Depresi tak pernah memilih: kaya miskin, muda tua, tampan buruk rupa, kurus gemuk, ekstrover introver, semua bisa mengalaminya. Bedanya adalah cara kita dalam mengalami depresi.
(Regis Machdy, Loving The Wounded Soul, 2019)
Bulan Oktober diperingati sebagai bulan kesehatan mental. Tepatnya 10 Oktober setiap tahun seluruh dunia merayakan kesehatan mental. Â Mens sana in corpore sano menjadi ungkapan Latin kuno yang menyuarakan bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Sehat itu holistik. Hubungan pikiran dan tubuh menjadi semakin terbukti oleh riset kekinian. Ternyata tak hanya fisik yang perlu dijaga agar sehat dan bebas penyakit, jiwa pun perlu diperhatikan agar waras dan bebas penyakit.Â
Dalam budaya masyarakat Indonesia, stigma yang melekat pada penderita penyakit jiwa sangatlah negatif. Orang Indonesia merasa terhormat jika tubuhnya sakit dan berobat ke dokter, namun akan merasa sangat malu jika ketahuan sedang berobat ke dokter jiwa. Ada sanksi sosial yang masih berlaku secara tak tertulis bagi pengidap sakit jiwa. Orang pun memilih diam saat merasa jiwanya sakit. Berobat karena sakit jiwa dianggap tabu dan tak terhormat.
Regis Machdy sangat memahami bahwa dengan membagikan kisahnya dalam mengalami depresi dalam buku Loving The Wounded Soul, ia harus siap menerima stigma dan hujatan khalayak. Stigma sebagai "orang depresi", "cowo lemah", "cari perhatian" dan bahkan "kurang ibadah" Â tak menghentikannya untuk tetap berbagi kondisi batinnya yang depresi.Â
Buku teranggap menarik dibaca dan dimiliki sebab ditulis oleh seorang mahasiswa jurusan S1 psikologi dan S2 jurusan kesehatan mental yang memahami sisi ilmiah kejiwaaan manusia.Â
Dari sisi lain, penulis pun mengalami sendiri perjalanan berjuang keluar dari kondisi depresi. Istilah ilmiah yang bertaburan di halaman-halaman buku pun terimbangi curhat colongan tangan pertama dengan pembahasaan yang ringan dan membumi. Buku ini pun rasanya pas ternikmati sebagai bacaan santai. Keberanian Machdy untuk menuturkan kisahnya di buku ini sangatlah menginspirasi! Satu orang penderita yang berani angkat suara ternyata memberikan keberanian pada penderita lain untuk juga bersuara! Edukasi publik dan kesadaran publik pun bisa semakin terbangun terkait kesehatan mental.
Penderita depresi seringkali terikat dengan kondisi pikiran kehilangan makna hidup. Orang depresi memiliki lensa negatif dalam memandang dunia. Â Mereka seolah terpenjara dalam labirin pikiran negatif dan traumatis. Mereka sulit untuk move on dan let go. Respon mereka terhadap tekanan hidup lebih sensitif sehingga mereka secara mental sangat rapuh.
Dalam buku Mommy Brain disebutkan bahwa beberapa bentuk sindrom baby blues atau stres pascapersalinan mempengaruhi sampai 80% ibu baru dalam jam-jam atau hari-hari pertama setelah melahirkan. Sekitar 10% kaum ibu menderita depresi pascamelahirkan yang lebih ekstrem, yang berlangsung lebih lama dan lebih intens. Â (Katherine Ellison,2011:29). Depresi itu tak pandang bulu, bisa menyerang siapa saja. Yang lebih mengerikan , si penderita pun acapkali tak mengetahui ia terjangkit. Tak heran depresi teranggap sebagai salah satu silent killer.Â
Berita selebritis yang bunuh diri karena ternyata diam-diam mengidap depresi sudah cukup marak menghiasi laman infotainment mancanegara. Aktor Robin Williams, vokalis Linkin Park Chester Benington, penyanyi K-Pop Jong Hyun dan Chef Anthony Bourdain. Menurut Regis Machdy, secara statistik perempuan memang lebih rentan mengalami depresi. Namun, penelitian selama 50 tahun membuktikan bahwa jumlah laki-laki bunuh diri lebih banyak dibandingkan perempuan. (2019:77).Â
Deretan nama tersebut mungkin tak disangka-sangka oleh publik sebagai para penderita depresi. Pria-pria macho yang sama sekali tidak terkesan lemah pun ternyata bisa terserang depresi. Mereka dikenal sukses secara karir dan nampaknya bahagia. Apa yang membuat mereka berada dalam lembah depresi? Tuntutan masyarakat agar pria tidak cengeng mungkin berperan. Pria tumbuh menekan sisi emosional dirinya dan cenderung tidak berbicara perihal perasaan. Saat ternyata mengalami depresi berlarut-larut pun, pria akan cenderung menutup diri dan  akhirnya terlambat ditangani. Bunuh diri menjadi tindakan yang dipilih sebagai jalan keluar.
Depresi itu salah satu penyakit yang tidak bisa diabaikan dan dianggap remeh. Beberapa penelitian menemukan bahwa pasien dengan gangguan depresi mayor mengalami penurunan volume hipokampus sebesar 8-19%. Oleh karena hipokampus adalah bagian otak yang terkait dengan memori, tak heran jika penderita depresi seringkali mengalami distorsi memori. Penderita
hanya bisa mengingat hal-hal yang bersifat emosional. Memori dan emosi memanglah sangat berkaitan karena memori yang memiliki nuansa emosi akan memudahkan manusia dalam mengingat kembali. Penderita cenderung memutar ulang bagian memori yang berkaitan dengan emosi tertentu, seperti kehilangan orang yang dikasihi karena meninggal, trauma kecelakaan dan kejadian traumatis lainnya.
Bagaimana agar tidak terjebak dan tersesat dalam labirin depresi?Perlu tekad kuat untuk belajar terus dan mematahkan lingkaran pola pikir negatif yang memenjarakan jiwa seorang penderita depresi! Serotonin si hormon bahagia dianggap berpengaruh dalam menentukan kestabilan jiwa seseorang.Orang yang depresi ternyata memiliki kadar serotonin rendah dan pemberian antidepresan diharapkan memicu produksi serotonin.Â
Kembali mengutip Machdy , dalam halaman 141 buku ini: untuk penggunaan jangka pendek, antidepresan memang mambantu orang yang mengalami depresi (hanya depresi, bukan bipolar, borderline personality, schizoid personality, dll). Namun, untuk benar-benar pulih dari depresi dibutuhkan terapi dengan psikolog dan membantu diri sendiri dengan  membaca buku-buku self-help. Hanya bergantung pada obat antidepresan semata tak menjamin bebas dari kambuhnya depresi.Â
Salah satu buku self-help yang melatih detoks pikiran selama 21 hari untuk memutuskan rantai pikiran salah adalah Switch On your Brain, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Aktifkan Otak Anda karya Dr. Caroline Leaf. Banyak pola pikir beracun yang harus dibuang dari cara berpikir kita. Terus melatih diri untuk lebih terbuka dan sehat secara emosional akan menjadi benteng pertahanan terhadap muncul dan kambuhnya depresi. Memiliki kelompok kecil sahabat-sahabat yang bersedia untuk saling berbagi cerita tanpa penghakiman adalah suatu harta tak ternilai. Tak perlu ribuan "teman" di Facebook, cukup beberapa sahabat sejati yang menerima diri kita apa adanya. Itulah obat depresi yang manjur.
Adanya keterkaitan antara depresi dan kesehatan mikroba di usus juga tak bisa diabaikan begitu saja. Sistem pencernaan kita adalah otak kedua demikian kata Michael Gershom dalam The Second Brain. Mengapa demikian? Selain mengatur imunitas, ternyata bakteri baik di dalam saluran pencernaan manusia merupakan pemasok 95% serotonin dalam tubuh!Â
Serotonin si hormon bahagia ternyata dipasok oleh kawanan bakteri baik yang disebut juga probiotik di dalam saluran cerna. Manusia zaman kuno memang lebih bijak soal urusan makanan. Makanan fermentasi seperti tempe, kimchi, sauekraut, kombucha , yoghurt, acar  dan masih banyak lagi ternyata mengandung prebiotik tinggi yang menjadi makanan para bakteri baik dalam usus. Jadi, keterkaitan tubuh dan pikiran memang erat. Sejak dahulu kala, makanan kita menentukan sehatnya tubuh dan jiwa kita. Pilihan ada di tangan kita untuk menjaga tubuh seprima mungkin selagi masih hidup. Pilihlah kehidupan, bukan kematian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H