"Jangan dimarahi ah, nanti malah ngelawan!"
Selalu kalimat ini yang diucapkan suami ketika ia mengetahui aku sedang memarahi Fawaz, anak semata wayangku. Sebagai seorang ibu, kadang emosiku suka meledak manakala melihat Fawaz melakukan sesuatu di luar keinginanku. Dan benar saja, ketika aku memarahi Fawaz, bukannya ia diam menurut arahanku, namun malah melawan. Tak jarang ia sering menimpali amarahku dengan teriakan yang membuatku makin emosi.
Ucapan suamiku ternyata benar adanya. Namanya anak, tidak sepenuhnya bisa mengikuti keinginan ibunya. Ketika anak melawan belum tentu ia sepenuhnya salah. Tugas orang tualah yang harus meluruskan. Bukan dengan nada tinggi atau emosi, melainkan dengan kalimat lemah lembut disertai dengan contoh-contoh yang baik.Â
Pengalaman inilah yang membuatku banyak belajar bagaimana mendidik anak dengan baik. Dulu aku sering marah-marah ketika Fawaz tidak mau mandi pagi, tidak mau pergi mengaji atau saat dia membuang sampah sembarangan. Namun, ketika amarahku meledak, bukannya dia diam seraya mengakui kesalahannya, melainkan menimpali amarahku dengan membanting barang atau bahkan teriak kencang.
Hal serupa juga terjadi saat Fawaz beranjak dewasa, dimana aku dan suami harus menjalani "Long Distance Marriage" karena suami dipindahtugaskan ke kota lain.Â
Amarahku kembali meluap ketika ia pulang larut malam, atau bangun kesiangan. Bukannya mengakui kesalahannya, lagi-lagi Fawaz kembali berkata dengan nada lantang seolah mengeluarkan seluruh amarahnya.
Sebagai ibu, jelas rasanya ingin menangis. Dan hanya kepada suami-lah tempatku mengadu, meski saat itu hanya bisa kulakukan melalui handphone. Sekali lagi, suamiku hanya berkata, "jangan marahi anakmu, nanti malah ngelawan!"
Dari beberapa kejadian ini akhirnya aku berupaya mengubah kebiasaanku yang suka marah-marah. Kalau Fawaz minta sesuatu yang sekiranya aku belum bisa memenuhinya, aku tidak memberinya janji, namun memberinya pengertian bahwa aku belum bisa membelikannya. Tentunya dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang masuk akal.
Pun juga saat ia bangun kesiangan, aku berusaha membangunkannya dengan lemah lembut, lalu memberinya sedikit pengertian supaya tidak bangun kesiangan lagi. Ketika ia pulang larut malam, atau pergi lama namun tidak ijin aku, aku kembali memberinya pengertian dengan beberapa alasan yang masuk akal.
Rupaya apa yang kulakukan membuahkan hasil. Meski perubahan sikap Fawaz tidak terlihat drastis, namun sedikit demi sedikit ia mulai berubah. Bahkan aku pun dianggapnya teman curhat kala kami berdua sedang berada di rumah.Â
Memang, memiliki anak lelaki yang beranjak remaja itu gampang-gampang susah. Meski ia masih menjadi tanggungan kita, bukan berarti kita mengekangnya. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Anak yang merasa dikekang kemungkinan ia akan berbuat nekat diluar sepengetahuan orang tuanya.
Ketakutanku sebagai seorang ibu seringkali beralasan. Pasalnya teman-teman Fawaz beragam. Ia termasuk anak yang mudah bergaul dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ada yang suka merokok, ada yang mendapatkan fasilitas mewah dari orang tuanya, ada yang hobi nongkrong, bahkan ada yang hobi bolos sekolah.Â
Aku takut Fawaz kena pengaruh buruk di luar sana. Namun, aku berusaha memberinya pengertian, Fawaz boleh bergaul dengan siapapun, namun jangan sampai terpengaruh oleh kebiasaan buruk teman-teman yang kurang baik. Alangkah baiknya Fawaz bisa memberikan contoh baik kepada teman-teman agar mereka mau meninggalkan kebiasaan buruknya.
Selalu kalimat itu yang  kutanamkan kepada Fawaz setiap hari. Selain itu aku juga memberinya pengertian untuk senantiasa taat menjalankan sholat lima waktu. Dengan sholat, hati tenang dan kita dituntun untuk senantiasa berbuat baik.Â
Nah moms....belajar tentang kehidupan itu memang tidak ada sekolahnya, melainkan kita dapat belajar dari pengalaman hidup. Pengalaman berkeluarga, lalu mendidik anak, tentu menjadi sebuah pelajaran berharga yang bisa kita tularkan kepada orang lain.Â
Aku pun banyak  belajar dari kisah teman-teman Fawaz, dimana beberapa waktu lalu saat kami pindahan dari Bali ke Blitar, beberapa teman Fawaz ikut ke Blitar untuk liburan.
Aku senang bisa mengajak serta mereka ke kampung halaman. Namun dibalik itu semua, ternyata ada teman Fawaz yang tidak minta ijin ke orang tuanya. Bahkan orang tuanya pun baru mengetahuinya setelah tetanggaku bercerita kepadanya. Padahal teman Fawaz ini anak orang berada, kedua orang tuanya bekerja, namun hubungan mereka kuranglah baik.Â
Orang tua yang takut menegur anaknya, bahkan cenderung membiarkannya. Disaat tertentu, si anak dilayani seolah ia masih anak kecil. Mandi disiapkan air dan perlengkapannya, makan diambilkan peralatan makannya dan sebagainya. Ironisnya, ketika si anak meminta sesuatu namun orang tua belum bisa memenuhinya, ternyata si anak marah besar. Sungguh inilah yang membuatku miris.
Mengelola emosi anak dengan baik bukan perkara mudah. Butuh kesabaran dan ketelatenan. Aku pun merasa belum bisa menjadi ibu yang baik.Â
Ketika Fawaz marah, aku pun menimpalinya dengan emosi yang meluap. Padahal emosi dilawan dengan emosi tentu akan makin meluap. Alangkah baiknya jika emosi dilawan dengan diam, supaya amarah itu redam.
Jadi, menurutku untuk mengelola emosi anak dengan baik, harus dimulai sejak dini. Ketika anak kita masih kecil, sebagai orang tua harus memberinya contoh baik, perilaku baik dan hindarkan kalimat yang mengandung amarah. Lalu ketika anak kita berbuat kesalahan, jangan hukum dia, namun berikan pengertian disertai contoh dan perilaku yang sebenarnya harus dilakukan.Â
Hal yang penting berikan sentuhan kasih sayang kepada anak, berikan ruang untuk bercerita, tampunglah keluh kesahnya serta jadilah teman yang baik di rumah. Teman disini bukan berarti kita menuruti semua keinginan anak, namun berikan pengertian bahwa meski antara orang tua dan anak memiliki kedekatan hubungan, sikap saling menghormati harus tetap ditegakkan.Â
Berikan pengertian kondisi sebenarnya supaya anak pun memahami keadaan orang tuanya. Jangan sampai demi memenuhi keinginan anaknya, kita harus pontang panting mencari pinjaman kemana-mana. Lebih baik kita tidak memanjakannya dan menyodorkan sesuatu yang sebenarnya kita belum mampu memenuhinya.
Terakhir, senantiasa memohon kepada Allah SWT agar diberikan keikhlasan dan kekuatan dalam mendidik anak. Meski anak lahir dari rahim ibunya, namun ia adalah makhluk titipan Allah. Kalau kita merasa kurang mampu mendidiknya, mohonlah pentunjuk kepada Allah supaya dibukakan pintu rahmat untuk membersamai anak kita hingga kelak ia bisa menjadi pribadi yang sukses baik di dunia maupun akherat.
Doa ibu manjur, apapun yang kita mohonkan kepada Allah untuk anak kita, InshaAllah dikabulkan, maka berdoalah yang baik-baik untuk anak kita, niscaya kita pun akan mendapat keberkahan dari Allah SWT.
Mari bersama-sama belajar menjadi pribadi yang baik terutama dalam mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi penerus bangsa yang berakhlak mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H