Mohon tunggu...
Jejak Pena Yuni
Jejak Pena Yuni Mohon Tunggu... Penulis - Blogger, Buzzer, Culinary, Content Writer

Blogger, Buzzer, Culinary, Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berebut Warisan Imbas dari Perseteruan Menantu dan Mertua

18 Mei 2024   09:18 Diperbarui: 18 Mei 2024   09:47 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedih rasanya melihat kenyataan ini. Hanya gara-gara pinjol dan desakan suaminya dia tega memutus silaturahmi dengan saudara kandungnya, bahkan tega menyakiti hati ibu saya yang melahirkannya. Bahkan terakhir dia mengancam saya akan berbuat semaunya di rumah itu, akan mengotori rumah itu, kalau saya tidak memberinya bagian, minimal uang dari hasil penjualan rumah itu.

Sumpah...inilah yang membuat hati saya sedih berkepanjangan. Saya sudah membicarakannya dengan ibu, tapi beliau kekeh tetap mempertahankan rumah sebagai peninggalan almarhum ayah. Bahkan beliau tidak ikhlas bila rumah dijual hanya untuk memenuhi keinginan menantunya yang pengangguran.

Sementara sang menantu, dengan tidak ada rasa malu sedikit pun juga masih menetap di rumah kami bersama anak dan adik saya. Membantu merawat rumah pun tidak mau. Yang ada selalu minta makan ke ibu, menghabiskan masakan ibu. Bangun pagi pun tidak pernah, selalu bermalas-malasan. Sedangkan adik saya lebih percaya ke suaminya ketimbang ibunya sendiri. Akibatnya ibu pun bermusuhan dengan suami saya.

Bayangkan saja, adik saya yang kini bekerja di perusahaan rokok, sementara dia di rumah sambil menemani anaknya, sesekali ditinggal pergi sampai siang tanpa pamit akan pergi kemana. Dia juga yang mengganti peran istrinya mencuci baju lalu menyetrikanya. Pernah saya sarankan untuk menjadi juru parkir katanya seperti pengemis. Saya sarankan untuk gabung dengan ojek online atau tukang bangunan katanya tidak terbiasa, yang akhirnya hanya diam di rumah sementara ibu saya dengan tenaganya yang makin tua harus sendirian merawat rumah tanpa ada sedikit pun iba darinya untuk membantu meringankan pekerjaan ibu.

Barangkali ini adalah aib keluarga kami, tapi semakin saya pendam rasanya malah membuat saya sakit hati. Terlebih akan tuduhan yang tidak benar ini. Saya sama sekali tidak ada niatan untuk menguasai rumah peninggalan ayah. Saya bahkan sudah berencana mengumpulkan uang untuk membelikan KPR, tapi rupanya adik saya ini sudah kemakan bujukan suaminya untuk menuntuk warisan. 

Sudah ratusan juga tabungan saya raib hanya demi mencarikan penghasilan suami adik saya. Mulai dari membuatkan bisnis ekspedisi sampai bisnis jasa fotografi. Semuanya tidak membuahkan hasil. Uang saya habis, bahkan belakangan ini saya pun harus membiayai kukiah anak semata wayang kami di Malang, lalu suami yang juga butuh dana untuk biaya pendidikannya di Bandung, belum lagi tugasnya yang berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Jelas ini menguras tabungan saya. Kalau tiba-tiba saya dituntut uang sekian ratus juta untuk membayar jatah warisan adik saya, tentu belum mampu. Andaipun rumah dijual belum tentu laku mahal karena model rumah bangunan lama, sudah pasti taksiran harganya pun menurun. Dan kalau benar-benar dijual dengan harga seadanya, lalu uang hasil penjualan rumah dibagi dua, apakah kami mampu membeli rumah lagi yang bisa menampung barabg-barang peninggalan bapak yang banyak ini?

Inilah yang tetap menjadi ganjalan di hati saya, adik saya lebih membela suaminya yang pengangguran ketimbang ibu kandungnya sendiri, dan rela meusuhi saudara kandungnya demi mendapatkan harta. Dan wajar kan bila hubungan menantu dan mertua akhirnya tidak baik-baik saja. Terlebih tuduhan pedas adik saya ke ibu yang seolah-olah ibu mempunyai hubungan terlarang dengan lelaki lain selain suaminya. Padahal ini jelas tuduhan salah. Entah setan apa yang merasuki jiwanya hingga dia tega melontarkan kalimat itu.

Kini...meski satu rumah, kebetulan saya sedang menemani ibu, kami tidak tegur sapa. Saya berupaya menyembuhkan luka batin atas tuduhan itu. Saya juga menunggu iktikat baik dia untuk bicara baik-baik dengan saya, yang rupanya tidak juga dilakukannya. Semoga berjalannya waktu ada solusi terbaik untuk saya pribadi dan kami sekeluarga.

Saya sadar semua ini adalah skenario Allah. Mungkin beginilah cerita kehidupan saya, saya dituntut sabar dan ikhlas untuk menerima semuanya. Semoga kompasianer tidak diberikan alur kehidupan yang seperti saya ya. Alangkah baiknya kita bisa menjalin hubungan baik antar keluarga. Terlebih antara menantu dan mertua sebaiknya tercipta hungungan yang harmonis.

saya dan adik semasa kecil (dokpri)
saya dan adik semasa kecil (dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun