Mohon tunggu...
Jejak Pena Yuni
Jejak Pena Yuni Mohon Tunggu... Penulis - Blogger, Buzzer, Culinary, Content Writer

Blogger, Buzzer, Culinary, Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

#BahagiadiRumah: Bahagia Itu Berawal dari Rumah

31 Mei 2016   11:09 Diperbarui: 31 Mei 2016   11:21 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“28 Tahun bukanlah rentang waktu yang singkat”

Ya....28 tahun memang sebuah perjalanan yang panjang, sarat dengan perjuangan dan kenangan. Seperti kala usiaku tepat 28 tahun. Harusnya di usia itu aku sudah menikmati indahnya berkeluarga. Namun Allah menakdirkan cerita lain di kehidupanku. Aku tetap bersyukur, karena di usia itu perjuangan panjangku membuahkan hasil. Setelah dua tahun menikah, akhirnya anakku lahir. Otomatis kebahagiaan pun terpancar di keluarga kami.

Barangkali seperti inilah perjuangan NOVA. 28 tahun selalu berinovasi dan berkreasi, untuk tampil menginspirasi pembacanya. Tentunya langkah demi langkah telah dilaluinya hingga mencapai kesuksesan seperti saat ini. Walau aku tahu, tak mudah meraih langkah tertinggi, namun aku yakin NOVA mampu menjadi sahabat setia pembacanya, termasuk ibu rumah tangga seperti aku. Happy NOVAVERSARY ke 28, semoga engkau makin jaya dan tetap eksis mengibarkan semangat inspiratif bagi setiap pembacanya.

Terinspirasi oleh semangat NOVA, akupun merasakan kebahagiaan itu hadir di keluargaku. Ya dari rumahku sendiri. Aku tak menyesal predikat ibu rumah tangga menempel dalam diriku. Justru dengan predikat ini aku benar-benar merasakan sebuah jalinan yang begitu hangat tercipta dalam keluarga kecilku.

Dan benar adanya, bahwa semua itu berawal dari rumah. Itulah sebabnya, kemanapun suamiku bertugas, aku selalu mendampinginya. Kuupayakan untuk tidak menghadirkan ego dalam setiap mengambil keputusan. Jauh sebelum menikah, aku memang menjalani hubungan jarak jauh, kami larut dalam kesibukan masing-masing. Namun, begitu kami telah resmi dalam sebuah ikatan sakral, aku memutuskan untuk resign dari tempat kerja dan mendampingi suami bertugas.

Meski tidak ada paksaan, semua itu kulakukan demi menjaga keharmonisan hubungan dalam rumah tangga. Bagiku, materi bukanlah faktor utama pencipta kebahagiaan. Namun kebersamaanlah yang membuat kami bahagia. Hidup satu rumah, memadukan segala perbedaan, menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta menghadirkan rasa syukur dan ikhlas disetiap nikmat yang Allah berikan, tentunya menjadi bumbu indah untuk meracik kebahagiaan. Bukankah bersatunya hubungan kami berawal dari perbedaan?

Ya...kami memang dua sejoli yang berbeda. Bersatunya kami tentunya untuk satu tujuan, menyatukan perbedaan yang ada. Inilah yang membuat kami untuk menanggalkan ego, namun bukan berarti kami lemah dan mengalah. Tetap, pendapat adalah nomor satu, dan menghargai pendapat menjadi kesepakatan kami.

Inilah yang mendasari aku dan suami dalam berkeluarga. Meski, aku adalah fulltime mom, bukan berarti semua tugas di rumah adalah jatahku. Bukan pula aku menuntut suami untuk turut andil dalam pekerjaan rumah. Semuanya berlandaskan kesepakatan. Seperti halnya berbagi tugas untuk mengasuh anak. Setiap hari aku yang bertugas antar jemput sekolah anak. Namun di sore hari, ketika suami sudah di rumah, dialah yang mengganti peranku untuk antar jemput anak mengaji.

Begitupun tentang “keterbukaan”. Aku bersyukur berada di antara orang-orang yang begitu terbuka dalam segala hal. Suami dan anakku selalu terbuka dalam setiap permasalahan. Rumah-lah yang menjadi tempat kami berkeluh kesah. Seperti halnya suamiku, berbagai cerita seputaran kantor, rekan kerja atau apapun selalu dibagikannya di rumah. Termasuk dalam hal keuangan, tak pernah sekalipun ia tutupi dariku, meski nominalnya sedikit. Demikian juga dengan anakku. Dia selalu menceritakan kejadian yang dilihatnya atau bahkan dialaminya.

Yang membuatku bangga, aku selalu tahu kemanapun suami dan anakku pergi, karena setiap pergi mereka selalu berpamitan. Bahkan, bila salah satu diantara kami tidak ada di rumah, kami selalu mencari tahu keberadaan masing-masing, melalui handphone dan aplikasinya. Jujur kami sudah terbiasa hidup bersama dalam berbagai kondisi. Terlebih anakku, ia selalu ijin bila ingin bepergian dengan temannya ke suatu tempat.

img-20141226-105207-574d0d0ad59273e40413ff0f.jpg
img-20141226-105207-574d0d0ad59273e40413ff0f.jpg
“Ma...boleh gak aku bermain kesana?” Pasti sederetan kalimat tanya kulontarkan sebelum ia memutuskan untuk keluar rumah. “Main sama siapa?, Lama tidak? Main apa?”......bukan berarti bawel, sebagai orang tua dari seorang anak laki-laki yang berumur 11 tahun, aku harus menjaganya dari pengaruh buruk lingkungan. Kemajuan teknologi bukan berarti mendorong anak tampil menjadi pribadi yang pandai dan cakap, karena ada sisi buruk yang mempengaruhi perkembangan anak. Inilah yang harus diwaspadai sebagai orang tua.

Disamping itu, sebagai orang tua, aku dan suami mempunyai komitmen, untuk tidak memanjakan anak. Namun bukan berarti mengekang ruang gerak anak, atau menjadikan anak sebagai robot ciptaan kita, sehingga harus berbuat sesuai keinginan kita sebagai orang tua. Tetap kebebasan itu ada pada anak, kewajiban orang tua mengontrol dan mengarahkan menuju kebaikan.

img20140406110056-574d0ca977977308052a742b.jpg
img20140406110056-574d0ca977977308052a742b.jpg
Jujur, kami jarang menghabiskan waktu libur di luar rumah. Rumah menjadi tempat singgah kami untuk me-refresh diri. Sangat mudah caranya. Ketika libur tiba, aku selalu menyempatkan diri untuk masak bersama suami di dapur kesayangan. Apapun yang kami masak selalu terasa spesial karena tujuan kami adalah untuk kebersamaan dan kehangatan dalam keluarga. Itulah sebabnya, meski rumah yang kutempati adalah rumah dinas, bersama suami aku menciptakan lingkungan rumah sedemikian rupa sehingga nyaman untuk ditempati.

cake-574d0b0a6f7e610d048b4567.jpg
cake-574d0b0a6f7e610d048b4567.jpg
Bukan berarti, aku terlena dengan rumah dinas dan tidak memikirkan rumah pribadi sebagai tujuan saat suamiku pensiun kelak. Semua sudah kurundingkan dengan suami di rumah. Mulai dari membeli rumah secara KPR yang saat ini sedang kami kontrakkan, menabung untuk hari tua, mengikutkan anak dalam asuransi pendidikan, sampai berinvestasi untuk jangka panjang. Intinya, rumahlah menjadi awal mula terciptanya kebahagiaan.

ww2-574d0b7bd47e61e304edce5a.jpg
ww2-574d0b7bd47e61e304edce5a.jpg
Satu hal yang tak bisa dipisahkan dari semua ini adalah ibadah. Menjadi insan yang bertaqwa kepada Allah SWT adalah bekal kebahagiaan di akhirat kelak. Dan dari rumahlah kami saling mengingatkan untuk senantiasa menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Tak lupa mengarahkan anak serta mengajak turut serja untuk taat menjalankan ibadah. Walau kebahagiaan itu berawal dan tercipta dari rumah, tetap Allah-lah sang Maha pemberi kebahagiaan itu. Tugas kita sebagai umat-Nya adalah selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Termasuk bahagia berada dalam keluarga kecil yang penuh kehangatan merupakan nikmat Allah yang terindah dalam hidupku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun