Depresi itu salah satu penyakit yang tidak bisa diabaikan dan dianggap remeh. Beberapa penelitian menemukan bahwa pasien dengan gangguan depresi mayor mengalami penurunan volume hipokampus sebesar 8-19%. Oleh karena hipokampus adalah bagian otak yang terkait dengan memori, tak heran jika penderita depresi seringkali mengalami distorsi memori. Penderita
hanya bisa mengingat hal-hal yang bersifat emosional. Memori dan emosi memanglah sangat berkaitan karena memori yang memiliki nuansa emosi akan memudahkan manusia dalam mengingat kembali. Penderita cenderung memutar ulang bagian memori yang berkaitan dengan emosi tertentu, seperti kehilangan orang yang dikasihi karena meninggal, trauma kecelakaan dan kejadian traumatis lainnya.
Bagaimana agar tidak terjebak dan tersesat dalam labirin depresi?Perlu tekad kuat untuk belajar terus dan mematahkan lingkaran pola pikir negatif yang memenjarakan jiwa seorang penderita depresi! Serotonin si hormon bahagia dianggap berpengaruh dalam menentukan kestabilan jiwa seseorang.Orang yang depresi ternyata memiliki kadar serotonin rendah dan pemberian antidepresan diharapkan memicu produksi serotonin.Â
Kembali mengutip Machdy , dalam halaman 141 buku ini: untuk penggunaan jangka pendek, antidepresan memang mambantu orang yang mengalami depresi (hanya depresi, bukan bipolar, borderline personality, schizoid personality, dll). Namun, untuk benar-benar pulih dari depresi dibutuhkan terapi dengan psikolog dan membantu diri sendiri dengan  membaca buku-buku self-help. Hanya bergantung pada obat antidepresan semata tak menjamin bebas dari kambuhnya depresi.Â
Salah satu buku self-help yang melatih detoks pikiran selama 21 hari untuk memutuskan rantai pikiran salah adalah Switch On your Brain, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Aktifkan Otak Anda karya Dr. Caroline Leaf. Banyak pola pikir beracun yang harus dibuang dari cara berpikir kita. Terus melatih diri untuk lebih terbuka dan sehat secara emosional akan menjadi benteng pertahanan terhadap muncul dan kambuhnya depresi. Memiliki kelompok kecil sahabat-sahabat yang bersedia untuk saling berbagi cerita tanpa penghakiman adalah suatu harta tak ternilai. Tak perlu ribuan "teman" di Facebook, cukup beberapa sahabat sejati yang menerima diri kita apa adanya. Itulah obat depresi yang manjur.
Adanya keterkaitan antara depresi dan kesehatan mikroba di usus juga tak bisa diabaikan begitu saja. Sistem pencernaan kita adalah otak kedua demikian kata Michael Gershom dalam The Second Brain. Mengapa demikian? Selain mengatur imunitas, ternyata bakteri baik di dalam saluran pencernaan manusia merupakan pemasok 95% serotonin dalam tubuh!Â
Serotonin si hormon bahagia ternyata dipasok oleh kawanan bakteri baik yang disebut juga probiotik di dalam saluran cerna. Manusia zaman kuno memang lebih bijak soal urusan makanan. Makanan fermentasi seperti tempe, kimchi, sauekraut, kombucha , yoghurt, acar  dan masih banyak lagi ternyata mengandung prebiotik tinggi yang menjadi makanan para bakteri baik dalam usus. Jadi, keterkaitan tubuh dan pikiran memang erat. Sejak dahulu kala, makanan kita menentukan sehatnya tubuh dan jiwa kita. Pilihan ada di tangan kita untuk menjaga tubuh seprima mungkin selagi masih hidup. Pilihlah kehidupan, bukan kematian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H