Sudah hampir sebulan saya selalu memikirkan rangkaian kalimat pedas yang dituliskan adik saya melalui whatsapp. Kalimat panjang yang bila diuraikan dalam satu rangkaian bisa satu halaman folio itu membuat saya menyayangkan akan sikapnya. Ternyata usia bukan patokan untuk melihat kedewasaan seseorang.
Semuanya berawal dari pinjol yang gagal bayar. Saya tidak tahu berapa banyak dia meminjam dana ke oknum pinjol itu. Yang jelas ketika dia tidak sanggup melunasi hutang-hutangnya, lalu terbersit untuk meminta jatah rumah yang saat ini ditinggalinya bersama ibu. Dia ingin menjual rumah itu dengan harapan hasil penjualan rumah itu bisa digunakan untuk melunasi hutang pinjolnya.
Saya, anak pertama dari dua bersaudara. Ayah saya meninggal sudah puluhan tahu silam, sejak saya masih kelas 1 SMA, sedang adik saya masih kelas 1 SMP. Sementara rumah yang kami tinggali adalah rumah milik ayah saya, bukan gono gini dengan ibu saya. Dan entahlah saya pun tidak tahu ceritanya. Sejak saya berumur 7 tahun ayah saya telah membuat surat wasiat tentang rumah itu, lalu membuat hibah dan akhirnya terbitlah sertifikat rumah atas nama saya.
Kehidupan pun berubah drastis sejak kami menikah dan memiliki pasangan hidup masing-masing. Saya bersuamikan seorang anggota TNI yang dinasnya berpindah-pindah. Sementara adik saya bersuamikan seorang pengangguran, yang tiap diajak kerjasama membangun bisnis selalu saja gagal ditengah jalan. Sedangkan rumah itu masih ditinggali ibu saya dan keluarga adik saya.
Dari segi pola asuh sebenarnya kami tidak dibedakan. Kami sama-sama lulusan universitas negeri dan bergelar sarjana. Namun saya hanyalah ibu rumah tangga biasa yang mengembangkan hobi sebagai blogger. Sementara adik saya bekerja di sebuah leasing, lalu dipecat karena kesalahpahaman, hingga akhirnya menjalankan bisnis online bersama suaminya.
Lalu ibu saya, dari dulu beliau adalah pekerja keras. Meski hanya ibu rumah tangga, tetapi beliau mendapatkan penghasilan dari pensiunan polisi almarhum ayah, lalu berusaha mencari penghasilan tambahan dari jasa jual beli sepeda bekas, terima kos di rumah, juga jualan sembako untuk melayani kebutuhan para tetangga. Bahkan lahan yang kosong pun ditanami buah-buahan lalu hasilnya dijual untuk menambah penghasilan. Inilah yang membuat kami berdua bisa meraih gelar sarjana.
Sejak suami adik saya tidak bekerja, dan hidup bermalas-malasan itu membuat ibu saya sering marah. Rumah yang terlalu luas dan butuh perawatan ekstra itulah yang membuat ibu harus membersihkannya tiap hari. Meski rumah itu berstatus milik saya, tapi ibu merasa banyak kenangan tersimpan didalamnya bersama almarhum ayah. Bahkan beliau tidak ada niatan untuk menjualnya. Mengingat barang-barang peninggalan ayah masih banyak, sementara bangunan rumah itu termasuk bangunan lama karena dibangun sekitar tahun 1960.
Secara pribadi saya memang tidak pernah mempunyai niat untuk memiliki rumah itu, meski sertifikat sudah atas nama saya. Namun demi membahagiakan ibu, saya dan suami selalu menyisihkan dana untuk merenovasi rumah ibu. Rumah itu perlahan kami perbaiki, mulai dari mengganti keramik, menambal tembok yang rapuh, mengganti atap dan genteng, terakhir mengecat bagian luar agar tampak rapi dan indah dipandang.
Bahkan, saya pun masih hidup berpindah-pindah mengikuti dinas suami. Mulai dari Jayapura, Bali, Bogor, dan kini Jakarta. Sementara anak saya sedang menempuh kuliah di Malang. Lalu saya pun membangun gudang untuk menyimpan barang saya sementara waktu, sembari menunggu suami pensiun nantinya. Sedang anak saya, bila liburan ia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung dan menginap di rumah itu.
Namun yang terjadi akhir-akhir ini adik saya melontarkan kalimat pedas layaknya sebuah fitnah kejam yang sampai saat ini sulit saya lupakan. Dia bilang saya anak haramlah, dia bilang saya yang membuat rezekinya susah, dia bilang saya yang menghabiskan dana pendidikannya. Harusnya saya cukup sekolah sampai lulus SMA saja, dan dia yang berhak sekolah sampai S2. Dia bilang saya yang menuntut ibu untuk merayakan pesta pernikahan saya besar-besaran dan menghabiskan dana banyak. Sementara dia harus mengalah demi saya. Dia bilang saya lulus kuliah minta nikah dengan seorang anggota TNI, padahal untuk masuk menjadi anggota TNI harus membayar uang suap. Astaghfirullah...sungguh saya pun tidak bisa membendung airmata ini. Tuduhan yang dilontarkan melalui whatsapp itu sama sekali tidak benar.
Dia bilang saya anak haram, padahal belum tanya kebenarannya kepada ibu saya. Saya juga anak sah ibu dan bapak saya dan sudah dibuktikan melalui surat nikah dan akta lahir. Kalau bukan anak ayah saya mengapa beliau membuat surat wasiat dan menyerahkan rumah beserta isinya kepada saya? Lalu dia yang menuduh saya membuat rezekinya suram, saya harusnya hanya lulus SMA saja ini benar-benar membuat saya sakit hati. Saya kuliah juga sambil kerja, bahkan beberapa kali mengerjakan skripsi teman tugas belajar, lalu mengajar di lembaga komputer, bahkan pernah mendapatkan beasiswa supersemar kala itu. Penghasilan saya pun juga saya bagi dengan adik. Begitu lulus kuliah saya bekerja di sebuah perusahaan swasta di Sidoarjo selama 2 tahun, itupun saya juga masih berbagi penghasilan untuk membiayai kuliahnya. Lalu status suami saya yang dia bilang masuk TNI karena membayar suap itu juga tidak benar. Suami saya murni ketrima menjadi anggota TNI pyur karena serangkaian tes yang diikutinya dan dinyatakan lulus. Sungguh kalimat yang dilontarkan adik saya membuat hubungan kami akhirnya merenggang, karean dia tidak mengakui saya sebagai kakanya, dia beraggapan saya bukan anak ayah saya melainkan anak pacar ibu saya.
Sedih rasanya melihat kenyataan ini. Hanya gara-gara pinjol dan desakan suaminya dia tega memutus silaturahmi dengan saudara kandungnya, bahkan tega menyakiti hati ibu saya yang melahirkannya. Bahkan terakhir dia mengancam saya akan berbuat semaunya di rumah itu, akan mengotori rumah itu, kalau saya tidak memberinya bagian, minimal uang dari hasil penjualan rumah itu.
Sumpah...inilah yang membuat hati saya sedih berkepanjangan. Saya sudah membicarakannya dengan ibu, tapi beliau kekeh tetap mempertahankan rumah sebagai peninggalan almarhum ayah. Bahkan beliau tidak ikhlas bila rumah dijual hanya untuk memenuhi keinginan menantunya yang pengangguran.
Sementara sang menantu, dengan tidak ada rasa malu sedikit pun juga masih menetap di rumah kami bersama anak dan adik saya. Membantu merawat rumah pun tidak mau. Yang ada selalu minta makan ke ibu, menghabiskan masakan ibu. Bangun pagi pun tidak pernah, selalu bermalas-malasan. Sedangkan adik saya lebih percaya ke suaminya ketimbang ibunya sendiri. Akibatnya ibu pun bermusuhan dengan suami saya.
Bayangkan saja, adik saya yang kini bekerja di perusahaan rokok, sementara dia di rumah sambil menemani anaknya, sesekali ditinggal pergi sampai siang tanpa pamit akan pergi kemana. Dia juga yang mengganti peran istrinya mencuci baju lalu menyetrikanya. Pernah saya sarankan untuk menjadi juru parkir katanya seperti pengemis. Saya sarankan untuk gabung dengan ojek online atau tukang bangunan katanya tidak terbiasa, yang akhirnya hanya diam di rumah sementara ibu saya dengan tenaganya yang makin tua harus sendirian merawat rumah tanpa ada sedikit pun iba darinya untuk membantu meringankan pekerjaan ibu.
Barangkali ini adalah aib keluarga kami, tapi semakin saya pendam rasanya malah membuat saya sakit hati. Terlebih akan tuduhan yang tidak benar ini. Saya sama sekali tidak ada niatan untuk menguasai rumah peninggalan ayah. Saya bahkan sudah berencana mengumpulkan uang untuk membelikan KPR, tapi rupanya adik saya ini sudah kemakan bujukan suaminya untuk menuntuk warisan.Â
Sudah ratusan juga tabungan saya raib hanya demi mencarikan penghasilan suami adik saya. Mulai dari membuatkan bisnis ekspedisi sampai bisnis jasa fotografi. Semuanya tidak membuahkan hasil. Uang saya habis, bahkan belakangan ini saya pun harus membiayai kukiah anak semata wayang kami di Malang, lalu suami yang juga butuh dana untuk biaya pendidikannya di Bandung, belum lagi tugasnya yang berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Jelas ini menguras tabungan saya. Kalau tiba-tiba saya dituntut uang sekian ratus juta untuk membayar jatah warisan adik saya, tentu belum mampu. Andaipun rumah dijual belum tentu laku mahal karena model rumah bangunan lama, sudah pasti taksiran harganya pun menurun. Dan kalau benar-benar dijual dengan harga seadanya, lalu uang hasil penjualan rumah dibagi dua, apakah kami mampu membeli rumah lagi yang bisa menampung barabg-barang peninggalan bapak yang banyak ini?
Inilah yang tetap menjadi ganjalan di hati saya, adik saya lebih membela suaminya yang pengangguran ketimbang ibu kandungnya sendiri, dan rela meusuhi saudara kandungnya demi mendapatkan harta. Dan wajar kan bila hubungan menantu dan mertua akhirnya tidak baik-baik saja. Terlebih tuduhan pedas adik saya ke ibu yang seolah-olah ibu mempunyai hubungan terlarang dengan lelaki lain selain suaminya. Padahal ini jelas tuduhan salah. Entah setan apa yang merasuki jiwanya hingga dia tega melontarkan kalimat itu.
Kini...meski satu rumah, kebetulan saya sedang menemani ibu, kami tidak tegur sapa. Saya berupaya menyembuhkan luka batin atas tuduhan itu. Saya juga menunggu iktikat baik dia untuk bicara baik-baik dengan saya, yang rupanya tidak juga dilakukannya. Semoga berjalannya waktu ada solusi terbaik untuk saya pribadi dan kami sekeluarga.
Saya sadar semua ini adalah skenario Allah. Mungkin beginilah cerita kehidupan saya, saya dituntut sabar dan ikhlas untuk menerima semuanya. Semoga kompasianer tidak diberikan alur kehidupan yang seperti saya ya. Alangkah baiknya kita bisa menjalin hubungan baik antar keluarga. Terlebih antara menantu dan mertua sebaiknya tercipta hungungan yang harmonis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H