti dengan kereta New Generation Majapahit. 

Tiket kereta ini selalu saja habis terjual saat weekend tiba. Dengan rute Malang - Jakarta (Pasar Senen), penumpang sudah terlihat penuh saat sampai stasiun Blitar, dengan rata-rata tujuan mereka ke Jakart. Ini menandakan bahwa yang dibutuhkan masyarakat adalah moda transportasi yang aman, nyaman dan murah meriah.

Dengan inovasi yang berkelanjutan, niscaya KAI akan terus maju dalam dunia transportasi. Harus imbang antara keduanya, memperhatikan kesejahteraan karyawan dan kenyamanan penumpang kereta api. Jika keduanya berjalan beriringan, niscaya KAI siap menyongsong masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun