Mohon tunggu...
Yunie Sutanto
Yunie Sutanto Mohon Tunggu... Penulis - Ibu rumah tangga

Wife. Mother. Homemaker. Reader. Writer

Selanjutnya

Tutup

Book

Loving The Wounded Soul

3 November 2022   14:37 Diperbarui: 3 November 2022   14:45 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Depresi tak pernah memilih: kaya miskin, muda tua, tampan buruk rupa, kurus gemuk, ekstrover introver, semua bisa mengalaminya. Bedanya adalah cara kita dalam mengalami depresi.

(Regis Machdy, Loving The Wounded Soul, 2019)

Bulan Oktober diperingati sebagai bulan kesehatan mental. Tepatnya 10 Oktober setiap tahun seluruh dunia merayakan kesehatan mental.  Mens sana in corpore sano menjadi ungkapan Latin kuno yang menyuarakan bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Sehat itu holistik. Hubungan pikiran dan tubuh menjadi semakin terbukti oleh riset kekinian. Ternyata tak hanya fisik yang perlu dijaga agar sehat dan bebas penyakit, jiwa pun perlu diperhatikan agar waras dan bebas penyakit. 

Dalam budaya masyarakat Indonesia, stigma yang melekat pada penderita penyakit jiwa sangatlah negatif. Orang Indonesia merasa terhormat jika tubuhnya sakit dan berobat ke dokter, namun akan merasa sangat malu jika ketahuan sedang berobat ke dokter jiwa. Ada sanksi sosial yang masih berlaku secara tak tertulis bagi pengidap sakit jiwa. Orang pun memilih diam saat merasa jiwanya sakit. Berobat karena sakit jiwa dianggap tabu dan tak terhormat.

Regis Machdy sangat memahami bahwa dengan membagikan kisahnya dalam mengalami depresi dalam buku Loving The Wounded Soul, ia harus siap menerima stigma dan hujatan khalayak. Stigma sebagai "orang depresi", "cowo lemah", "cari perhatian" dan bahkan "kurang ibadah"  tak menghentikannya untuk tetap berbagi kondisi batinnya yang depresi. 

Buku teranggap menarik dibaca dan dimiliki sebab ditulis oleh seorang mahasiswa jurusan S1 psikologi dan S2 jurusan kesehatan mental yang memahami sisi ilmiah kejiwaaan manusia. 

Dari sisi lain, penulis pun mengalami sendiri perjalanan berjuang keluar dari kondisi depresi. Istilah ilmiah yang bertaburan di halaman-halaman buku pun terimbangi curhat colongan tangan pertama dengan pembahasaan yang ringan dan membumi. Buku ini pun rasanya pas ternikmati sebagai bacaan santai. Keberanian Machdy untuk menuturkan kisahnya di buku ini sangatlah menginspirasi! Satu orang penderita yang berani angkat suara ternyata memberikan keberanian pada penderita lain untuk juga bersuara! Edukasi publik dan kesadaran publik pun bisa semakin terbangun terkait kesehatan mental.

Penderita depresi seringkali terikat dengan kondisi pikiran kehilangan makna hidup. Orang depresi memiliki lensa negatif dalam memandang dunia.  Mereka seolah terpenjara dalam labirin pikiran negatif dan traumatis. Mereka sulit untuk move on dan let go. Respon mereka terhadap tekanan hidup lebih sensitif sehingga mereka secara mental sangat rapuh.

Dalam buku Mommy Brain disebutkan bahwa beberapa bentuk sindrom baby blues atau stres pascapersalinan mempengaruhi sampai 80% ibu baru dalam jam-jam atau hari-hari pertama setelah melahirkan. Sekitar 10% kaum ibu menderita depresi pascamelahirkan yang lebih ekstrem, yang berlangsung lebih lama dan lebih intens.  (Katherine Ellison,2011:29). Depresi itu tak pandang bulu, bisa menyerang siapa saja. Yang lebih mengerikan , si penderita pun acapkali tak mengetahui ia terjangkit. Tak heran depresi teranggap sebagai salah satu silent killer. 

Berita selebritis yang bunuh diri karena ternyata diam-diam mengidap depresi sudah cukup marak menghiasi laman infotainment mancanegara. Aktor Robin Williams, vokalis Linkin Park Chester Benington, penyanyi K-Pop Jong Hyun dan Chef Anthony Bourdain. Menurut Regis Machdy, secara statistik perempuan memang lebih rentan mengalami depresi. Namun, penelitian selama 50 tahun membuktikan bahwa jumlah laki-laki bunuh diri lebih banyak dibandingkan perempuan. (2019:77). 

Deretan nama tersebut mungkin tak disangka-sangka oleh publik sebagai para penderita depresi. Pria-pria macho yang sama sekali tidak terkesan lemah pun ternyata bisa terserang depresi. Mereka dikenal sukses secara karir dan nampaknya bahagia. Apa yang membuat mereka berada dalam lembah depresi? Tuntutan masyarakat agar pria tidak cengeng mungkin berperan. Pria tumbuh menekan sisi emosional dirinya dan cenderung tidak berbicara perihal perasaan. Saat ternyata mengalami depresi berlarut-larut pun, pria akan cenderung menutup diri dan  akhirnya terlambat ditangani. Bunuh diri menjadi tindakan yang dipilih sebagai jalan keluar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun